AZMIA
Alhamdulillah, rasa syukur yang tiada terkira kupanjatkan kepada-Nya. Kegembiraan dan kebahagiaan menyinari keluarga kami, itu menjadi penyemangat dalam mengisi hari-hari. Senyuman dan pancaran sinar mata Bram membuat hati tenang.
Meskipun hampir setiap hari bermotor-ria, ia melakukannya dengan hati senang dan nyaman, tidak perduli apa kata orang dengan jabatan yang disandangnya. Bram kembali menjelma menjadi dirinya sendiri, lelaki yang rendah hati, suami yang aku cintai.
Hari Minggu ini, Bram mengajak berkunjung ke Kampung Situ Daun, tempat bersejarah bagi kami. Tapak tilas istilah kerennya, menyusuri jejak bersejarah ketika badai menerpa, bahtera kami beguncang sangat hebat, bisa bertahan dan bangkit kembali.
Kebun jamur, apakah kebun itu masih ada? Bram menyerahkan kebun jamur milik kami kepada Pak Wanto ketika mendapatkan pekerjaan di kantornya sekarang. Mudah-mudahan Pak Wanto masih merawat kebun jamurnya. Amat bersemangat menerima ajakan Bram, rindu dengan suasana kampung dan kebun jamur – seandainya masih ada.
“Ayo, jangan terlalu siang berangkatnya,” ucap Bram meminta kami agar lebih cepat bersiap-siap.
Ia ingin bersilaturahim ke beberapa tetangga yang menjadi teman berjemaahnya di masjid kampung. Kalau berangkat lebih pagi, tentunya waktu yang bisa dimanfaatkan akan lebih panjang.
Perjalanan menuju Kampung Situ Daun banyak menorehkan kenangan masa lalu. Ketika itu, kami memiliki kuda besi istimewa untuk berkelana – sebuah motor bebek tua yang selalu setia menemani setiap pengelanaan kami.
Teriknya panas mentari tak menjadi halangan, putaran roda motor bebek tua itu tidak pernah berhenti. Hanya derasnya hujan yang menjadi penghalang pengelanaan kami. Ketika hujan mengguyur bumi, bersama pengendara motor lainnya berteduh di mana pun tempat yang memberikan perlindungan.
Aku saling berpandangan dengan Bram, mengenang semua perjuangan ketika itu. Meskipun tidak mudah, tetapi bisa melewatinya dan kami masih tetap bersama.