AZMIA
Kenapa semua begitu tiba-tiba, begitu cepat? Tidak diberi kesempatan untuk mengucapkan kata perpisahan meskipun hanya sepatah kata, Mica telah pergi meninggalkan kami. Seharusnya, aku yang pergi, bukan Mica. Selama ini yang merasakan sakit adalah aku, karena kangker yang bersarang di otak, kenapa Mica yang harus pergi???
Setiap imunisasi, dokter selalu mengatakan kondisi Mica bagus, sehat, perkembangannya baik. Semua normal, semua baik, lalu apa yang menyebabkan Mica pergi? Apa yang salah dengan kesehatan Mica?
Kami baru membeli perlengkapan makan untuk Mica, membeli baju-baju baru untuknya. Dua hari sebelum kepergiannya, kami bertiga – aku, Mahira, dan Mica – menikmati setiap detik kebersamaan untuk yang terakhir.
Kedua mata memandang nanar baju-baju barunya, masih utuh tersimpan dalam kantong belanjaan yang sama sekali belum tersentuh. Dua kantong besar tergeletak di lantai kamarku. Ia pergi meninggalkan aku, tanpa ada pesan sedikit pun. Bulir-bulir bening mengalir dari kedua pelupuk mata, hati ini terasa sakit.
Tangan gemetar memegang ponsel, begitu banyak rekaman video dan foto-foto Mica tersimpan dalam galeri. Foto Mica dengan gaya tidur yang mirip gaya tidur Mahira, tidur menyamping saling berhadap-hadapan, kedua tangan dan kaki mereka menekuk. Bibir mengukir senyum, namun air mata tak terbendung mengalir membasahi pipi. Semua kini hanya tinggal kenangan,
“Mica, kenapa meninggalkan ibu, Nak?!”
Mataku tidak berkedip melihat video ketika Mica mulai mengucapkan satu kata yang tidak jelas, terdengar “nyen” di saat dia haus ingin minum ASI. Terus menonton, berlanjut ke video saat Mica bermain dan bersenda gurau bersama Mahira beserta Kakang . Itu sebulan sebelum kepergian Mica, ketika kami mengunjungi Kakang di pondoknya.
Hanya sebentar Mica bersama kami, tetapi kenangan yang dia berikan begitu banyak, terekam dan tersimpan dalam album emas di setiap rak-rak memori otak kami.
“Tap.. tap... tap...”
Langkah kaki terdengar mendekati kamar, Bram masuk membawa nampan berisi sepiring nasi komplit dengan lauk pauk dan segelas teh hangat, ia duduk dipinggir ranjang, matanya cemas menatapku.
“Mia, makan dulu. Aku suapi, ya?”
“Aku belum lapar, Bram,” jawabku datar.