Goresan Pena Azmia (catatan kecil Bram)

R Hani Nur'aeni
Chapter #21

Chapter #21 KENAPA HARUS BAREN

Perjalanan hidup Azmia amat tidak mudah, selalu ada benturan yang mengasah jiwa raganya agar menjadi lebih kuat dan bersahabat dengan takdir. Realita kehidupan sahabat-sahabatnya – menyakitkan, kepahitan, kemunafikan, kebohongan – tidak beda jauh dengan apa yang dialaminya, menyadarkan Azmia. Di dunia ini tidak ada kesempurnaan, semua berjalan sesuai kehendak penguasa langit dan bumi.

Namun, kehadiran Baren, masa lalu yang sudah hampir terlupakan membuat Azmia sedikit bimbang dengan hatinya. Kehilangan Mica membuatnya menjauh dari Bram, kedatangan Baren seolah mengisi kekosongan dalam hati Azmia.

Apakah salah jika Azmia berpaling dari Bram dan menyambut Baren yang selalu ada untuknya???

AZMIA

Mematut diri depan cermin, meyakinkan diri sendiri penampilanku tidak berlebihan. Kemudian melangkah keluar dari toilet wanita menemui Desy, Wulan, dan Riska, mereka sudah berada di depan ruang sidang. Kami datang di sidang putusan cerai Mytha dengan Rudi suaminya, memberikan support terbaik untuknya. Setelah empat bulan perjalanan sidang, hari ini akan menjadi babak baru dalam kehidupan Mytha. Melepas orang yang selama ini dicintainya sekaligus orang yang menyiksanya lahir batin.

Baren bersama pengacara mereka mendampingi Mytha. Dia yang mengurus semua, proses perceraian, mengambil alih perusahaan yang selama ini dipegang Rudi. Ibunya Baren adalah kakak kandung papanya Mytha. Setelah papanya Mytha meninggal – tahun lalu – perusahaan keluarga mereka dipegang Rudi, yang melakukan penggelapan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi tanpa sepengetahuan Mytha.

Mytha diiringi Baren dan pengacaranya keluar dari ruang sidang dengan wajah sumringah. Kami bergantian memeluk Mytha, tidak ada kesedihan, justru senyuman kebebasan terukir di wajahnya.

“Alhamdulillah, semua beres. Hak asuh anak-anak diberikan sepenuhnya padaku.”

“Puji Tuhan! Selamat ya Mytha, akhirnya semua berakhir baik.”

Riska mengucapkan selamat dengan caranya – Desy dan Riska berbeda keyakinan dengan kami. Meskipun begitu kami tidak pernah mempermasalahkannya, persahabatan berjalan dengan lancar sejak SMU hingga saat ini.

Rudi keluar dari ruang sidang, menundukan wajah. Mytha lekas menghampirinya, sebelum sempat Baren menghalangi.

“Maafkan harus berakhir seperti ini, Rudi. Anak-anak bebas menemuimu kapan pun mereka inginkan, begitu juga kamu. Mereka adalah anak-anak kita, membutuhkan kasih sayang aku dan kamu, orangtua mereka.”

Mytha memeluk Rudi, sangat terlihat dengan jelas ikatan cinta itu masih ada, tapi harus berakhir demi kebaikan mereka berdua. Satu lagi pembelajaran yang aku dapatkan hari ini, pengorbanan cinta.

Flash Back

Gara-gara tragedi pingsan dua bulan lalu, Baren menjadi dekat denganku, mengkhawatirkan kondisiku, lebih bawel dari dr Martin yang menurutku sudah cukup bawel mengingatkan kondisi kesehatanku.

Waktu itu kami berlima – Mytha, Desy, Wulan, Riska, dan aku – makan siang bersama. Tiba-tiba Mytha di telepon Baren diminta datang ke pengadilan agama karena ada berkas yang harus ditandatangani hari itu juga. Aku yang menemaninya, setelah usai urusan di pengadilan agama, kami bertiga – Baren, Mytha, dan aku – pergi ke Botani menemani Baren makan siang. Saat kami sedang makan, Mytha ditelepon anaknya diminta segera pulang, tinggalah aku dan Baren yang tersisa.

Ketika itu, sakit kepala kumat tanpa tahu tempat dan permisi, kembali menyerang. Aku pingsan, Baren membawaku ke rumah sakit BMC paling dekat dari Botani. Inilah awal mulanya Baren tahu kanker yang menjadi benalu di otakku.   

Baren, Mytha, dan dr Agus mereka adalah saudara sepupu, orang tua mereka kakak beradik. Dari dr Agus Baren mengetahui riwayat sakit tumor otakku, memberitahukannya dr Martin yang menangani, kebetulan berikutnya adalah dr Martin adalah teman SMU Baren.

Lelaki bernama Baren sudah lama aku kenal, cinta yang kami miliki tidak pernah bisa bersatu, selalu datang terlambat. Baren pergi ke Belanda, melanjutkan kuliah di sana sekaligus belajar bisnis di keluarga papanya. Aku tidak pernah mendapat kepastian cinta darinya.

Desiran darah yang mengalir tidak menentu saat berada di dekatnya, rasa bahagia jika bertemu dengannya, aku pikir hanya aku yang merasakannya, karena tidak pernah ada pernyataan apa pun darinya. Satu minggu setelah acara lamaran Bram, baru aku tahu cinta Baren untukku. Ia datang menemui Bunda, mengutarakan keinginannya, melamarku untuk menjadi istrinya, tapi semua sudah terlambat. Kekecewaan membuatnya kembali ke Belanda, tidak pernah ada kabar apa pun darinya.

Ia datang mengusik hati ketika Bram mengalami keterpurukan, pilihan yang sulit karena Baren datang mengulurkan tangannya, menawarkan janji manis indahnya cinta untuk kami berdua. Aku menolaknya, memilih Bram dan anak-anak, meskipun kehidupan kami saat itu sangat sulit, tapi Bram dan anak-anak terpatri kuat dalam hati ini. 

Lihat selengkapnya