Good Job, Doctor!

Deianeira
Chapter #1

Sang Dokter Superhero

Seorang pemuda berkemeja putih sedang terbaring di salah satu ruangan di UTD PMI. Bersama salah satu staff wanita, pemuda itu sedang melakukan transfusi darah. Pemuda itu sesekali mengepalkan tangan kirinya karena tangannya terasa kebas akibat jarum yang menusuk pembuluh darahnya.

"Sudah selesai," kata staff itu sambil melepas jarum yang tertancap "Kalau tidak salah, nama Anda Satria kan? Dan Anda adalah seorang dokter spesialis bedah di Rumah Sakit Medika Harapan, " tambahnya sambil memberi plester putih bulat kecil di bekas tusukan jarumnya.

"Eh, Iya," jawab pemuda itu sambil menekuk lengan kirinya beberapa kali supaya plester menjadi sedikit lentur. "Bagaimana anda bisa tahu?" sambil beranjak turun dari bangsal.

"Dokter kan selalu rutin melakukan donor tiap 3 bulan sekali," jawabnya sambil tersenyum. "Dan 3 bulan yang lalu saya juga yang bertugas mengambil darah dokter."

"Oh, begitu." Satria mengambil jaket hoodie hitamnya di sandaran kursi dekat bangsalnya lalu memakainya dan menutup resletingnya. "OK, saya permisi dulu, terima kasih," tambahnya sambil melangkah keluar dari ruangan.

"Terima kasih kembali, sampai bertemu 3 bulan lagi" jawab staff itu sambil tersenyum.

Satria keluar dari gedung PMI dan bergegas ke parkiran. Dia rogoh saku celana kanannya untuk mengambil remote mobil. Dia mendekat ke mobil all new jazz RS putih dan membuka kunci locknya. Bunyi sign nya terdengar nyaring, lalu dia membuka pintu bagian kemudi dan masuk.

"Hhh.." dia menghela napas panjang. "Jam berapa sekarang?" dia mencari ponsel di saku celana kanannya.

Jam di ponsel menunjukkan pukul 08:15 WIB. Tiba-tiba ada telepon masuk. Di layar tertulis Dr. Gavin.

"Halo," jawab pemuda itu.

"Hei! Dokter Harris dan Dokter Yongki sudah menunggu! " sahut Gavin bernada tinggi

"OTW!" jawabnya lalu menutup telponnya. "Ahh, kenapa pagi ini sibuk sekali?" gumamnya sambil menyalakan mobil dan tancap gas.

Jalanan pagi itu sangat padat sehingga dia memutuskan lewat jalan tol saja.

Setelah masuk gerbang tol, ponselnya berdering lagi. Kali ini dia menggunakan handsfree.

"Ini masih di tol" sahutnya pada Gavin. " 20 menit lagi aku nyampe," tambahnya. Lalu dia tambah kecepatan, menyalip brio kuning dan panther merah di depannya.

Tiba-tiba dari arah berlawanan meluncur mobil ke arahnya setelah menabrak pembatas. Spontan dia banting stir ke kiri tapi bannya selip dan mobilnya berputar ke arah pembatas. Dia memutar stirnya ke kiri tapi terlambat, bagian belakangnya menabrak pembatas dan mobilnya berhenti.

Untuk sesaat dia mencerna apa yang terjadi.

"Halo, halo!" suara Gavin menyadarkannya.

"Halo," jawabnya sambil melihat apa yang terjadi. Dia keluar dari mobilnya, "ada kecelakaan beruntun di tol KM... 72! " dia melihat tanda KM di belakangnya.

"Apa?" Gavin terkejut.

"1-2-3-4-" dia menghitung mobil yang mengalami kecelakaan, "4 mobil," tambahnya setelah mencermati apa yang terjadi. "Cepat kirim ambulance!" tambahnya lalu menutup handsfreenya.

Dia berlari menuju mobil panther merah yang terguling di belakangnya. bagian belakang tertabrak brio kuning. DIa memutuskan fokus pada satu pasien terlebih dahulu. Kaca bagian pengemudi pecah. Dia melihat pengemudi mengerang kesakitan.

"Pak, kau baik-baik saja? Bagian mana yang sakit?" tanya Satria.

"Kepala dan kakiku rasanya sakit sekali"

Satria melihat kepalanya berdarah dan kakinya terjepit. "Pak, jangan bergerak dulu! diam dan tunggulah di sini! sebentar lagi ambulance datang!"

