AZMIA
Kondisi kehamilan yang kurang baik ditambah vonis tumor membuatku semakin dekat dengan Allah. Belajar membiasakan diri menunaikan salat di awal waktu, juga mulai rajin mengaji dan salat malam. Memasrahkan semuanya kepada Allah, mensyukuri setiap detik dan menit, hari demi hari yang masih bisa dijalani. Entah sampai kapan Allah masih mengizinkan aku menikmati sebanyak mungkin oksigen untuk bernapas, mendampingi Bram dan anak-anak.
Kedua tangan merapikan baju-baju bayi dengan perasaan senang, akhirnya minggu kemarin Bram mengajak berbelanja kebutuhan calon bayi kami. Alhamdulillah semua persiapan untuk bayi sudah komplit. Setelah dicuci bersih, baju-baju disusun rapi dalam lemari. Baju untuk sehari-hari di lemari bagian atas, bergabung dengan pakaian dalam bayi. Baju tidur, baju hangat, dan legging bayi di rak kedua. Handuk dan selimut tersimpan di rak terakhir dalam lemari baju.
Lemari pakaian bayi tepat berada di samping tempat tidur kami. Di atas lemari, dalam sebuah kotak hijau, terdapat semua perlengkapan bayi. Ada sabun, sampo, bedak, minyak telon, parfum, dan pernak-pernik lain.
Lemari pakaian bayi bergambar kartun, sangat lucu, Mahira yang memilih untuk adiknya. Tersenyum sendiri membayangkan kesibukan yang nanti akan terjadi, begadang karena ada bayi, memandikan bayi, menyusuinya, merawat dan membesarkan bayi yang sebentar lagi akan lahir. Masihkah diberikan waktu untuk menjalani itu semua? Pertanyaan berkecamuk dalam otak. Mengusap lembut perut ini sambil mengobrol dengan bayi dalam perut.
“Dik, sudah siap semuanya. Sebentar lagi Adik lahir, sehat-sehat ya, Sayang.”
Titik-titik air berjatuhan membasahi pipi, memohon belas kasihan Sang Pencipta agar diberikan kesempatan memberikan sedikit kenangan untuk mengisi memori dalam otak bayiku agar ia tahu bahwa aku adalah ibunya.
Kembali terngiang ucapan dr. Agus. “Mia, kamu harus mengatakannya kepada Bram. Nyawamu menjadi taruhannya.”
Sikap keras kepala terkadang menjadi kekuatan untuk diriku. Bersikukuh meminta dr. Agus merahasiakan kanker yang bersarang di otak. Meskipun kanker itu masih stadium awal, tetap berbahaya untuk ibu dan janinnya.
Dokter Agus dan Dokter Martin – dokter yang menangani kanker otakku – merasa heran. Kanker pada umumnya sangat cepat menyerang inangnya, tetapi pada kasus yang aku alami, kanker dalam otak ini seperti mati suri, tidak ada perlawanan apa pun.
Aku harus bertahan! Aku pasti bisa! meyakinkan diri sendiri. Semua akan baik-baik saja. Mahira sangat menginginkan adik bayi, begitu juga Kakang Ihsan yang bersemangat menantikan kelahiran adiknya. Bram, dia yang membuatku cemas. Naluri sebagai istri mengatakan, ada yang tidak beres dengannya.
Malam Yang Menegangkan
Aku berdiri menghadapi kalender yang tergantung di dinding kamar. Hari ini adalah hari Kamis minggu keempat di bulan Oktober. Menurut hasil USG terakhir, HPL – Hari Perkiraan Lahir – sekitar pertengahan bulan November. Waktu kelahiran bayi sudah semakin dekat, tinggal menunggu hari “H” saja.
“Dua minggu lagi, Dik,” ucapku.
Dari hasil USG, masih dua minggu lagi waktu kelahiran bayi kami. Namun, dari kemarin malam, perut terasa tidak enak.
Aku menemani Mahira yang sudah berbaring di kasurnya, tetapi masih terus mengoceh.
“Ra, udahan ngobrolnya. Sudah malam,” ucapku meminta Mahira segera tidur.
Mahira mengerucutkan mulutnya, tidak protes seperti biasanya, ia langsung menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Lantunan murottal Al-Baqarah membuat mata Mahira mulai terasa berat, sampai akhirnya tertidur. Aku menemani hingga ia benar-benar tidur, baru meninggalkannya.
Ketika berjalan menuju ruang tamu, tiba-tiba ingin buang air kecil yang tidak tertahankan. Hal ini memang biasa dialami ibu-ibu yang sedang hamil tua. Usia kandungan yang semakin mendekati waktu persalinan membuat kepala bayi turun dan menekan kandung kemih sang ibu sehingga makin sering buang air kecil.
Ketika buang air kecil, ada darah segar mengalir mengiring air seni. Ekspresi wajah berubah, melihat darah segar mengalir. Mataku melotot seolah mau keluar, mulut menganga dengan napas tercekat. Tangan dan kaki gemetar, mukaku pucat melihat genangan darah di kloset kamar mandi. Aku memencet tombol plush untuk menyiram kloset. Darah yang tergenang menghilang, tetapi air masih sedikit berwarna pink.
Perlahan keluar dari kamar mandi, duduk di pinggir ranjang, kecemasan mulai melanda. Apakah sudah waktunya melahirkan? Tapi belum ada rasa mulas yang mengiringi kelahiran.
Aku memejamkan mata, menjerit dalam batin. Ya Allah, jangan biarkan terjadi hal yang buruk pada bayi kami. Aku mohon, selamatkan bayi kami. Apa pun akan aku lakukan demi keselamatan bayi ini.