Goresan Pena Azmia (catatan kecil Bram)

R Hani Nur'aeni
Chapter #11

Chapter #11 ADA APA DENGAN MU, BRAM (akhir september 2017)

Fokus pada kehamilan ditambah parasit yang ada dalam otak membuat aku lengah, kurang memperhatikan apa yang terjadi pada Bram. Perubahan manajemen dan atasan baru di akntornya, tiba-tiba mengubah kebiasaannya. Menjadi sering pulang larut malam dengan alasan lembur, ponselnya sulit dihubungi, pesan dariku pun jarang dibalas. Semakin lama,  merasakan keganjilan pada tingkah Bram.

Rabu malam, di saat sedang menemaninya di teras depan, kecurigaanku tidak tertahankan.

“Bram, akhir-akhir ini kamu sering sekali pulang malam, kenapa?” tanyaku.

“Banyak proyek, makanya lembur terus bareng Bos. Minggu depan, aku ke Bandung mengurus proyek sama Bos,” jawabnya.

Aku diam mendengarkan penjelasan darinya. Tanpa menoleh sedikit pun, ia kembali asyik mengutak-ngatik ponselnya.

Selama tiga hari di Bandung, Bram sangat sulit dihubungi. Sejak tadi sore pesan yang dikirim belum juga dibalasnya. Begitu sibukkah, sehingga tidak ada waktu memberi kabar pada istrinya?

Bram seharusnya pulang, malam ini. Mata ini terus memperhatikan detak jam di dinding kamar. Malam semakin larut, tetapi ia belum juga sampai di rumah. Tidak ada kabar pukul berapa berangkat dari Bandung menuju Bogor. Aku menghela napas, gelisah mulai melanda, apakah semua baik-baik saja?

Bintang-bintang masih setia menemani sang rembulan menunaikan tugasnya, memancarkan cahaya menerangi gelapnya malam. Hati ini masih ingin menantikan kedatangannya, tapi rasa lelah dan kantuk tidak tertahankan hingga tanpa sadar, aku terlelap.

“sreekk... srekk...”

Suara seperti taburan pasir dari langit kamar membuat aku bangun karena kaget. Jam di dinding menunjukan pukul 01.35 dini hari, Bram belum datang. Aku mengambil ponsel, memencet nomornya. Berkali-kali mencoba menghubunginya, tetap tidak ada jawaban.

Selesai salat malam, terdengar suara ketukan di pintu depan. Masih menggunakan mukena, bergegas membukakan pintu. Ketika pintu depan terbuka, tampak Bram berdiri dengan wajah menunduk. Tanpa berkata apa pun, ia masuk, langsung menuju kamar. Setelah mengunci pintu, aku menyusulnya.

Aku ambil pakaian kotor yang tergeletak di atas kasur, tercium bau menyengat. Bau minuman yang menyengat hidung, berasal dari pakaiannya. Tuhan... cobaan apa lagi yang ingin Kau berikan, sambil menghela napas panjang, memejamkan mata.

 “Dari mana, Bram?” tegurku.

Mendapatkan pertanyaan yang menyinggung, nada suaranya agak tinggi menjawab pertanyaanku,

“Ya dari Bandung!”

“Pakaianmu bau alkohol,” ucapku sambil menyodorkan pakaian kotornya, meminta penjelasan.

Tidak menjawab, ia malah  merebahkan tubuhnya ke kasur.

Lihat selengkapnya