BRAM
Hari ini jadwal mengantar Mia ke dokter. Duduk di teras rumah dengan segelas teh panas, tidak lupa sahabat setiaku – rokok dan ponsel – kenikmatan tiada tara. Tempat yang paling aku suka adalah teras rumah, pandangan mata terasa luas tanpa batas. Menikmati perpaduan warna sempurna dari beraneka ragam pohon, memberikan inspirasi agar bisa fokus main game di ponsel.
“He... he... he...”
Untung nggak ada Mia, dia bakalan nyinyir kalau mendengar kata-kata tadi. Olahraga tubuh dulu, merentangkan kedua tangan, menggerakan badan ke kiri dan ke kanan. Menengoki kepala ke kiri dan ke kanan, cukup tiga kali saja. Setelah itu tundukan kepala ke bawah dan menengadah ke atas, sama seperti tadi cukup tiga kali, baru turunkan kedua tangan.
Cukup pemanasannya hari ini, minum teh dulu setelah itu kita mulai olahraga otak. Setelah menyesap teh, baru saja hendak menyentuh tombol start untuk mulai main games, tiba-tiba.
“Bram, kita jemput Mahira, terus ke dokter,” ujar Mia.
Tiba-tiba Mia sudah berdiri di depan, aku terpesona menatapnya. Betapa beruntungnya mendapatkan bidadari surga, bersyukur dengan ekspresi wajah tersenyum bahagia. Tanpa berkedip, menikmati keindahan yang Allah berikan. Menatapi Mia dari ujung kaki hingga ujung kepala, sempurna. Kecantikannya sangat sempurna sekali.
“Kenapa, ada yang aneh?” tanya Mia.
“Kamu cantik ...,” jawabku spontan.
Aku bangkit dari duduk, lalu mendaratkan kecupan di pipinya. Wajah Mia merona merah, yes! Sepertinya sudah berhasil memenangkan hatinya. Mia tersenyum kecil, menundukan wajahnya. Ia melemparkan pandangannya menghindari beradu pandang denganku, dia sedikit salah tingkah, aku bisa merasakannya. Terima kasih yang teramat banyak pada Mu, ya Allah. Akhirnya doaku Kau kabulkan.
17 tahun, harus menunggu belasan tahun agar bisa merasakan cinta Mia. Sikap dinginnya, keacuhannya, menjadi santapan hari-hari yang sangat pahit. Meskipun begitu aku rela, tetap meyakini di dasar hatinya yang paling dalam Mia pasti mencintai aku. Hari ini, terbukti hari ini, cinta itu bisa dirasakan.
“Bram...!” tegur Mia.
“Eh iya, kenapa...?” tanyaku, gugup.
Haduh, kok gantian jadi aku yang salah tingkah sekarang. Menggaruk-garuk kepala menyamarkan kegugupan, malu kalau sampai ketahuan Mia.
“Ibu sih, cantik banget. Bapak jadinya terkesima melihat kecantikan, Ibu,” ocehku, tersenyum menatap wajah Mia.
“Gombal...! Ayo siap-siap, nanti Mahira keburu pulang.”
“Oke. Tapi boleh dong kalau Bapak minta kecupan?” rayuku, sambil menyodorkan pipi kanan padanya.
Sejujurnya hati dag dig dug, harap-harap cemas. Apakah Mia akan memberikan kecupannya atau harus kembali menelan pil pahit seperti biasanya. Kami saling beradu pandang, kemudian wajahnya mendekati wajahku. Darah terasa mengalir lebih deras... lalu kecupan itu mendarat di pipi. Ya Tuhan... Mia mencium pipiku.
Ia tersenyum kecil, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Aku menatapi setiap lekuk tubuhnya, kakinya, punggungnya, rambutnya yang hitam lebat. Sosok itu semakin menjauh, kemudian hilang.
Terima kasih Mia, aku mengangkat tangan kanan, memandangi cincin kawin yang melingkar di jari manis. Cincin ini tidak akan pernah dilepaskan, ikatan cinta aku dan Mia. Disetiap sisi cincin tertulis kata-kata indah yang sengaja diukir sebagai pernyataan cintaku pada Mia.
The Word Looks Wonderful When I am With You
AZMIA