Cahaya matahari pagi menerobos kisi-kisi jendela kamar Nadia yang tengah terlelap di tempat tidur. Perlahan ia terbangun dan menguap lebar. Terasa enggan membuka kelopak matanya yang masih berat. Masih asyik memeluk boneka kesayangannya, Teddy Bear. Masih asyik berkutat dengan mimpi-mimpi indah semalam, bertemu dengan pangeran pujaan dari negeri dongeng. Masih asyik dengan kasur empuk yang menenggelamkan gelora emosi dan masih asyik dibelai semilir angin pagi yang berseliweran melalui celah jendela.
Sudah jam delapan pagi. Ponsel kesayangannya berbunyi dengan getar yang kencang. Semalam dia lupa memijit tombol off, sehingga ponsel menyala terus. Dengan rasa malas ia meraih ponsel di atas meja belajar.
“Ya, halo?” sapa Nadia dengan suara serak. Maklumlah, kerongkongannya masih terasa kering. Belum digelontori oleh air mineral segar dari pegunungan.
“Nadia, kamu di mana?!” tanya si penelepon dengan nada sengit. Suaranya sember seperti baru pulang ngeronda. Itu suara Uci, sahabat dekat Nadia. Sedetik kemudian Nadia terlompat bangun dari tempat tidurnya. Refleks. Kaget juga Uci meneleponnya pagi-pagi begini dan teriak-teriak kayak emak-emak mau melahirkan. Sialan tuh anak!
“Sabar, Non. Ada apa?” balas Nadia dengan posisi tegak di sisi tempat tidur.
“Ada apa?” Uci menirukan gaya bahasa Nadia yang dianggap begok. “Nadiaaa! Apa kamu lupa kalau pagi ini kita ke Kuala Lumpur?!” cerocos Uci sewot.
Refleks Nadia teringat. “Apa? Ke Kuala Lumpur?” Nadia mendelik kaget. Di lihatnya jam dinding berbentuk hati di atas meja belajarnya. “Oh, my God... Aku lupa, Ci. Kamu tunggu aku ya!!”
“Lupa? Dasar dodol! Cepetan! Kalau dalam waktu tiga puluh menit kamu nggak tiba di bandara, kami tinggal!”
“Please...” Nadia memohon.
Klik. tuuuuuttttssss.
Telpon terputus. Nadia membetut sambil ngomel-ngomel ke handponenya, lalu buru-buru ke kamar mandi. Meletakkan hp-nya dengan asal. Meraih handuk di gantungan dan meraih sikat gigi.
“Nadiaaa! Kamu jadi berangkat?!” mama berteriak dari luar.
“Sebentar, Ma. Nadia masih mandii.” sahut Nadia dengan mulut masih dijejali sikat gigi.
“Cepat, Nad. Nanti ketinggalan pesawat!” Mama berteriak lagi.
“Iya, Maaa.”
Nadia buru-buru menghapus tubuhnya dengan handuk, lalu melesat ke lemari baju. Mengobrak-abrik isi lemari baju sampai berantakkan. Dia mengambil celana jeans ketat dan t-shirt. Dengan napas yang ngos-ngosan Nadia keluar dari kamarnya.
Papa dan mama yang masih berada di meja makan hanya memperhatikan Nadia yang sibuk mencari sepatu ketsnya. Ia tampak kebingungan.
“Sepatu mana, ma. Sepatu?” tanyanya tergesa.
“Mana mama tahu. Kan kamu yang nyimpan sepatumu.”
“Aduh, mama. Please bantuin Nadia cari sepatu.”
“Huh, kamu. Makanya sepatu itu disimpan yang bagus, biar gak repot nyarinya.”
Nadia nyerah karena tidak menemukan sepatu. Mama mengambil sepatu Nadia di atas lemari sepatu.
“Tuh, kamu yang ngeletakin di atas lemari.”
“Astaga, Nadia lupa. Makasih, mama.” Kata Nadia dan segera memakai sepatu dengan buru-buru. Setelah itu ia pamit ke mama.