Aku menegakan kepala, buku berjudul Antologi Rasa (Illustrated Edition) karya Ika Natasya masih berada dalam genggaman kedua tangan. Bergerak memperbaiki posisi duduk, sedikit meliukan tubuh ke kiri dan ke kanan, lalu kedua tangan secara bersamaan menutup buku dan menaruhnya di meja yang ada di depanku.
Menatap jam dinding yang bertuliskan angka-angka Arab dalam kotak berbentuk kubus kayu, kecil-kecil. Hanya ada empat angka Arab yang tertulis di kubus kayu kecil itu. Yaitu angka 1, 3, 6, dan 12. Posisi angka 3 di sisi kanan, sejajar dengan angka sembilan yang ada di sisi kirinya. Posisi angka enam ada di bawah sejajar dengan angka dua belas yang ada di atasnya. Sisanya hanya potongan-potongan kecil kubus kayu berwarna hitam, diantara angka-angka Arab tadi. Di tengahnya ada bentuk seperti matahari yang bertuliskan lafadz Allah, dengan cat warna emas dan hitam, di titik pusatnya menempel jarum jam panjang dan jarum jam pendek, menunjukan pukul sembilan malam lewat dua puluh lima menit.
Tiba-tiba pandangan mata menjadi kabur dan gelap beberapa saat, rasa mual dan sakit di belakang kepala muncul bersamaan. Sudah dua minggu ini merasakannya hampir setiap hari. Aku bangkit dari duduk, kedua tangan merambat ke tembok, perlahan berjalan menuju kamar.
Di pintu kamar, sakit di kepala semakin menyerang, memegangnya dengan kedua tangan untuk menahan sakit. Pelan-pelan merebahkan badan di ranjang, tangan kiri menarik sebuah guling, aku peluk erat untuk mengurangi sakit di kepala dan rasa mual, sambil mengatur napas.
Mata mulai terasa berat, tertutup-terbuka berulang kali, kemudian mulutku menguap sambil mengejapkan mata. Botol minyak kayu putih yang aku ambil dari rak ketika masuk kamar, ada dalam genggaman tangan kanan.
Perlahan membuka tutup botol minyak kayu putih, menghirup aroma minyak kayu putih yang menyengat hidung untuk menghilangkan rasa mual dan melegakan pernapasan. Entah kenapa, hisapan terakhir dari botol minyak kayu putih membuat pikiran melayang jauh, mengingat pertengkaran Bunda dan aku. Pertengkaran yang mengubah haluan kapal yang baru saja dikembangkan layarnya, dipaksa untuk memutar balik arah kapal. Demi Bunda, semua dilakukan untuk kebahagiaan Bunda.
Awal September 1999.
“Bunda tidak mau tahu, kamu harus menikah tahun ini juga!” Mata Bunda menatap tajam ke arahku, “kamu anak perempuan, tapi susah diatur! Bunda sudah tidak sanggup, lebih cepat kamu menikah itu akan lebih baik!”
“Bunda tidak menyetujui hubungan Mia dengan Anto, lalu Mia harus nikah dengan siapa? Mia masih ingin mewujudkan impian, belum mau menikah,” ratapku sambil mencurahkan isi hati agar Bunda mengurungkan keinginannya.
“Terserah dengan siapa, sudah capek Bunda menjodohkanmu! Hanya bikin malu dengan semua ulahmu! Yang penting laki-laki itu harus mapan, bertanggung jawab, bisa menjagamu dan membawamu ke surganya Allah!” ucap Bunda dengan tegas.
Sidang keluarga malam itu – entah sudah berapa kali diadakan sidang keluarga karena ulahku. Bunda akan mengumpulkan semua anak dan menantunya, jika dirasa aku berbuat sesuatu yang membuat hati beliau tidak nyaman, tentu saja semua sidang terjadi karena ulahku – akan menjadikan malam semakin terasa panjang. Ya Tuhan, apa lagi kesalahan yang sudah aku lakukan???
Terkadang bingung sendiri, apa iya tidak ada satu pun hal yang benar dan baik dalam diri aku? sejak Ayah meninggal, entah sudah berapa sidang yang digelar sampai detik ini. Seandainya MURI mengadakan pemilihan, sidang keluarga yang diadakan Bunda bisa meraih rekor MURI, sudah mengalahkan sidang-sidang MPR/DPR saja.
Dua bulan sebelum merayakan hari kelahiran, persidangan kembali digelar karena pelanggaran jam malam yang sudah ditentukan untukku. Bisa dibayangkan, mahasiswi semester lima, umurnya hampir 20 tahun, harus ada di rumah jam delapan malam, tidak boleh menerima tamu dan telepon di atas jam sembilan malam. Sungguh sangat istimewa sekali, bukan? Selamat datang dalam kehidupan Azmia.
Namun, sidang kali ini sungguh membuat dada ini sesak, sama sekali tidak berkutik. Rupanya ulah aku kali ini benar-benar membuat Bunda marah dan kecewa. Kedua pasangan suami istri – kedua kakakku dan istri mereka – yang turut hadir, hanya bisa kasihan melihat mata sembab akibat air yang mengalir dari kedua ujung mataku. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, tidak ada yang bisa membantah jika Bunda sudah menyatakan keinginannya.
Cinta Pertama Berakhir Derita
Usia 19 tahun, untuk pertama kalinya merasakan jatuh cinta, sangat indah sekaligus menyakitkan. Begitu banyak lelaki hilir mudik berusaha bermukim di hati, tapi tidak mudah merasakan kehadiran cinta yang mengisi relung hati. Lelaki itu ibarat mainan, mudah didapatkan dan diganti dengan yang baru jika sudah bosan.