AZMIA
Mahira sangat senang dengan kehadiran Mica, adiknya lucu dan cantik. Wajah bulat Mica mirip Bram, hidungnya yang besar dan mancung juga mirip bapaknya, sedangkan dagunya lancip seperti aku.
Kado untuk Micca berdatangan dari teman, rekan kantor serta kolega Bram. namun, ada yang aneh, kenapa Nurul sampai saat ini tidak pernah menampakan diri sejak kelahiran Mica. Jangankan memberi kado, sekadar ucapan selamat pun tidak. Hampir seluruh pegawai kantor Bram datang menjenguk, memberikan kado untuk Micca. Hanya Nurul yang tidak datang, ia menghilang seolah ditelan bumi.
Rasa penasaran tidak terbendung, suatu malam ketika menonton televisi sambil menyusui Mica. Bram sibuk menjejalkan makanan ke dalam mulutnya.
“Bram, kenapa si Nurul enggak jenguk Micca?” tanyaku, menghela napas, “semua orang kantor datang, bahkan kolega kerjamu memberikan kado, walau tidak sempat datang.”
“Mana aku tahu,” ujarnya datar.
“Aneh, selama ini dia baik dan perhatian pada Mahira, memberikan banyak hadiah. Mica lahir, jangankan kado, ucapan selamat pun tidak,” ungkapku.
Bram tidak menanggapi, ia mengekor di belakang mengikuti ke kamar. Setelah menidurkan Mica, aku duduk di tepi ranjang, Bram bergerak mendekati Mica, mencium pipinya, matanya terus memandangi putri kecil kami.
“Cantik. Mica sangat cantik,” ujarnya sambil terus memandangi putri kecilnya.
Mahira tergeletak didekat Mica, ia sudah tidur dari tadi. Mahira selalu ingin dekat Mica, bobo harus dengan adik, sekolah inginnya cepat pulang agar bisa segera bermain dengan adiknya.
Setiap malam, ranjang penuh oleh kami berempat. Mica tidur diapit Bram dan aku, Mahira berada disamping aku. Begitu juga ketika Kakang Ihsan pulang dari pondok, kamar semakin penuh, semua ingin bobo bareng adik Mica.
Hujan gerimis mengiringi gelapnya malam, menambah pulas para pencinta tidur. Namun, tidak untuk aku, setiap kali Micca terbangun karena haus, harus segera menyusuinya, kapan pun dia menginginkannya.
Bunyi alarm dari ponsel Bram mengagetkan, tangan kanan berusaha meraih ponsel, mematikan alarm karena berisik. Iseng, aku buka beberapa pesan di ponselnya. Ada satu chat yang membuat napas tercekat, percakapan antara Bram dan Nurul.
Bram: Ya, Dear.
Nurul: Aku nggak tau harus gimana, kondisi Ayah (gambar emocotion menangis).
Bram: Yang sabar.
Apa maksud percakapan Bram dengan Nurul di chat pribadinya? Hanya orang-orang terdekat saja yang tahu nomor itu, perasaan menjadi gelisah tidak menentu.
Selesai salah Subuh, Mahira tidur lagi, kesempatan baik membahas chat Bram dengan Nurul. Sambil menyusui Micca, aku membuka percakapan.
“Bram... tolong buka ponselmu.”
Dengan malas, ia mengambil ponsel.
“Tolong jelaskan, apa maksudnya?” ucapku datar.
Sengaja tidak mengeluarkan chat yang tadi malam dibaca, agar langsung terlihat olehnya saat membuka ponsel.
“Ini, bapaknya si Nurul sakit,” ucapnya datar tanpa ekspresi.
“Kenapa ada panggilan khusus untuk Nurul. Ada apa, Bram?” Aku tetap menuntut penjelasan.
“Nurul tidak menjenguk Mica. Dia beberapa kali datang ke rumah bermain dengan Mahira. Memberikan banyak hadiah untuk Mahira, tetapi tidak untuk Mica. Aneh, Nurul tidak memberikan ucapan selamat atas kelahiran Micca. Ada apa, Bram?”
Bram diam, kemudian memberikan penjelasan dengan sedikit gugup, “Nurul sering curhat mengenai keluarganya, dia mau menikah. Aku hanya memberikan pendapat, pengalaman pernikahan kita. Panggilan Dear cuma iseng, sama seperti kita suka memberikan panggilan khusus kepada teman-teman kita, Mia.”
Penjelasannya belum memuaskan hati, dada terasa bergemuruh menahan kemarahan, naluri mengatakan ada yang tidak beres dengannya.
“Aku tidak perduli dia mau menikah atau tidak. Aku tahu betul siapa kamu, Bram. Jangan mulai bermain api, kamu sudah berjanji, Bram!” ujarku tegas.
“Kita berjanji untuk sama-sama berubah, Bram. Untuk anak-anak, demi pernikahan kita.”
Bram paham dengan semua ucapanku.
TRAGEDI SORE
Beberapa hari berselang, ketika anak-anak sudah tertidur pulas, begitu juga dengan Bram, aku mengecek ponselnya. Menghela napas kecewa, hilang... tidak ada chat Bram dengan Nurul yang pernah dibaca. Hati ini merasa sangat sakit, kepedihan yang pernah dialami harus kembali dirasakan. Selalu seperti ini di saat mulai belajar mencintainya.
Aku penasaran kenapa Nurul tidak mau datang mengucapkan selamat atas kelahiran Micca. Aku juga ingin tahu seberapa jauh hubungan suamiku dengannya. Ini bukan yang pertama, dia adalah perempuan kesekian yang hadir dalam kehidupan Bram dan aku.
Ketika Mica tidur siang, aku memanfaatkan waktu menulis pesan pada Nurul. Ini untuk pertamakalinya mengirim pesan pada perempuan itu.
Azmia: Assalamualaikum,
Hai, Tante Nurul. Saya ibunya Mahira dan Micca.
Azmia: Apa kabarnya?
Kok Tante Nurul enggak jenguk Micca sih? Orang-orang kantor sudah menjenguk, kecuali tante Nurul, kenapa?
Azmia: Bram adalah lelaki luar biasa, beruntung karena memilikinya. Ia beruntung karena memilih aku sebagai istrinya. Perjalanan rumah tangga kami tidak selalu mulus. Tuhan berikan kebahagian kepada kami dengan hadirnya anak-anak. Saat Mica lahir, kebahagiaan kami semakin bertambah...
Cukup panjang pesan yang dikirim padanya, intinya ingin mengatakan apa yang terjadi antara dia dengan Bram sudah diketahui olehku, secara halus memintanya mengakhiri semua. Tidak lama setelah pesan dikirim, ada tanda bahwa pesan sudah dibaca.
Nurul : Waalaikumussalam.