Lalu Satria berpindah ke brio kuning yang menabrak panther merah. Beberapa pengendara mobil lainnya yang lolos dari kecelakaan menghentikan mobilnya, begitu juga dengan mobil yang akan melintas juga terpaksa berhenti. Ada yang berkerumun dan melihat-lihat apa yang terjadi, ada yang sibuk menelepon, ada yang ikut turun dan berusaha memberikan pertolongan kepada para korban.

Di dalam mobil brio, Satria tidak melihat adanya pergerakan. Dia mencoba membuka pintu dan ternyata tak terkunci. Pengemudinya seorang wanita muda terlihat terluka di bagian kepala dan tak sadarkan diri.

"Hei, mbak, kamu baik-baik saja?" tanya Satria.

Wanita itu masih tak merespons.

"Hei, Mbak! Sadarlah!" Satria menepuk pundak wanita itu.

Perlahan dia menggerakkan kepalanya lalu mengernyit dan memegangi kepalanya.

"Apa yang kau rasakan? Bagian mana yang sakit?"

Tiba-tiba terdengar suara riuh di dekat mobil Hilux double cabin yang terbalik di belakang brio kuning itu. Api tiba-tiba keluar dari mesin mobil hilux itu.

"Mbak, Jangan bergerak!" Satria memberi perintah. "Tunggulah di sini, sebentar lagi ambulance datang," tambahnya lalu berlari menuju mobil hilux yang terbalik.

Api semakin besar. Kaca mobil tampak gelap dan tak terlihat pergerakan. Satria berusaha membuka pintu tapi terkunci.

Satria mencari sesuatu di sekitarnya. Sesuatu yang kuat yang bisa menghancurkan kaca mobil. Dari kejauhan terlihat ada sebongkah batu di dekat pagar kawat yang membatasi jalan tol dengan area pemukiman.

Dia mengambil batu itu. Batu itu seukuran 2x kepalan tangannya. Dengan mantap, dia hantam kaca itu, sekali, dua kali, tiga kali. Bukan kacanya yang hancur tapi tangannya yang rasanya hancur.

Api membesar, sekuat tenaga dia hantam sekali lagi sambil menahan perih. Dan berhasil. Kacanya retak. Perlu beberapa kali hingga kacanya rontok.

Satria membuka kunci mobil dari dalam lalu membuka pintu. Terlihat 2 orang, pria dan wanita, tak sadarkan diri. Tak ada waktu lagi pikirnya. Dia harus segera mengeluarkan 2 orang itu sebelum mobil itu meledak.

Satria melongok masuk. Udara pengap terasa. Dia melepaskan kaitan sabuk pengaman pria itu. Lalu memasukkan kedua lengan ke sisi tubuh pria itu dan menariknya keluar. Beberapa orang yang menonton berinisiatif membantunya.

"Ok, aku menangkapnya," sata salah seorang.

"Tolong baringkan di sana," pinta Satria sambil menunjuk ke tempat yang aman pada beberapa orang yang membantunya tadi.

Kini tinggal wanita yang duduk di samping pengemudi. Api semakin menyala-nyala. Satria merangkak masuk dan seketika udara panas menyergapnya. Dia membuka kaitan sabuk pengaman wanita itu lalu dengan cara yang sama menarik tubuhnya.

Satria merasa udara panas dan asap mulai memasuki paru-parunya. Dia tak bisa bernapas dan seperti kehilangan tenaga.

"Hei, cepat keluar dari situ!" teriak seseorang.

Tapi satria sudah mulai sesak dan lemas.

Seseorang menarik Satria yang masih memeluk wanita tadi keluar dari mobil. hingga terjatuh ke aspal.

"Hei, cepat bantu!" teriak seseorang lagi.

Beberapa orang mengangkat tubuh wanita yang menimpa tubuh Satria dan membawanya menjauh.

Satria terbatuk-batuk, mengeluarkan asap dan hawa panas dari paru-parunya.

"Hei, apa yang kau lakukan di situ? Cepat menyingkir! Mobilnya akan segera meledak!" seru seseorang di belakangnya.

Dia melihat api bertambah besar. Hawa panas mulai terasa di sekitarnya dan otaknya mengirimkan sinyal tanda bahaya. Dia berusaha untuk bangkit dan melangkah menjauh dari situ. Namun setelah dua-tiga langkah...

BHLAAARRRR!!

Satria terpental dan tersungkur di aspal. Punggungnya terasa terbakar. Sekujur tubuhnya terasa sakit karena membentur aspal dengan keras.

Beberapa orang tiba-tiba memukuli dan sempat menginjak-injak punggungnya. Rupanya ada percikan api yang menyambar belakang hoodie hitamnya saat ledakan tadi.

