Lissa sedang mengamati jahitan di telapak tangan Satria. Keduanya sedang duduk di sofa di apartemen milik Satria. Setelah menyantap sup dan telur dadar buatan Lissa, Satria merasa mengantuk lagi. Dia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan memejam. Dia biarkan Lissa memeriksa tangannya.
"Bagus, tapi masih agak basah," kata Lissa.
Satria seperti tak mendengarkan. Tangannya tertarik, saat Lissa mengambil kassa yang sudah dibubuhi betadine.
Dingin. Itu sensasi saat jahitannya dibersihkan dengan kassa itu. Karena tak ada plester seperti yang ada di Rumah Sakit, Lissa hanya menggunakan kassa steril untuk menutupi jahitan itu dan merekatkannya dengan plester rol kain di tiap-tiap sisinya.
"Sudah, untuk sementara," kata Lissa sambil membereskan peralatan-peralatan yang telah digunakan.
Suara ponsel berbunyi. Satria bergeming karena merasa itu bukan suara ponselnya.
"Oh, dari IGD," sahut Lissa, membangunkan Satria yang tiba-tiba membuka mata.
"Halo," jawab Lissa.
Satria menegakkan punggungnya dan ikut mendengarkan. Apa ada yang gawat.
"APA?" Lissa terkejut hingga bangkit. "Puluhan narapidana dikirim dengan luka tusukan dan sayatan benda tajam?" Lissa menoleh ke arah Satria yang kemudian bangkit. "Baik, aku akan segera kembali," jawab Lissa lalu menutup ponselnya.
Lissa memandang Satria. "Aku harus pergi," sahut Lissa mengambil tas jinjingnya yang diletakkan di atas rak radensa cepat-cepat, membuat sebuah topi hitam bertuliskan singapor terjatuh di lantai.
"Aku ikut," sahut Satria di belakangnya.
Lissa menoleh ke belakang.
Satria seolah-olah tahu Lissa tidak akan mengijinkannya ikut. "Kalian pasti kewalahan dengan pasien sebanyak itu," dia meyakinkan,"Setidaknya aku bisa membantu kalian, semampuku."
Lissa berpikir sejenak, "Dengan pakaian seperti ini?" sambil menunjuk ke pakaian Satria yang hanya mengenakan kaos oblong putih round neck dan celana training abu-abu tuanya.
Satria memberi kode untuk menunggu sebentar, mengambil jumper putih tebalnya dan melangkah mengambil topi yang terjatuh di lantai, lalu mengenakannya dan menghilang dibalik pintu.
"Hhh, kau ini!" gumam Lissa lalu mengikuti Satria, setelah mengunci pintu.
***
15 menit kemudian, keduanya membuka puntu IGD. Satria membuka topinya. Suasananya begitu menegangkan. Banyak tahanan berseragam oranye terbaring dan berteriak kesakitan. Ilham sedang disibukkan dengan seorang pasien. Beberapa perawat berseliweran membawa instrumen dan obat-obatan.
"Dokter!" panggil Ilham pada Lissa yang berdiri di depan pintu. Lissa bergegas mendekat.
Satria melihat sekeliling. Ada seorang berseragam biru muda yang memegangi seorang pasien dengan luka sayatan di perut. Satria mendekatinya. "Apa yang terjadi?"
"Apa anda dokter?" tanya pria berseragam itu, setelah Satria hanya mengenakan jumper putih dan celana training abu-abu.
Satria mengangguk sambil melihat seberapa parah luka robeknya.
"Seorang tahanan mengamuk dan melukai hampir semua tahanan," jelasnya.
"Apa kau sipir tahanan?"
"Ya."
"Penjara mana?"
"Rutan Bayangkara."
Satria terperanjat karena teringat seseorang yang dia kenal ditahan di sana. "Berapa jumlah tahanan yang terluka?"
"Hampir semua tahanan terluka, sekitar 50 orang."
Satria bangkit dan berkeliling. Mencermati seluruh tahanan yang terbaring di situ. Orang yang dia kenal tidak ada.
"Apa kau yakin jumlahnya ada 50 orang?" tanya Satria mendekat. "Di sini hanya ada 18 tahanan dan 2 pasien umum."
"Ada beberapa tahanan yang luka ringan sedang ditangani oleh dokter klinik di Rutan. Untuk pasien yang gawat kami antar ke beberapa Rumah Sakit terdekat, termasuk kemari," jelas sipir itu.
Satria menghela napas. "Berapa kapasitas ruangan ini?" tanya Satria pada Lissa yang sedang menandai seorang tahanan dengan lipstik merahnya.
