AZMIA
Setiap bulan, Mica ke dokter untuk imunisasi. Wajahnya tambah bulat, pipinya seperti bakpau, berat badannya terus bertambah. Usianya sebentar lagi enam bulan, itu saatnya mendapat MPASI – makanan pendamping ASI. Sudah terlalu lama tidak merawat bayi, agak bingung makanan apa yang sehat dan bergizi untuk Mica. Berselancar di dunia maya pilihan tepat dan bermanfaat, mencari menu yang baik dan menyehatkan untuk Mica.
Bayi kecil itu kini bertambah besar. Setiap hari ocehan-ocehan ala bayi keluar dari mulutnya, ia semakin pandai. Mica sudah bisa diajak bermain, membuat Kakang Ihsan dan Mahira semakin sayang dan selalu ingin bersamanya.
Ada kejadian menarik yang direkam oleh Kakang ketika libur dari pondoknya. Dia baru melihat ekspresi Mica ketika pup – buang hajat – yang sangat lucu. Mulut Mica manyun-manyun, ada suara-suara yang dikeluarkan olehnya saat ngeden. Wajah mulas adiknya membuat Kakang tertawa terpingkal-pingkal. Rekaman video singkat ekspresi wajah Mica ketika pup tersimpan di ponsel. Bukan hanya satu video, tapi banyak, ada juga foto-foto Mica bersama Kakang dan Mahira.
Begitu juga ketika kami mengunjungi Kakang di pondoknya, Mahira dan Kakang sangat senang menggoda Mica. Mereka tertawa, bercanda, bermain bersama. Wajah sedih Kakang terpancar di saat kami harus pulang. Meskipun berat untuknya, tidak bertemu Mahira dan Mica – kedua adik perempuannya – Kakang tahu sebagai anak laki-laki, dia kelak akan memikul tanggung jawab yang amat besar. Dia menuruti keinginan ibu dan bapaknya, sekolah boarding school – pesantren – demi masa depannya, juga kedua adik yang akan menjadi tanggung jawabnya.
Meskipun sedih, Kakang selalu berusaha tersenyum di saat kami berpamitan pulang.
“Hati-hati, ya, Pak. Doakan Kakang di sini,” ujarnya sambil mencium tangan Bram.
“Ibu sehat terus, jangan kecapekan. Biar Bi Mun mengerjakan semua. Ibu ngurus Mica saja, ya.”
Mendengar perkataan Kakang, Mahira menyeletuk, “Aku enggak diurus Ibu, cuma Mica doang, gitu?” Mulutnya manyun.
Belum sah sepertinya kalau Mahira dan Kakang belum perang mulut. Dari tadi, mereka asyik bersama Mica hingga lupa dengan kebiasaan mereka. Acara pamitan ditutup perang antara Kakang Ihsan dan Mahira, bukan hanya perang mulut, mereka saling mengejek, menjulurkan lidah masing-masing, membuat wajah mereka menjadi jelek. Hingga akhirnya Kakang Ihsan melambaikan tangan ketika mobil kami bergerak menjauhi parkiran, wajahnya sedikit sendu dengan senyum yang dipaksakan.
Lega rasanya hati ini, semua kembali normal. Kami berhasil melewati jalan terjal yang hampir menggelincirkan kami semua ke dalam jurang, mimpi buruk telah berakhir. Meskipun sebenarnya masih ada ketakutan lain yang bersarang dalam otakku, tetapi berusaha menganggapnya tidak pernah ada. Apa pun akan aku lakukan demi kebahagiaan Bram, Kakang Ihsan, Mahira, dan Mica.
Bram mulai sering dinas luar, ada beberapa proyek yang harus dikerjakannya di beberapa kota. Pekerjaannya semakin banyak karena atasannya dan Hermawan – rekan kerjanya – harus menjalani pemeriksaan atas tuduhan korupsi. Kasus korupsi yang mereka lakukan berhasil dibongkar Bram dibantu Hendra – rekan kerjanya.
Nurul, perempuan itu harusnya ikut terseret, tapi ia menghilang membawa lari uang kantor, sebelum kasus itu diajukan ke pengadilan. Tidak menyangka gadis lugu seperti Nurul ternyata hatinya busuk.
Untuk sementara Bram yang menggantikan tugas-tugas atasannya sampai ada kepala kantor baru. Aku terpaksa mendapat job tambahan, jadi supir sekaligus nanny. Pagi-pagi, mengantar Mahira sekolah, sore menjemputnya dari sekolah. Terkadang, menyetir sambil menyusui Mica. Pernah juga mengganti popok Mica di sekolah sebelum pulang karena dia pup. Meskipun melelahkan, tapi dijalani dengan semangat. Terasa sekali repotnya jika Bram dinas luar kota dan Bi Mun nggak masuk kerja.
Suatu pagi, hujan turun sangat deras. Bi Mun belum datang, sementara aku harus mengantar Mahira ke sekolah. Karena terburu-buru, lupa membawa gendongan Mica. Kucuran air langit yang mengguyur bumi tidak mau berhenti. Turun dari mobil, terpaksa menggendong Mica dengan tangan kiri, tangan kanan memegang payung. Mahira jalan beriringan disampingku, sambil kerepotan menggendong Mica yang semakin gendut, kami berjalan menuju kelas Mahira.
Mica tidak mau diam, hampir saja terjatuh dari gendongan tanganku, cepat berjongkok menahan agar Mica tidak terjatuh. Mahira spontan ikut berjongkok karena payung yang aku pegang ikut turun.
Aku tidak bisa berdiri, tangan kiri menggendong dan menjaga agar Mica tidak jatuh, tangan kanan memegang payung agar kami tidak kehujanan. Kakiku gemetar, sementara Mica terus bergerak, ia tidak mau diam. Pastinya, jika aku berusaha berdiri, Mica bisa terguling. Akhirnya kami bertiga tetap jongkok, diam bergeming dalam derasnya hujan, di seberang pintu kelas Mahira.
Ibu-ibu lainnya – yang ada disitu – tertawa melihat pemandangan unik “ibu dan anak berjongkok dibawah payung dalam derasnya hujan” mereka bukannya cepat membantu, malah sibuk menertawakan.