Menikah... hanyalah sebuah kata, tetapi memiliki banyak makna berbeda bagi setiap orang. Satu kata sederhana, namun letaknya berada jauh dalam kotak data di memori otak. Saking jauhnya, ia tidak terdeteksi atau mungkin bisa dikatakan hanya menjadi sebuah siluet kata dalam memori data di otak aku.
Aku adalah tipe wanita yang tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk hidup terikat hanya dengan satu orang lelaki. Usia masih teramat muda, belum waktunya melepaskan kebebasan dan menukarnya dengan hidup bersama satu orang lelaki dalam suatu ikatan suci yang bernama “pernikahan” itu sangat tidak mungkin...!
Masih banyak tempat yang ingin didatangi, masih ingin menikmati keindahan dan keunikan budaya yang bertebaran di muka bumi ini. Usia aku saat ini sangat tepat untuk memulai kisah-kisah kehidupan, agar kelak bisa menorehkannya dalam sebuah buku berjudul “Goresan Pena Azmia” akan menjadi saksi bisu dan kenangan hidup. Petualangan baru saja dimulai, tidak mungkin akan menyia-nyiakan masa muda begitu saja.
I have to enjoy it ...
Mia, adalah nama panggilan sayang Ayah dan Bunda. Mahasiswi semester akhir di salah satu kampus yang enggak perlu disebut namanya, kampus ini hanya terkenal di kalangan para pejabat dan orang-orang sukses. Yes, kampus ini hanya untuk orang-orang pilihan, ribuan orang yang mendaftar hanya beberapa ratus orang yang berhasil mendapatkan status mahasiswa seperti aku.
Kulit hitam manis, perawakan tidak terlalu tinggi juga tidak pendek dengan body lumayan aduhai. Mata bulat, alis tebal, dengan bulu mata lentik, cantik dan menarik. Rambut panjang sebahu, hitam lebat, sedikit ikal, merupakan mahkota yang menjadi pusat perhatian lelaki, apalagi saat tergerai dan melambai tertiup angin.
Nyaris sempurna secara fisik, tentu saja masuk dalam daftar wanita idaman kaum Adam. Senyuman dan kata-kata beracun yang mengalir dari bibir akan dengan mudah membius para lelaki pemuja cinta. Langkah kaki penuh percaya diri, atau mungkin lebih tepatnya bisa dikatakan wanita yang angkuh, membuat banyak lelaki penasaran ingin menaklukan keangkuhan dalam diriku.
“Ttsssttt... liat tuh mahasiswi yang pergi pagi, pulang malam, kuliah apa kuliah...?” bisik ibu-ibu rumpi setiap pagi berkerumun di tukang sayur. Selain olahraga tangan memilih sayuran, mereka juga tidak pernah lupa olahraga mulut dengan cara berghibah, menjadi agenda rutin dalam jadwal harian mereka.
Ini menjadi salah satu penyebab aku menyimpan kata “Menikah” di kotak paling belakang dalam brankas data di otak. Tidak mau bernasib seperti mereka, membayangkannya saja ogah apalagi harus menjalaninya.
Terserah orang mau bilang apa, menempelkan label nama apa, selama mereka tidak berbicara langsung di depan muka, tidak pernah perduli dan ambil pusing dengan bisik-bisik orang-orang disekitar. Selama yang aku lakukan terasa nyaman dan bahagia, whatever people want to say about me!!!
Namun, berbeda pemikiran dengan Bunda. Rupanya lama-lama beliau terusik dengan bisik-bisik rumpi yang keluar dari mulut ibu-ibu kampung. Enggak ada maksud untuk menghina, memang kenyataannya tempat tinggal kami di kampung yang berada di tengah kota.