Satria berlutut dan menangis di depan tubuh yang telah membiru. Tubuh yang memiliki bekas sayatan panjang dari dada hingga ke perut.
Lalu seseorang menepuk pundak kecilnya. Satria melihat wajah pria dewasa yang bersahaja. Melihatnya membuat jiwanya tenang.
Pria itu menggandeng tangan kecil Satria. Keduanya saling menatap dan saling tersenyum. Pria itu mengajaknya pergi. Melangkah bersama meninggalkan tubuh membiru itu.
Masih berjalan bersama dengan bergandengan tangan, keduanya semakin lama semakin akrab lalu tertawa bersama.
***
Satria membuka mata. Terbangun dari mimpinya yang indah dan menyejukkan.
Perlahan Satria bangkit. Kini dia sudah berada di kamar perawatan. Dia masih mengenakan baju OK yang dipakainya saat mengoperasi tadi pagi. Luka di telapak tangan kanannya juga sudah dijahit dan diplester.
Dia mendapati Lissa tertidur pulas di kursi dengan kepala tertelungkup sampingnya.
Merasa sudah baikan, dia cabut jarum infus di punggung tangan kirinya. Kemudia turun dari ranjangnya.dan menyelimuti punggung Lissa dengan selimut. Lalu keluar meninggalkan kamarnya.
Satria melewati lorong Rumah Sakit.
"Malam, Dokter!" sapa seorang perawat yang sedang berjaga di ruang perawat di lantai 2 itu.
Satria hanya mengangguk. Sambil terus melangkah, Satria melirik jam dinding di belakang perawat tadi. Sudah pukul 20:30 WIB. Sudah saatnya Lissa untuk pulang, pikirnya.
Satria berhenti di depan lift dan menekan tombol untuk naik ke atas. Lift yang dia tunggu ternyata masih bertengger di lantai 1.
Tak lama, pintu lift pun terbuka. Satria melihat ada 2 orang perawat keluar dari lift. "Malam, Dok!" sapa keduanya saat berpapasan.
Kini dia sudah berada di dalam lift. Sendirian. Dia menekan tombol 4, dan tak berapa lama pintu lift tertutup lalu mulai naik.
Satria menunggu sambil melirik ke atas pintu lift. Lampu nomor 3 menyala. Sebentar lagi dia akan sampai di lantai 4.
Dia menunggu sampai nada bunyi tingg... dan pintu pun terbuka. Satria melangkah keluar dari lift dan berjalan menuju lorong yang sepi. Dia melewati beberapa ruangan yang sudah gelap dan kosong, dan beberapa masih menyala dan masih ada beberapa dokter residen yang jaga malam.
Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu suatu ruangan. Pada pintu itu tertempel papan bertuliskan : Ruang Referensi Ilmu Bedah.
Satria membuka pintu. Gelap.
Lalu dia menyalakan lampu. Ruangan itu masih tampak sama seperti dulu, dimana ruangan itu dulunya adalah ruang Kepala Ilmu Bedah, yang berarti ruangan itu dulunya adalah ruangan milik almarhum dokter Faisal yang sudah meninggal karena kecelakaan 1 tahun yang lalu. Untuk menghargai jasa almarhum, pihak Rumah Sakit memutuskan untuk membiarkan ruangan itu seperti apa adanya dan menjadikannya sebagai ruang referensi ilmu bedah, karena terdapat data-data laporan operasi pembedahan yang bisa dijadikan referensi dan pembelajaran bagi para dokter bedah, baik dokter koas, dokter residen, maupun dokter spesialis.
Satria melangkah masuk dan menutup pintunya perlahan. Dia melangkah menuju meja kerja yang ada di ruangan itu. Meja kerja yang setiap harinya digunakan oleh ayah angkatnya itu bekerja.
Di meja itu masih terpajang sebuah foto. Satria mengambil foto itu dan memandanginya lekat-lekat. Foto dokter Faisal dan putrinya, Lissa. Satria merasakan kerinduan pada ayah angkatnya itu. Wajah itu wajah yang sama dengan yang ada di mimpinya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Satria melihat Lissa dengan wajah paniknya.
"Hhh, sudah kuduga, kamu pasti ada di sini."
***
Kini keduanya berada di beranda lantai 2, sambil menikmati secangkir kopi panas. Malam itu cukup dingin dan angin berhembus menerpa wajah mereka. Untuk mengobati rasa dingin yang menyerang, mereka memanfaatkan panas cangkir kopi mereka untuk menghangatkan tubuh.
