AZMIA
Tidak mengerti harus berbuat apa, hidupku bagaikan potongan puzzle yang terburai, berceceran tidak berbentuk. Merindukan Mica membuat kesehatanku semakin menurun. Kemarin, diantar Bi Mun, menemui dr. Martin.
Hasilnya, aku harus melakukan serangkaian tes bulan depan.
“Tumor sudah mulai melebar ke batang otak. Operasi menjadi salah satu cara pengobatan untuk mencegah kanker menjalar ke mana-mana.”
Ucapan dr. Martin terdengar begitu ringan di kuping, tidak kupedulikan lagi apa yang menggerogoti kepala, sudah kebal dengan rasa sakit. Hanya ingin menjalani hari demi hari bersama orang-orang yang kusayang, entah sampai kapan.
Desy, dia terus mendesak, memintaku mengajarinya. Apa yang harus dilakukan untuk menolongnya? Mmh ... Bi Mun, sepertinya, dia orang yang tepat. Ya, minta tolong Bi Mun untuk membantu Desy.
Baren, andaikan bisa menerima cintanya, tapi dalam hati ini sudah ada satu nama yang tak bisa kuhapus sejak ia mengikrarkan janjinya. Bram, nama itu yang sejak lama ingin kuhapus tapi tidak pernah bisa. Meskipun menyakitkan tapi cinta itu terus tumbuh semakin besar untuknya.
“Allahu akbar... Allahu akbar...!”
Lamunan terhenti ketika azan asar berkumandang, terasa nikmat mengalun di telinga. Air mata berhamburan, mengingat kenangan bersama Mica. Biasanya setelah salat asar, aku dan Mica bersiap-siap menjemput Mahira. hampir satu tahun telah berlalu sejak kepergian Mica.
Menghela napas sesaat, merenungi apa saja yang telah terjadi selama ini. Sudah lama tidak salat malam, salat wajib pun, kadang sengaja kulewatkan. Batin ini masih berperang, mempertanyakan keadilan Tuhan. Hari ini, desakan dalam hati menggerakan tubuh menuju kamar mandi, berwudu, lalu menunaikan salat.
Nikmat, sangat nikmat dirasakan. Derasnya air mata yang tumpah menambah nikmat dan ketenangan dalam hati. Apakah ini yang kubutuhkan, mengadu kepada Yang Kuasa?
Selesai salat, larut dalam lantunan ayat Al Qur`an. Alhamdulillah, satu surah usai dibaca, hati ini merasa tenang dan nyaman. Kutarik napas panjang, sudah tahun berlalu sejak kepergiannya, sambil membayangkan wajahnya. Mica pasti tambah besar, bulan depan ia berusia delapan belas bulan.
BRAM
Lelaki mana yang tidak akan marah, melihat wanita yang dicintainya bersama lelaki lain yang juga mencintainya. Darah mendidih, ingin sekali menghantamkan satu pukulan pada wajah lelaki itu.
Kedatangannya ke kantor membangkitkan semangat kompetisi untuk mempertahankan Mia agar tidak direbut olehnya. Pikiran ini mengatakan akan ada pertarungan antara aku dengan Baren, kenyataannya justru aku berterima kasih padanya.