Goresan Pena Azmia (catatan kecil Bram)

R Hani Nur'aeni
Chapter #9

Chapter #9 MR PLAYBOY AND NAUGHTY GIRL (memori 1999-2000)

Nurul adalah anak buah Bram, dia banyak membantu selama Azmia dirawat di rumah sakit. Bram menganggap Nurul sama seperti pegawai lainnya, tidak ada yang istimewa. Azmia mengenal Nurul dari Bram, ditambah kedatangannya ke rumah beberapa kali ketika mengajak Mahira bermain.

Entah sejak kapan, Nurul tiba-tiba menjadi begitu dekat dan masuk ke dalam keluarga mereka. Beberapa kali Nurul datang ke rumah mereka untuk bermain dengan Mahira. Kata Mahira, “Tante Nurul itu baik, Mahira senang main dengannya.”

Banyak sekali pemberiaan Nurul untuk Mahira, baju, boneka, buku-buku komik, dan banyak lagi. Mahira menjadi dekat dengannya, kebaikan Nurul bisa membeli hati gadis kecil yang polos seperti Mahira, kelihatannya Nurul adalah gadis yang baik.

Sempat terpikir oleh Azmia, jika Tuhan tidak mengizinkan ia menghirup oksigen sedikit lebih lama di dunia ini, Nurul adalah gadis yang cocok untuk menjadi pendamping Bram. Dia sangat menyayangi dan memperhatikan Mahira, tentunya dia akan sayang kepada adik Mahira, bayi dalam perutnya.

Bram sering melarang Mahira terlalu dekat dengan Nurul. Menurutnya, Nurul itu baik karena ada maunya.

“Pasti dia baik karena mengharapkan poin bagus dariku.” ucap Bram ketika ia dan Azmia mengobrol di teras rumah.

“Apa lagi yang diharapkannya kalau bukan promosi jabatan?”

Penjelasan Bram memang masuk akal. Nurul tiba-tiba saja begitu baik dan memberi banyak perhatian kepada Mahira.

Sebagai atasan, Bram memang sering mengantarkan anak buahnya pulang jika mereka lembur hingga malam hari, terutama karyawan perempuan. Ya memang, ia adalah atasan yang sangat bertanggung jawab pada anak buahnya. Beberapa kali, Bram mengantar Nurul pulang karena sudah malam. Azmia sering mengingatkan Bram untuk menjaga sikapnya agar anak buahnya yang perempuan tidak salah pengertian terhadap perhatiannya kepada mereka.

Entah sudah berapa banyak perempuan, datang silih berganti menjadi penghias dalam perjalanan kisah kasih mereka. Berulang kali pengunduran diri yang diajukan oleh Azmia, tidak pernah digubris oleh Bram. Ia tidak pernah lelah berjuang mempertahankan perempuan yang dicintainya.

Pertemuan Pertama, Oktober 1999

AZMIA

Acara kampus yang diadakan satu tahun sekali oleh setiap jurusan untuk mendengarkan cuap-cuap dari para alumni yang dianggap sukses, kali ini tidak terlalu bersemangat mengikutinya. Namun, tanggung jawab harus dilaksanakan, tidak bisa dihindari. Sebagai ketua panitia – ditunjuk secara paksa oleh rekan-rekan jurusan – membuat aku terlibat dalam acara tersebut.

Akhir Oktober 1999, acara “temu alumni” diadakan di Puncak tepatnya villa Teras Biru. Entah bagaimana caranya, begitu dasyat dan hebatnya kekuatan yang dimiliki oleh mereka – tim panitia – bisa menaklukan Bunda dan memberikan ijin.

Otak mumet dengan persiapan sidang skripsi, malam minggu begini sibuk mengurusi acara, dua hari berikutnya harus bertarung mempertaruhkan hasil kerja keras selama menjadi mahasiswa kampus kuning. Jadi buat aku, malam ini bukan acara penting. Senin, dua hari yang akan datang, itu baru acara amat sangat penting.

Bisa dibayangkan, banyak orang datang, begadang, memberikan servis tebaik untuk para tamu dengan label alumni.