"Gimana kabar pasien kecelakaan tadi pagi?" tanya Satria mencari tahu perkembangan. Pandangannya mengarah ke luar beranda, dengan kedua lengan menumpu ke pagar beranda.
Lissa berbalik dan bersandar pada pegangan beranda. "Pak Gun sudah boleh pulang 2 jam yang lalu" jawab Lissa, lalu meniup kopinya dan menyeruputnya sedikit. "Awh, panas!" Lissa merasa lidahnya terbakar.
"Oh, iya," sahut Lissa lagi setelah mengingat sesuatu, "Ada salam dari Pak Gun," tambahnya, "Katanya: Dokter harus jaga diri baik-baik karena dunia ini memerlukan dokter sepertimu"
Keduanya terdiam. Dalam diamnya, mereka sesungguhnya memikirkan hal yang sama. Mereka merindukan hal yang sama. Kebersamaan bersama almarhun dokter Faisal. Karena beliaulah maka terlahir dokter-dokter terbaik.
Satria menyeruput kopinya sebelum membuka pembicaraan lagi. "Ehmm, Gimana kamu bisa tau aku di sana?"
Lissa merubah posisi lagi seperti semula. "Disaat ada masalah, dimana aku tak bisa mencerikatan kepada siapapun, aku selalu kesana," jawabnya sambil menyeruput lagi. Kali ini sudah lebih dingin dan bisa ditolerir oleh lidah. "Sama seperti yang kau lakukan."
Satria tertawa singkat, tanda tak percaya.
"Kenapa?"
"Kalo kamu emang tahu sejak awal aku di situ, kenapa tadi kamu kelihatan panik?"
"Hah? Panik? Siapa yang panik?" Lissa mengelak sambil membuang muka.
Satria tahu Lissa sedang berbohong.
Tak ingin merusak suasana, Satria mengganti topik pembicaraan. "Jadi, gimana kondisi wanita itu? Apa sudah ada pihak keluarga yang datang?" Satria menyeruput kopinya lagi.
Lisa mengangguk setelah meneguk kopinya. "Tadi siang sudah ada yang datang."
"Siapa?"
"Suaminya," jawab Lissa melihat isi cangkirnya yang hampir habis.
"Hahh? Suaminya?" Satria terkejut, "Jadi, pria yang tewas di mobil itu..."
"Kekasih gelapnya."
Satria makin terkejut.
Lissa menoleh, "kamu tahu pria itu sudah tewas?" tanya Lissa saat Satria meneguk lagi.
"Saat aku akan mengeluarkannya dari mobil, tanda vitalnya sudah tidak ada," jawab Satria sambil memandang ke kejauhan di depan mereka. "Seandainya waktu itu aku melakukan CPR, masih ada kemungkinan dia akan selamat."
Lissa masih terus mendengarkan.
"Tapi saat itu tidak ada waktu lagi," lanjut Satria, "Dan masih ada wanita itu di dalam. Aku harus mengeluarkannya lebih dulu," lalu meminum kopinya sampai habis.
Lissa merasa dia sudah cukup banyak bercerita. Dan udara semakin dingin. "Ayo masuk," ajaknya.
"Hei, tunggu," sahut Satria sebelum Lissa melangkah. "Dimana jaket hoodie-ku? HP dan remote mobilku?"
"Ada di mejaku," jawab Lissa. "Ayo masuk!"
***
Satria terperangah melihat bagian belakang jaket hoodie-nya. Terdapat lubang di sana-sini dan bekas hangus terbakar api di sekeliling lubang-lubang itu. Jari telunjuknya bahkan bisa masuk menembus lobangnya. Dia bahkan bisa melihat wajah Lissa yang duduk di depannya sambil melahap makanannya dari lubang itu.
"Oh, hoodie kesayanganku," gerutu Satria yang sekarang sudah mengenakan kemeja putihnya lagi, "Hoodie-ku," sambil memeluknya.
"Hei, hei, jangan seperti anak kecil!" sahut Lissa sambil menikmati makan malamnya yang tertunda. "Cepat habiskan makananmu! Setelah itu aku antar pulang," tambahnya.
"Kamu tahu? Betapa mahalnya jaket hoodie ini," omel Satria, "Ini jaket hoodie favoritku!" memeluknya lagi.
"Hei, apa gajimu tidak cukup untuk membeli yang baru?" tanya Lissa kesal. "Jangan merengek lagi seperti anak kecil!" tambahnya, "Apa perlu aku yang belikan untukmu?"
Satria terdiam sejenak.
