Nadia memasukan baju-baju ke dalam tas ransel berukuran besar. Beberapa pakaian dalam ia masukkan ke dalam tas bagian depan. Sabun dan peralatan mandi lainnya ia masukkan ke laci luar. Beberapa perlengkapan dan kebutuhan lain dimasukan ke dalam tas kecil.
Di sampingnya berdiri seorang cowok dengan kemeja lengan pendek dan celana kantoran. Cowok itu bernama Dewa, berusia dua puluh enam tahun. Ia calon dokter spesialis tahun depan. Ia berdiri di samping Nadia sambil membantu membenahi pakaian Nadia. Cowok jangkung berkulit putih itu memang tipe cowok setia, namun tidak hari ini. Kali ini Dewa tidak bisa menemani Nadia berlibur. Hal itu membuat Nadia terlihat kesal. Padahal mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari, tapi Dewa membatalkannya begitu saja.
”Maafkan aku, Nad. Aku tidak bisa menemanimu liburan.” Ucap Dewa ragu dan menahan bicaranya. Ia tampak was-was dengan perkataanya dan berusaha menjaga perasaan Nadia.
Nadia menghentikan kegiatannya, kemudian menatap wajah Dewa dengan lekat. Kesal. Semburat wajahnya penuh kelelahan. Ada perasaan kecewa yang tiba-tiba menggerogoti hatinya.
”Maksudmu apa? Segampang itu kamu membatalkan kepergian kita? Kamu memang selalu begitu, Wa. Kamu lebih mementingkan dirimu sendiri dari pada aku. Kapan kamu punya waktu buatku?” Ucap Nadia, gadis berusia dua puluh tiga tahun menuntut haknya sebagai seorang kekasih. Dia terus membenahi baju-bajunya ke dalam koper besar.
”Nad, dengar dulu penjelasanku. Aku.” Ucapan Dewa terpotong dan ditepis Nadia dengan cepat.
”Cukup, Wa!” Tepis Nadia. ”Aku bosan dengan alasan-alasanmu. Kamu egois. Bukan sekali ini saja kamu membatalkan rencana kita untuk berlibur, Wa. Tahun lalu kamu tidak bisa menemani aku ke Bali. Kamu bilang ada urusan penting di kampus. Trus saat aku memintamu untuk menemaniku menghadiri acara perkawinan sahabatku, kamu juga tidak bisa. Kamu bilang ada acara kawinan sepupu kamu. Maksudmu apa sih, Wa? Aku punya kekasih seperti tidak punya siapa-siapa.” Nafas Nadia tampak naik turun karena kesal.
”Nadia, tolong mengerti dengan posisiku.”
”Aku sudah cukup mengerti denganmu, Dewa.” Potong Nadia cepat. ”Kamu seorang dokter yang sibuk dengan pasien-pasienmu. Kamu sibuk dengan tesis-tesismu yang tidak pernah selesai! Kamu bangga dengan gelar yang kamu sandang, iya kan?! Di mana tanggung jawabmu, Wa? Aku bosan dengan sikapmu yang terus-menerus begini!” Suara Nadia agak meninggi. Ia kembali memasukkan perlengkapan selama liburan ke dalam tas.
”Nadia, please. Aku tidak bermaksud begitu. Masalahnya sangat rumit. Kita bisa mengambil liburan itu setelah aku selesai pendidikan. Kita masih punya banyak waktu.”
”Kita?” Nadia menaikkan alis matanya dan membuat kerutan di keningnya. ”Kapan kamu punya waktu untukku, Wa? Jangankan untuk berlibur, untuk nonton bareng aja kamu tidak punya waktu?!” Sergah Nadia.
“Nad, jangan pergi tanpa aku.” Ujar Dewa memelas.
“Dan aku akan menikmati liburanku tahun depan? Saat aku tak lagi bersemangat untuk berlibur? Kamu tidak perlu menemani aku, Wa. Aku akan menikmati liburanku bersama Ucie, sahabatku. Percuma aku punya kekasih sepertimu. Lebih baik kita putus, Wa. Kita sudahi hubungan ini. Agar aku tahu menentukan jalan hidupku.” Nadia menutup ranselnya dengan kesal, lalu keluar dari kamarnya dengan tergesa. Dewa mengikuti langkah Nadia yang terburu-buru.
”Nadia, tunggu, Nad. Kamu ngomong apa sih? Kamu tidak bisa membuat keputusan begitu saja!” Hardik Dewa di tengah anak tangga.
”Lantas, aku harus berbuat keputusan bagaimana? Aku sudah cukup sabar menghadapimu, Wa. Aku bosan. Aku muak, Wa dengan sikapmu yang seperti ini!” Kali ini Nadia benar-benar kalap ingin memutuskan tali percintaan mereka.
”Nadia, aku mohon. Please...” Mohon Dewa sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.
Nadia tidak perduli. Dia terus saja menuruni anak tangga dan menuju ruang tamu. Mama yang berada di ruang tamu berlonjak kaget ketika mendengar suara keributan di anak tangga. Mata mama beralih melihat Nadia yang tergopoh-gopoh turun dari tangga sambil membawa tas ranselnya. Dahinya berkerut melihat putrinya ngomel-ngomel tak tentu arah.
”Nadia...” Tegur mama hati-hati ketika Nadia sampai di lantai bawah.
Nadia berhenti di ruang tamu dan menatap Mama dengan lekat. Mama beringsut dari kursinya dan menghampiri Nadia yang sudah kesal. Sepertinya hubungan mereka tidak bisa dipertahankan lagi.
”Ada apa sih sampai kamu marah-marah begitu?” tanya Mama masih dengan nada was-was. Nadia melipat tangannya di dada dengan nafas tidak teratur, lalu menatap Mama.
”Nadia mau berangkat, Ma. Nadia mau pamit.” Ucap Nadia dengan nada kesal.
”Kamu jadi berangkat?” tanya mama sambil mengerutkan dahinya.
Nadia mengangguk pelan. ”Iya, Ma.” Jawabnya singkat.