"20!" jawabnya setelah menorehkan 1 garis melintang berukuran 5 cm.
"Tapi, ada 5 tahanan lagi dalam perjalanan kemari," sahut sipir itu sambil menunjukkan ponselnya, masih terdengar suara seseorang berbicara.
"Kirim saja ke Rumah Sakit lain!" sahut Ilham yang sedang mengambil beberapa peralatan hecting set, infus set, beberapa obat-obatan, ke dalam wadah besar.
"Tapi, Rumah Sakit lain sudah menolak!"
"Bagaimana ini? tenaga medis kita terbatas," seru Ilham.
Tiba-tiba suara pintu terbuka.
"Bantuan datang!!" Gavin membuka pintu samping IGD. Terlihat dokter Harris dan beberapa dokter residen dari departemen ilmu bedah datang membantu.
"Panggil semua dokter dan perawat yang sedang libur!" perintah dokter Harris. "Katakan kita sedang menangani kejadian luar biasa," perintahnya lalu menangani pasien yang ditandai 2 garis di dahinya.
"Kumpulkan semua peralatan medis yang diperlukan dan obat-obatan di atas meja!" perintah Dokter Harris sambil menggebrak meja kerja Lissa sedikit keras. "1 pasien 1 dokter 1 perawat!"
"Silakan periksa tanda di dahi pasien! garis 1 luka ringan, garis 2 perlu penanganan segera!" seru Lissa sambil menorehkan garis 2 ke dahi seorang tahanan.
"Dokter Satria, dokter Gavin dan aku, akan menangani pasien garis 2," perintah dokter Harris. "Lainnya tangani pasien garis 1!" seru dokter Harris sambil mengenakan handscoon dan masker yang dibagikan seorang perawat.
"Siap! Serahkan garis 2 padaku!" seru Gavin sambil melemparkan jas dokter milik Satria pada empunya, lalu mengambil masker dan sepasang handscoon juga.
Satria segera mengenakan jas dokternya seraya berkata, "Ada 5 pasien dalam perjalanan kemari, siapkan bangsal darurat!" serunya lalu mengambil sepasang handscoon dan juga masker.
Para perawat pria membawa 5 bangsal darurat masuk ke IGD. Beberapa meja kursi yang tidak diperlukan disingkirkan oleh perawat.
Semua dokter dan perawat bekerja sama mengobati dan menjahit luka para tahanan hingga malam hari.
***
Pak Sastro panik seperti kebakaran jenggot. Berjalan mondar-mandir di kantornya beserta para staffnya.
"Lapor Pak! Seluruh tahanan yang terluka serius telah dikirim ke Rumah Sakit terdekat untuk perawatan," seru Pak Rustam.
"Oh, syukurlah, semoga mereka baik-baik saja," jawab Pak Sastro lega, "Lalu bagaimana dengan 4747?"
"Terpaksa kami lumpuhkan dengan peluru karet," jawab Pak Rustam.
Pak Sastro akhirnya bisa duduk dengan tenang di sofa. "Hhh, saya tidak ingin dia masih ada di sini besok!" tambahnya dengan rasa marah, lalu menoleh pada Pak Bowo, "Bagaimana dengan kelengkapan yang diperlukan?" tanyanya, "Saya ingin dia dipindahkan malam ini juga!"
***
"Ahh, dasar kurang ajar si 4747 itu!" umpat seorang tahanan yang telah dirawat dan ditandai dengan coretan lingkaran diluar garis 2-nya. "Gara-gara ulahnya, aku jadi hampir mati!"
"Iya benar!" sahut tahanan lainnya.
"Lihat saja! kita akan membalas perbuatannya ini!" sahut yang lainnya, "Awh, pelan-pelan dokter!"
"Iya! Kita akan beri dia pelajaran!"
"Benar! Biar tahu rasa dia!!"
"Awas kau 4747!!"
"Kalian tidak akan bisa melakukan itu!" sahut sipir yang menjaga tiba-tiba.
"Apa?"
"Kenapa?"
Sipir itu melanjutkan, "Baru saja ada kabar, malam ini 4747 akan dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa."
"AAAHHH!! Dasar brengsek!" ungkap salah seorang tahanan yang kecewa.
"HUHHH!!" sahut tahanan lainnya.
Satria dan para dokter yang masih berada di situ mau tak mau ikut mendengarkan pembicaraan mereka.
Satria melewati seorang narapidana yang meringkuk kesakitan di bangsal paling pojok. Dia bersembunyi di bawah selimutnya. Seorang suster mengikuti Satria mendekati bangsal itu.
"Hai," panggil Satria, "Halo!"
Tapi dia masih saja bersembunyi di dalam selimut.