"Ini pemberian dari ayahmu," kata Satria sambil memandangi hoodie itu lekat-lekat.
Lissa terperanjat. Dia tidak tahu bahwa tersimpan kenangan ayahnya di jaket hoodie itu. Tapi kini dia tahu bahwa jaket hoodie itu tak ternilai harganya, barang yang sangat berharga, dan tak bisa tergantikan oleh apapun.
"Karena itu, aku selalu memakainya," tambah Satria lalu meletakkan hoodienya di pangkuannya dan mulai fokus dengan makan malamnya.
"Apa kamu tidak melihat lubang-lubang itu saat ganti baju OK di ruang operasi?"
"Waktu itu tidak ada waktu lagi, jadi aku buka hoodie dan kemeja, 2 rangkap sekaligus."
Menu malam itu adalah nasi putih organik, sup kacang merah, bistik sapi, ditemani dengan segelas susu jahe yang hangat.
Satria melihat plester yang menutupi luka di telapak tangan kanannya. Perlahan mencoba untuk menggenggam. Plester itu mulai tertekuk kedalam sedikit demi sedikit dan menekan jahitannya. Saat dia merasakan sakit, dia berhenti, lalu mengulanginya lagi. Kali ini mencoba menahan rasa sakitnya, semakin lama semakin menggenggam, tapi tangannya hanya mampu sampai setengah menggenggam. Rasanya sakit sekali.
Tak ingin memaksakan diri, dia ambil garpunya dan menusukkannya ke bistik dagingnya.
"Kenapa?" tanya Lissa tiba-tiba. "Masih terasa sakit?"
"Sedikit," jawab Satria tak ingin membuat Lissa terlalu mencemaskannya. Lalu melahap bistiknya utuh-utuh.
"Jangan terlalu memaksakan diri," sahut Lissa. "Mungkin untuk beberapa hari ini jangan ikut operasi dulu. Biarkan Dokter Harris dan Gavin yang ambil alih semua jadwal operasimu sampai lukamu sembuh."
Lissa melihat Gavin tiba-tiba muncul. Kali ini dia berharap Gavin tidak melihat mereka. Karena kalau sampai itu terjadi, Gavin pasti akan memberitahukan jadwal operasi untuk besok.
Gavin mengenakan kemeja biru muda kotak-kotak dibalut dengan sweater rajut warna krem. Dia sudah bersiap untuk pulang dan melangkah keluar dari Rumah Sakit.
Langkahnya terhenti saat melewati ruang makan kantin. Dia melihat Lissa dan Satria sedang makan malam di sana. Bergegas dia mengubah arah dan mendekat.
"Udah bangun, Sat?" sapanya sambil tiba-tiba menepuk punggung Satria dari belakang, membuat Satria tersedak dan terbatuk-batuk. "Oops, sorry-sorry, bro," Gavin menepuk-nepuk punggung temannya itu lalu duduk di sampingnya.
Satria meminum segelas susu jahenya. Merasa kurang lega, Satria mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya ke atas supaya rongga dada terbuka selebar-lebarnya. "Hhh, kau ini," gumam Satria sambil geleng-geleng kepala.
"Sorry, bro," Gavin meminta maaf lagi sambil mengumbar senyum.
"Udah mau pulang, Vin?" tanya Lissa di depannya mengingatkan bahwa sesungguhnya tujuan dia kemari hanyalah untuk lewat dan pulang.
Gavin mengangguk. "Oh, iya," Gavin menoleh pada Satria. "Besok ada jadwal operasi, apa kamu bisa join?"
"Nggak," jawab Lissa sambil menggigit bistik yang ada di garpunya. Benar firasatnya.
Satria dan Gavin menatap tajam Lissa seolah-olah berkata siapa yang tanya padamu?, lalu keduanya saling pandang.
"Apakah pasien kamar 207? Pengangkatan empedu?" tanya Satria.
Gavin mengangguk.
"Jam?" tanya Satria sambil melahap makanannya.
"Jam 3 sore."
"Pegang sendok aja belum bisa," ledek Lissa sambil melahap sesuap nasi yang sudah dicelupkan ke dalam mangkuk sup kacang merahnya.
Gavin mengamati tangan kanan temannya yang memegang garpu hanya denganibu jari dan telunjuk. Sangat susah bagi Satria untuk melakukan sesuatu dengan tangan kanannya sekarang. "Masih sakit, Sat?" Gavin mulai khawatir.
"Nggak terlalu, jangan kuatir," jawab Satria enteng lalu meletakkan garpunya dan mengeruput sup kacang merahnya.