Capek nggak???

Tidak usah dibahas, sudah pasti menguras tenaga. Padahal sebelumnya, paling semangat kalau acara menginap dengan anak-anak kampus, apalagi di Puncak. Namun, semua sudah berlalu sejak paksaan nikah dan banyaknya peraturan dari Bunda. Saat ini yang ada di otak, cuma lulus kuliah, cari calon suami, Bunda bahagia.

That`s it...

Aku menghela napas, tanpa sengaja pandangan mata berselorok dengan alumni cowok menggunakan kemeja kota-kotak biru muda, celana jeans. Wajahnya lumayan, bisa diatas delapan poinnya. Aku tersenyum menganggukan kepala, memberi penghormatan untuknya.

 Tiba-tiba aku memiringkan kepala, mengerutkan dahi, menempelkan jari telunjuk kanan di bibir, sepertinya wajah itu familiar. Apa pernah bertemu? Tapi di mana? Dari wajahnya, usia dia mungkin delapan tahun lebih tua. Kalau umurku 22 tahun, berarti umurnya 30 tahun atau bisa jadi lebih. Ibarat buah, umurnya lagi mengkal-mengkalnya, tersenyum kecil gara-gara hitungan di otak. Lelaki yang pantas untuk menikah, tanpa sadar aku masih menatap ke arahnya.

“Mia...!”

Tepukan seseorang di pundak, membuyarkan lamunanku.

“Eh... iya, kenapa?” tanyaku, gugup.

“Kenapa mematung di tengah jalan?” tanya Deni – rekan seangkatan aku.

“Hmmm... kenapa ya? Nggak, nggak kenapa-kenapa,” jawabku bingung.

 Haduh...! Kenapa jadi bego begini, otak memang lagi runyam. Entah kenapa pandangan mata kembali pada sosok itu, ia tertawa kecil melihat kebodohan yang baru saja aku lakukan. Sebelum tambah ngaco, aku mengikuti langkah Deni meninggalkan ruangan itu.

BRAM

Gadis yang unik...

Ekspresi wajahku tersenyum mengingat gadis itu “ketua panitia temu alumni” acara yang membosankan, tapi penting. Kami para alumni diberikan kesempatan reuni satu tahun sekali, kalau harus urus sendiri ribet dan susah atur waktu. 

Sepanjang malam itu aku perhatikan, ia perempuan cantik dan menarik. Buktinya alumni cowok yang single maupun double, rebutan mendekatinya. Cewek angkuh dengan percaya diri tinggi, tapi ia tetap tenang dan ramah menghadapi singa-singa lapar yang siap menerkamnya. Membayangkan wajahnya selalu membuat tersenyum, sulit dihapus dari ingatan. 

Kenapa wajahnya seperti aku kenal, ya?  

Sepertinya pernah ketemu, tapi dimana?

Aku mengerutkan dahi mengubrak-abrik memori otak, adakah data tersimpan tentang gadis itu. Tangan kiri menempel di mulut, lalu memejamkan mata, agar bisa lebih fokus. 

Lipss Club...!!! teriakku tanpa sadar.

Kulit hitam manis, wajah oval, senyumnya yang menarik. Tangan kirinya memegang gelas minuman, tangan kanannya melepas jepit rambut dan menyugar rambutnya yang hitam lebat dan sedikit ikal. Ia berjalan sempoyongan, menumpahkan minumannya tepat di bajuku, saat berpapasan. 

Gila...!!! teriakku.

Cewek pemabuk, mau sidang masih bisa jadi ketua panitia dan dia sukses dengan acaranya. Wow...!!!

Spontan aku mengarahkan tinju ke paha...

Ah... sial, nggak punya nomor teleponnya.

Shitt...!!! Gara-gara Manda telepon, aku harus pulang lebih awal.

Pertemanan yang Aneh, Desember 1999

BRAM

 “Tok... tok...”

Ketukan pintu membuyarkan konsentrasi kerja, aku melirik jam tangan, pukul sepuluh lewat dua puluh menit.

“Masuk,” jawabku.

Lihat selengkapnya