"Permisi! aku mau lihat lukanya," kata Satria lagi sambil merlahan membuka selimut bagian bawahnya.
"Eh,eh, tunggu!" kata tahanan itu tiba-tiba mengeluarkan kepalanya dari balik selimut. Terlihat tanda garis 1 pada dahinya. Dia terlihat masih sangat muda dibandingkan tahanan yang lainnya. "Apakah terasa sakit?" tanyanya ketakutan.
"Hmm?" Satria duduk di kursi disampingnya. "Aku juga baru dijahit beberapa hari yang lalu," sambil menunjukkan telapak tangan kanannya.
"Apakah terasa sakit?" dia mulai berani membuka selimutnya.
"Sedikit," jawab Satria sambil mengenakan handscoon dan memasang kembali masker yang tadi disangkutkan ke dagu.
"Sedikit?" Tahanan itu kurang yakin." Janji hanya sakit sedikit?"
Satria mengangguk lalu mengangkat botol kecil berisi anastesi, menusuk tutup botol karetnya dengan jarum suntik, lalu menarik isi obatnya hingga beberapa cc.
"HUWAAAAA!!! Jangaaann!!! Tidaaaakkk!!!" teriaknya sambil berontak, jadi harus dipegangi oleh beberapa perawat di dekatnya.
Setelah beberapa saat akhirnya dia menyerah juga.
"Awh, sakit! pelan-pelan, Dokter!"
"Tahan dulu sebentar ya," pinta Satria, "Bagaimana kamu bisa menjadi seorang tahanan?" Satria penasaran.
"Aku," Tahanan itu memulai, "tidak sengaja membunuh temanku," lanjutnya sambil terisak. "Saat dia ulang tahun yang ke 20 tahun, aku merencanakan untuk menceburkannya ke danau dekat kampus," lanjutnya, "ternyata dia tidak bisa berenang," tangisnya tak terbendung. "Dan diketemukan dua hari kemudian."
Sesaat Satria teringat peristiwa kematian ayah kandungnya. Lalu fokus lagi pada jahitannya.
"Dokter," panggil tahanan itu sambil memeluk bantal supaya tidak bisa melihat anggota tubuhnya yang sedang dijahit.
"Hmm?" jawab Satria tanpa mengalihkan pandangan.
"Dokter, orang yang sangat baik. Tidak peduli aku seorang penjahat, tapi dokter memperlakukan aku seperti seorang pasien. Terima kasih, Dokter!"
"Semua dokter sudah disumpah untuk melakukan tugasnya dengan cara terhormat dan bersusila, jadi kami tidak boleh membeda-bedakan pasien, bahkan seorang kriminal sekalipun."
Satria tertarik pada 4747 yang mereka bicarakan tadi. "Oh iya, apa kamu mengenal siapa 4747 itu?"
"Aku tidak begitu kenal, tapi dia pernah menusuk temannya di penjara hingga tewas," jelas tahanan itu.
"Temannya? ditusuk hingga tewas?" Satria tak habis pikir.
"Desas-desusnya sih karena temannya itu mengkhianatinya."
Satria terkejut. Apakah 4747 itu adalah seseorang yang dia kenal?
"Tapi, akhir-akhir ini dia sering berbicara sendiri, berteriak-teriak, kadang-kadang juga tertawa terbahak-bahak, para sipir bilang dia mengalami gangguan jiwa, makanya dia dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa."
Tiba-tiba Satria mulai pusing melihat jarum yang dia pegang. Dia hampir tak bisa melihat ujung jarumnya, dan harus memicingkan mata berkali-kali untuk bisa melihat dengan baik.
"Sini, biar aku saja," Lissa tiba-tiba mendekat.
"Tanggung, sedikit lagi," Satria bersikeras untuk melanjutkan.
"Ini sudah diluar batas kemampuanmu," sahut Lissa mengingatkan.
"Dokter, ada apa ini?" tanya tahanan yang lukanya sedang dijahit oleh Satria. "Kenapa kalian bertengkar? Apa ada masalah serius dengan lukaku?" tanyanya lalu menangis," Ibu, apa kakiku akan diamputasi? Ibuuuu..."
"Hei, tenanglah," jawab Lissa, "tidak ada yang akan mengamputasi kakimu. Lagipula yang terluka itu pahamu," tambahnya lalu menengok lagi ke arah Satria. "Sudahlah! Sudah 3 jam kamu disini untuk menjahit pasien! Pasien garis 2 pun sudah habis sejak 2 jam yang lalu. Dokter Harris dan Gavin juga sudah kembali ke atas. Pulang saja lah sana!"