"Jangan terlalu memaksakan diri," kata Gavin tiba-tiba. "Bagi dokter bedah seperti kita, tangan adalah senjata. Kita tidak akan bisa menyelamatkan pasien jika tangan kita terluka."
Kali ini Lissa sependapat dengannya.
"Lagipula Dokter Harris akan bergabung untuk operasi besok," jelas Gavin dan mendapatkan senyuman dari Lissa.
"Aku tidak akan memaksakan diri," jawab Satria bersikeras. "Aku hanya akan ada di sana untuk membantumu, itu saja," dia meyakinkan lalu menghabiskan susu jahenya.
"Iihh," sahut Lissa tiba-tiba. "Kenapa sih kamu ini selalu keras kepala!" tambahnya.
"Aku tidak keras kepala!" sanggah Satria mulai adu mulut, " Aku hanya ingin menjalankan kewajibanku sebagai dokter secara profesional! Itu saja!"
"Hei, aku yang tahu seberapa parah lukamu!"
"Aku yang tahu kondisi tubuhku sendiri."
"Ahh, terserahlah," Lissa membuang muka dan bersedekap.
Gavin terdiam sesaat. Dia teringat saat beberapa jam yang lalu, setelah Satria dipindahkan ke ruang perawatan, Gavin berencana untuk menengoknya. Tapi saat dia membuka pintu dan Lissa tertidur saat menunggui Satria, Gavin mengurungkan niatnya.
"Hahaha..." Gavin tertawa melihat tingkah keduanya. "Kalian ini kayak orang pacaran aja," tambahnya lalu bangkit meninggalkan keduanya yang tampak tersipu malu dan tak berani menatap satu sama lain.
"Ehm, jadi mau anterin aku pulang?"
"Nggak!" jawab Lissa ketus lalu bangkit dan melaju ke mobil.
"Liss, Lissa!" Satria mengikuti.
***
Kini keduanya sudah berada di dalam mobil. Lissa terpaksa mengantarkan Satria pulang ke apartemennya karena mobilnya masih diservice di bengkel akibat kecelakaan tadi pagi.
Suasananya sunyi senyap tak ada suara, sesunyi malam yang semakin larut itu. Sepertinya Lissa benar-benar marah dengan sikap Satria. Dan Satria pun menggunakan waktu luangnya untuk melatih tangannya.
20 menit kemudian, mobil all new yaris putih berhenti di depan Apartemen Luxury. Satria keluar dari mobil itu dan melambaikan tangan, meskipun mungkin Lissa tidak melihatnya.
Satria sudah berada di depan apartemennya. Di depan pintu tertulis 347. Apartemen itu masih menggunakan kunci pintu manual untuk akses keluar masuk. Satria menutup pintu di belakangnya, lalu melepas sepatunya dan mengenakan sandal dalamnya.
"Momo," panggilnya lalu masuk ke toilet untuk membersihkan diri.
Tak lama dia keluar dengan kaos putih ketat dan celana training warna navy..
"Momo," panggilnya lagi sambil melangkah menuju kamarnya, tempat ternyaman yang sangat dia rindukan. Tubuhnya kini terasa segar dan menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. Satria memejamkan mata.
Suara lonceng terdengar mendekat. Seekor kucing persia abu-abu loncat naik ke kasur menghampirinya majikannya.
***
Pintu kaca otomatis Rumah Sakit terbuka. Satria melangkah masuk dengan penuh semangat. Dia mengenakan sweater turtleneck kelabu dan celana hitam.
"Pagi, Dok," Sapa Pak Burhan, satpam bertubuh gempal.
Satria mengangguk sambil tersenyum padanya sambil terus melangkahkan kakinya melewati bagian informasi.
"Pagi, Dokter!" sapa seorang perawat.
"Pagi," jawabnya sambil melangkah menuju lift. Di depan lift dia berhenti dan menekan tombol ke atas. Agak lama menunggu, ternyata lift sedang berada di lantai 4. Satria sabar menunggu.
Tak lama pintu lift terbuka. Satria masuk kedalam, berbalik menghadap ke pintu lift, dan menekan tombol 2 hingga menyala, lalu menekan tombol tutup pintu. Pintu lift lambat merespons. Butuh waktu beberapa detik dan mulai bergerak menutup. Sebelum tertutup rapat, ada sebuah tangan menahannya.
"Oh," Satria terkejut langsung menekan tombol buka berkali-kali supaya cepat merespons. Akhirnya pintu lift bergerak membuka.