AZMIA
“Brrmmm... brrmmm...”
Deru mesin mobil Bram terdengar masuk ke halaman rumah. Bersusah payah berjalan sambil menggendong Micca yang masih menyusu, sebelum ia telepon sudah lebih dulu aku buka pintu untuknya. Memperhatikannya turun dari mobil, wajah letih dan kusut itu mendekat.
Terhenyak melihat cap bibir dengan gincu pink di pipi kirinya. Seketika tubuh ini seperti tak bertulang, bagai tersambar petir di siang bolong. Menyadari Mica berada dalam pelukan, berusaha tegar menopang tubuh yang mulai lemas. Mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah, menuju kamar tidur.
Perlahan, Micca ditidurkan di atas ranjang tepat sebelah Mahira. Memejamkan mata sambil menarik napas sangat dalam, kemudian beranjak ke dapur membuat teh hangat untuknya. Pikiran kacau balau, kaki dan tangan gemetar, kembali memejamkan mata sambil beristigfar agar otak bisa berpikir jernih. Perlahan membawa segelas teh panas, meletakkannya di meja. Sesaat berdiri mematung memandanginya yang asyik memainkan ponsel, kemudian duduk disebelahnya.
“Dari mana, Bram?” tanyaku sambil mengusap lembut pipi kirinya, “ini bekas bibir siapa yang menempel di pipimu?”
Tersentak mendengar ucapanku, wajahnya berubah.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong, jangan terus-terusan membohongi aku, Bram.”
Wanita mana yang tidak sakit hati mengalami semua ini, entah kenapa aku berusaha tegar menghadapi badai yang menimpa rumah tanggaku. Harus bisa, harus bertahan, kata-kata itu yang selalu terucap dalam hati. Jika memang harus bertarung dan berjuang mempertaruhkan nyawa dan hati untuk menyelamatkan rumah tangga, akan kulakukan demi Bram dan anak-anak.
Tatapan matanya penuh rasa bersalah, memohon ampunan.
“Maafkan aku, Mia,” ucapnya lirih.
“Ini bibirnya Nurul?” tanyaku datar.
“Bukan! Kencan sama cewek, di Botani,” ungkapnya dengan nada bersalah.
“Siapa lagi, Bram?” Aku pasrah menerima semua nasib yang harus dijalani, belajar berteman dengan kepahitan takdir.
Bram memperlihatkan aplikasi khusus untuk kencan dengan wanita panggilan, bosnya yang mengajarkan. Sekadar hiburan melepas stres akibat pekerjaan kantor, katanya.
“Aku cuma ngobrol-ngobrol dengan cewek ini...” Bram hendak menunjukkan foto perempuan yang tadi ditemuinya, tapi tidak ketemu.
“Kamu tidur dengan cewek itu?”
“Enggak... dia maksa ngajak ke kosannya, tapi aku tolak,” ungkapnya.
“Berapa banyak cewek yang kau tiduri? Berapa banyak pelacur yang tidur denganmu?” Aku bertanya sambil menarik napas dalam dan memejamkan mata.
Dia tidak menjawab, matanya terus memandang sorot mataku.
“Waktu ke Bandung, Pak Bos mengirim cewek ke kamar. Aku hampir melakukannya, kamu tahu bagaimana kalau aku kecapekan, Mia.”
Bajingan kamu, Bram! Aku memang pernah mengkhianatimu, tapi tubuh ini dari ujung kepala hingga ujung kaki tidak pernah tersentuh laki-laki lain sejak kau menjadi suamiku. Tidak mengira pertemanan yang kau banggakan dengan orang-orang kantor, terutama bosmu, menyeret dirimu dalam kenistaan. Kau menyeret kita ke dalam jurang kehancuran, Bram!
Sangat ingin mengucapkan semua itu. Namun, lidah terasa kelu, bibir bergetar, tak ada diksi caci maki untuknya keluar dari mulutku.
“Kamu sudah terlalu jauh melangkah!” Hanya kalimat itu yang dapat terucap, suaraku sangat pelan dan pilu menahan kesedihan serta kekecewaan dalam hati.
Bram menceritakan semua yang terjadi pada dirinya selama setahun terakhir, sejak kedatangan bos barunya, bar dan karaoke yang mereka datangi, serta perempuan panggilan sebagai hiburan untuk mereka. Hubungan yang terjadi antara dia dengan Nurul, dia hanya memanfaatkan Nurul atas perintas atasannya. Namun, Nurul benar-benar jatuh cinta, menghalalkan segalanya untuk mendapatkan Bram.
Tak ingin percaya dengan semua yang kudengar. Ke mana Bram yang aku kenal? Jerit dalam hati.
“Aku tidak mengenalmu. Ke mana Bram yang sangat mencintai dan menyayangi aku dan anak-anak?”
Kepercayaan pada Bram benar-benar mengalami masa kritis. Hanya ada dua pilihan, meninggalkannya – kehidupan dia bisa hancur. Pilihan kedua, tetap bersamanya – aku bisa sakit dan terluka.