Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak menemukan sahabatku karena kecelakaan itu. Kecelakaan yang membawaku terperangkap dalam dunia tak kasat mata. Aku merasa pandanganku sangat gelap!
Kini Ucie sedang menungguku di bandara.
Medan, kini, 2020. Pagi yang cerah dan Ucie masih menunggu di Bandara.
Di ruang tunggu bandara terlihat Ucie yang gelisah menunggu Nadia. Berkali-kali ia melirik jam tangan di lengan kirinya.
“Ughh, Nadia kemana sih? Kebiasaan banget.” Selah Ucie kesal. Ucie masih menunggu Nadia di bandara dengan pikiran tidak menentu. Kedua kakinya terasa bergetar. Ini kedua kalinya ia menaiki pesawat dan berlibur ke Singapura. Sudah puluhan kali ia memencet tombol ponselnya dan lagi-lagi ponsel Nadia tidak aktif.
Ucie menghela berat dan memperhatikan penumpang lain yang sibuk naik ke kabin pesawat. Ucie masih bingung dan berusaha menenangkan pikirannya. Namun terlihat semakin gelisah. Sekali lagi ia melihat arloji di lengan kirinya. Tinggal lima belas menit lagi dan Nadia belum muncul di bandara.
“Nadia, please... Kamu dimana?” Gumam Ucie berbisik sendiri.
“Pesawat jurusan Singapura...bla...bla....” Seorang resepsionist sudah mengumandangkan keberangkatan pesawat Nadia dan Ucie. Ucie masih duduk sambil melihat penumpang lain yang ngantri di pintu masuk.
Sampai Ucie naik ke dalam pesawat pun Nadia tetap tidak ada. Ucie semakin kesal dan celingukan melihat penumpang lain. Ia hampir menangis karena Nadia belum muncul juga. Untung saja secepatnya ia mengapus matanya dengan tisu.
Pesawat segera lepas landas dan Ucie tidak menemukan Nadia. Ucie duduk di sebelah jendela pesawat. Ia melihat kursi di sebelahnya kosong. Terasa sepi tidak ada Nadia. Ucie duduk terpaku dengan pikiran yang tidak tenang.
Pesawat pun meluncur menembus awan-awan putih. Ucie pasrah dan terpaku di samping jendela pesawat. Ia memikirkan nasip Nadia yang ketinggalan pesawat. Ia berharap Nadia menyusulnya ke Singapura.
Beberapa menit kemudian, Pesawat mendarat di bandara Changi Singapura. Langit Singapura membentang luas tak terbatas. Gumpalan-gumpalan awan putih bertebaran seperti kapas dengan bentuk yang tidak beraturan.
Ucie keluar dari pesawat sambil mengaktifkan ponselnya. Ia ingin menghubungi Nadia, mengapa gadis itu tidak jadi pergi. Ponsel Nadia tidak aktif. Tidak ada nada panggilan. Ucie ngomel-ngomel sendiri sambil menghubungi ponsel Nadia kembali. Tidak aktif.
“Ughhh… Nadiaaa… aktifin dong ponselnya… Aku sendirian nih di Singapura!” Omel Ucie lagi.
Ucie mengedarkan pandang ke sudut kota Singapura. Ia tidak tahu harus kemana selanjutnya. Ia juga tidak tahu banyak tentang kota itu. Ia hanya ingat hotel yang pernah mereka sewa dulu. Dengan susah payah Ucie mengangkat tas ranselnya ke pundak, lalu menghadang sebuah taksi.
###
Ucie merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia menyewa kamar hotel kecil di kawasan Orchard road. Ia masih kepikiran dengan Nadia. Kemana sahabat sejatinya itu berada. Ucie mencoba menghubungi ponsel Nadia lagi. Tetap saja tidak ada nada sambung.
“Ughh, Nadia... Kamu keterlaluan deh ninggalin aku sendirian di Singapura.” Keluhnya kesal sambil meremat sprey putih yang masih rapi. Kini bekas rematanya membuat garis-garis tak beraturan.
Ucie beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah jendela. Ia melihat bangunan-bangunan pencakar langit yang berdiri kokoh dengan angkuhnya. Ia akan menikmati liburan di Singapura sendirian. Itu hal yang membosankan baginya.
Setelah puas ia memperhatikan sudut kota Singapura, ia kembali merebahkan tubuhnya. Malam ini ia tidak ingin kemana-mana. Ia ingin meluruskan tulang-tulang kakinya terlebih dahulu. Setelah itu ia ingin berendam di bathtup dengan air hangat.
Tiba-tiba saja Ucie terkejut ketika melihat sekelebatan bayangan putih di jendela. Bulu kuduknya merinding tiada terkira. Ucie ketakutan sambil mendegut ludahnya. Kemudian mengambil ponselnya di atas meja. Tangannya gemetar dan raut wajahnya berubah pias. Ia mencoba menghubungi Nadia kembali, namun tetap saja tidak ada nada panggilan.
“Ughhh.... Nadiaaa.... Kamu dimanaaaa? Aku ketakutan nih.” Rengeknya seperti anak kecil.
Uci memberanikan diri mengintai jendela kamar, dan tidak ada apa-apa disana. Ia hanya melihat bangun menjulang tinggi. Kemudian pandangannya mengedar pada sudut-sudut kamar. Ia merasakan kesunyian luar biasa. Kemudian ia menangis sendiri saking takutnya.
Dari pada ketakutan di kamar, Ucie memilih keluar dan menikmati suasana malam kota Singapura. Walau ini untuk yang kedua kali ia berada di negeri itu. Sedikit banyaknya ia tahu tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi dulu.
###
Perasaan Ucie tidak enak. Entah mengapa bayangan-bayangan wajah Nadia bermain-main di matanya. Nadia tidak mungkin membatalkan kepergiannya begitu saja. Ucie tahu betul sifat Nadia. Mereka sudah berteman sejak kecil dan hanya Nadia tempat curahan hatinya.
Ucie berusaha menghubungi ponsel mama Nadia. Nada dering terdengar di telinga Ucie. Tidak diangkat. Ucie terlihat cemas sambil menggigit bibir bawahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.