Penglihatannya mulai kabur. Samar-samar dia melihat seseorang berteriak padanya, tapi telinganya tak bisa mendengarnya. Hanya mendengung dengan keras. Rasanya darah mengalir dari telinganya. Tubuhnya diguncang-guncangkan tapi dia hampir tak bisa merasakan apa-apa.

Penglihatannya semakin gelap saat melihat petugas ambulance berlari membawa tandu dan beberapa peralatan medis. Semakin lama semakin gelap dan gelap.

***

Satria berada dalam kegelapan. Lalu muncul cahaya. Dia mendekati cahaya itu dan melihat seorang anak laki-laki sedang bersimpu dan menangis didepan tubuh seseorang yang tampaknya sudah membiru. Tubuh itu dipenuhi luka lebam dan luka sayatan panjang dari dada hingga ke perut. Pemandangan yang tidak ingin dia lihat. Dia ingin segera meninggalkan tempat itu. Dia berlari menembus kegelapan dan terus berlari. Sekelebat wajah orang-orang yang telah membunuh ayahnya bermunculan setiap kali dia berlari. Semakin tak ingin melihatnya, semakin jauh dia berlari. Berlari hingga kelelahan hingga terjatuh dalam kegelapan. Akhirnya dia melepaskan semuanya. Pasrah pada kegelapan yang mendekapnya. Itu membuatnya menjadi lebih tenang. Tenang yang dalam dan semakin dalam.

Samar-samar ada suara dari kejauhan, membangunkannya dari tidur. Suara itu semakin lama semakin jelas. Suara-suara yang tak asing baginya. Suara-suara monitor dan peralatan medis. Istilah-istilah medis yang sering dia dengar.

Dia mulai merasakan desahan napasnya sendiri. Merasakan jemari tangannya, jemari kakinya. Dia berusaha membuka matanya tapi kepalanya terasa sakit. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Apa yang terjadi? Kenapa aku? pertanyaan itu membuat dia bersikeras untuk sadar.

Suara-suara di sekitarnya semakin riuh.

Ada suara hitungan 1-2-3-4-...

"Siapkan defibrillator!!"

Suara yang tak asing. Satria mengenal suara itu. Dia juga mengenal suara seseorang yang melakukan CPR. Mengenali suara pasien monitor.

Terdengar suara sesuatu yang berroda didorong melewatinya.

Suara hitungan itu masih berjalan. 8-9-10-,lalu mengulang 1-2-3-...

"100 Joule!"

Satria membuka matanya. Kini dia ingat semua yang menimpanya pada kecelakaan itu. Dia melihat cairan infus di atasnya dan terhubung ke punggung tangan kirinya. Plester bekas donor darahpun masih melekat.

"4-5-6-7-..."

"100 Joule charging!"

Satria menoleh ke arah suara itu, di sebelah kirinya. Satria melihat wanita di mobil hilux yang dia selamatkan tadi. Di mulutnya terpasang alat ventilator untuk membantu pernapasan. Dia melihat Lissa memegang defibrillator dan Ilham melakukan CPR.

"100 Joule, clear!" Lissa mendekatkan kedua alat tangannya ke arah tubuh pasien.

Ilham menghentikan CPR dan mundur selangkah supaya Lissa bisa leluasa bergerak.

"1-2-3- shock!" seru Lissa lalu menghentakkan alat di kedua tangannya yang berbentuk seperti setrika. Satu menghentak di dada sebelah kanan, satu lagi di bawah dada kiri.

DUAKK!! Tubuh wanita itu tersentak sesaat.

Lissa dan yang lainnya mengamati monitor EKG, berharap tanda vitalnya muncul.

Satria mendengar monitor EKG masih nihil.

Ilham melakukan CPR kembali, dan mulai berhitung.

"Ayo kita coba 150 Joule," pinta Lissa.

Cyntia mengoleskan elektroda jelly pada kedua elektroda paddle yang dipegang Lissa, lalu menggosok keduanya agar gel merata ke semua bagian penampang.

"150 Joule!" sahut Lissa.

"150 Joule, charging!" sahut Cyntia.

"150 Joule, clear!" seru Lissa sambil mendekat.

Ilham menghentikan CPR dan mundur lagi.

"1-2-3- shock!" seru Lissa sambil menghentak lagi.

Semuanya menunggu.....

Monitor EKG masih nihil. Tidak ada tanda vital yang muncul.

"Coba 200 Joule," suara lemah Satria tiba-tiba. Satria bangkit dan duduk di bangsalnya. Dia masih mengenakan hoodie hitamnya. Kepalanya masih terasa sakit dan terasa berputar. Hampir jatuh, tangan kirinya berpegangan pada tepian bangsal.

Suara Ilham mulai menghitung.

"200 Joule!"

"200 Joule, charging!"

Lihat selengkapnya