Anak yang manja dan malas adalah sebutan yang sering diucapkan Ayah. Walaupun begitu, beliau sangat menyayangi anak gadisnya. Apa pun yang aku mau, aku minta, selalu dikabulkan olehnya. Tidak akan ada yang bisa menggantikan Ayah dalam hati ini. Ayah adalah lelaki idolaku.
Terkadang beliau sangat “kejam” untuk urusan ibadah, perintahnya tidak boleh dibantah. Salat di awal waktu dan mengaji wajib dilakukan setiap hari. Azan Magrib berkumandang, sudah harus ada di rumah ketika. Kata Ayah, anak perempuan tidak baik sering keluar malam.
Ketika menginjak remaja, tidak boleh lagi mengumbar aurat, semua pakaian harus serba tertutup. Rok mini dan kaus ketat yang sedang menjadi tren mode ketika remaja, harus dilupakan. Namun, larangan Ayah hanya berlaku di rumah, karenanya teguran dan hukuman silih berganti menjadi di masa remaja.
Hingga suatu ketika, Ayah memaksa untuk mulai berhijab karena usiaku sudah 17 tahun. Masih sangat jelas dalam ingatan, ucapan Ayah saat itu.
“Ayah yang akan diminta pertanggungjawabannya nanti. Apa Mia mau Ayah dihisab karena Mia tidak nurut sama Ayah?!”
Tatapan mata Ayah dan aku beradu pandang. Mungkin karena usia yang masih sangat muda, dengan sifat keras kepala dan tidak mau diatur, ingin menikmati kehidupan duniawi seperti gadis remaja lainnya, membuat amarah membuncah.
“Ayah nggak usah watir, Mia sendiri yang akan mempertanggungjawabkan semua kelakuan Mia! Bukan Ayah!” bentakku. Tanpa menunggu jawaban aku masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu.
Hasil dari perbuatan ketika itu berakhir dengan penyeselan yang tiada arti. Di saat kenikmatan masa remaja mengalir tanpa penghalang, semua berhenti secara tiba-tiba. Aliran sungai yang begitu nikmat diarungi harus terhenti dengan kepergian Ayah. Semua begitu mendadak, tanpa rencana, membuat keluarga kami sedikit terombang-ambing.
Ayah pergi meninggalkan semua kefanaan duniawi, tanpa pesan apa pun kepada kami. Bunda adalah orang yang paling kehilangan dan terpukul dengan kepergian Ayah. Sejak Ayah wafat, Bunda berubah. Beliau yang sebelumnya sangat menyukai shopping, jalan-jalan, dan melakukan kesenangan lainnya ala emak-emak, menjadi pemurung, jarang keluar rumah, lebih banyak diam di rumah dan menangis.
Sejak Ayah tiada, kesehatan Bunda menurun perlahan-lahan. Semakin lama kondisi kesehatan Bunda semakin melemah. Seolah separuh hidupnya hilang dengan ketiadaan Ayah di sisinya.
Bisnis dan harta peninggalan Ayah entah ke mana perginya. Yang kami tahu hanya rumah yang ditempati dan sebidang sawah yang digarap sepupu Ayah. Kedua kakakku juga tidak terlalu mempermasalahkan warisan, kami tidak pernah membahasnya.
Selama ini, hanya tahu cara meminta kepada Ayah. Kepergian beliau sedikit mengacaukan kondisi keuangan kami yang terbiasa hidup dengan segala kenyaman yang telah tersedia. Untung saja sejak SMU Ayah mengijinkan aku bekerja saat liburan sekolah, penghasilan yang didapat habis digunakan untuk menjelajahi tempat baru yang menarik.