AZMIA
Aku melirik jam dinding di ruang keluarga, waktu menunjukan pukul tujuh malam lewat tiga puluh lima menit. Sudah waktunya gadis kecil kami tidur. “Ayo sayang, sudah malam waktunya bobo,” ucapku mengingatkan Mahira yang masih asyik menonton televisi.
Tanpa membantah Mahira beranjak dari tempatnya setelah mematikan televisi, ia berjalan menuju kamar mandi, tidak lama kemudian keluar dengan wajah basah, lengan dan kakinya juga basah.
“Bu... temani bobo sampai Mahira tertidur,” ujar Mahira sambil memamerkan deretan gigi-giginya yang sudah bersih digosok olehnya. Rutinitas yang sengaja dibiasakan untuk anak-anak kami, merawat gigi-gigi mereka agar tidak lekas bolong, gosok gigi sebelum tidur.
“Oke...” jawabku sambil mengacungkan jempol kanan.
Setelah mengunci pintu dan mengecek keadaan rumah, aku menyusul Mahira di kamarnya. Ia belum tidur, matanya masih berkelana sana sini menelusuri isi kamarnya.
Mengusap lembut kepalanya, tersenyum menatap wajah gadis kecil yang mulai beranjak remaja.
“Ayo bobo.”
Mahira mengatur posisi tidurnya lalu menatap aku sambil tersenyum.
“Minggu ini kita jenguk Kakang apa nggak, Bu?”
“Nggak tahu, memang kenapa?”
“Cuma tanya aja sih, kan jadwalnya Kakang perijinan dari pondok. Kasihan kalau nggak kita ajak jalan-jalan.”
“Kasihan Kakang, atau kamu yang ingin jalan-jalan?” selidikku, sambil menjentik jari ke hidungnya.
“Kasihan Kakang... aku juga ingin jalan-jalan,” ungkap Mahira jujur, ia tertawa kecil memamerkan deretan gigi-gginya yang putih dan rapi.
“Nanti Ibu tanya bapak ya. Sekarang bobo.” Aku membentangkan selimut ke seluruh tubuh Mahira agar hangat, kemudian berbaring disebelahnya. Kemudian menyalakan murotal dari ponsel, lantunan surat Al Baqoroh adalah penghantar tidur kami setiap malam.
Rasa kering di teggorokan membuat terbangun dari tidur, butuh sedikit perjuangan memaksa mata agar terbuka lebar, aku duduk di sisi ranjang sambil mengumpulkan nyawa. Kemudian berjalan menuju meja makan mencari segelas air.
Hmm... rupanya aku ikut tertidur pulas saat menemani Mahira, kedua tangan mengucek mata agar penglihatan terlihat lebih jelas. Jam di dinding menunjukan pukul sebelas malam kurang lima menit. Kemana suamiku? sudah larut malam, dia belum datang. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Lindungilah suamiku ya Allah. Doaku dalam hati.
Selesai minum kembali ke kamar Mahira, mata terasa amat berat, mulut menguap lebar, kantuk mulai menyerang. Hampir saja mata ini tertutup, tiba-tiba terdengar deru mesin mobil masuk garasi rumah. Aku bangkit dari tidur, meskipun sedikit sempoyongan berusaha menyambut Bram dengan menahan kantuk.
“Malam sekali, Bram. Dari mana?” tanyaku.