Goresan Pena Azmia (catatan kecil Bram)

R Hani Nur'aeni
Chapter #24

Chapter 24 SEBUAH HARAPAN

 

BRAM

 “Bip... bip... bip...”

Suara pesan masuk, begitu berisik seolah mengingatkan tugas-tugas kantor yang harus diselesaikan. Menyesap kopi susu panas sambil membuka layar HP, mengecek pesan masuk. Dari   kantor – ekpresi wajah mengernyitkan dahi. Pesan dari wali santri Kakang, ia minta dijemput. Padahal baru satu hari pulang ke pondoknya. Tidak bisa dipungkiri, kondisi Mia sekarang memang bukan kondisi normal, wajar jika Kakang dan Mahira ingin selalu berada di dekat ibunya.

Desy baru datang menjenguk Mia, ia kelihatan bahagia dengan kelurga barunya. Seandainya Mia sadar, pasti senang mendengar kabar sahabatnya – Desy – akan memiliki bayi. Tidak mengira Bi Mun membawa pengaruh yang sangat positif, bukan hanya untuk Mia dan keluarga kami, tapi juga untuk Desy. Bibir menyunggingkan senyum, membayangkan Mia pasti senang melihat sahabatnya bahagia.

Membayangkan Baren bersama Mia, tangan kiri memijit-mijit kening. Entah apa yang aku lakukan, meninggalkannya bersama Mia. Tadi saat keluar kamar,  sengaja mengintip dari kaca pintu, melihat apa yang akan dilakukannya. Masih ada ganjalan dalam hati, apakah bisa percaya ucapannya tempo hari.

“Mia milih lo, bukan gue.”

“Dia ingin gue jadi sahabatnya, itu yang dia minta.”

“Jujur saja hati gue sakit, bukan itu yang gue mau dari Mia.”

 Sejak Mia tidak sadarkan diri sampai hari ini, Baren membuktikan ucapannya dapat dipercaya. Wajar jika Baren merasa berhak memiliki Mia, dia merasakan hatinya sakit seperti yang aku alami, paham betul apa yang dirasakan olehnya. Belasan tahun menunggu cinta Mia hadir untukku, bukan hal yang mudah.

Untuk beberapa saat, duduk terdiam tidak tahu harus berbuat apa, menikmati sisa-sisa kopi di cangkir hingga tandas tinggal ampas yang tersisa. Tiba-tiba saja bangkit dari duduk dan berjalan, seolah ada yang menarik, kedua kaki melangkah meninggalkan kantin menuju musholla. Setelah berdwudhu  larut dalam sholat dua rakaat, memohon belas kasihan Yang Kuasa, memberikan kesadaran untuk Mia.

 

 

DESY

Saat aku masuk ke dalam ruangan, Bram duduk disamping tempat tidur, memegang erat tangan Mia. Ia tersenyum singkat melihat kedatanganku dan suami – Pak Hamdan.

“Bram, kenalkan Pak Hamdan, suamiku.”

Bram menyambut uluran tangan suamiku, kemudian mereka duduk di sofa tamu, aku mendekati ranjang dimana sahabatku terbaring.

Pilu hati melihatnya tertidur dalam keheningan, meskipun begitu sinar kecantikannya terus memancar dalam balutan kerudung cokelat muda. Matanya tertutup, di hidungnya menempel alat bantu pernapasan beserta alat-alat lainnya yang menempel ditubuhnya. Aku  yakin, ia tidak pernah lelah berjuang.

Azmia adalah wanita istimewa, kamar VIP yang ditempatinya diubah menjadi ruangan ICU, khusus untuknya. Hal itu dilakukan agar keluarga dan para sahabat bisa mengunjungi dan melihatnya, meskipun ia tidak tahu persis siapa saja yang datang berkunjung dan menemaninya.

Aku duduk di kursi depan ranjang, memegang tangannya, terasa hangat.

“Mia ... maafkan, aku baru datang.”

Mata mulai terasa hangat, perlahan titik bening mengalir.

“Alhamdulillah, aku, Dina, bersama suamiku dan Ibu Halimah baru pulang umrah,”

 Tidak tahan melihat keadaannya, air mata mengalir  melaju membasahi pipi.

“Mia, jasamu untuk kehidupan kami sangat besar.”

Isak tangisku memecah kesunyian, bibir ini terus mengoceh seolah ia mendengarkan setiap perkataanku.

“Terima kasih, telah mempertemukan aku dengan guru ngaji yang membimbing dan membantuku menjadi seorang muslimah.”

Entah ia bisa mendengar apa yang aku ucapkan atau tidak, terus berbicara seperti biasanya kami mengobrol, diiringi isak tangis.

“Allah... Allah tahu yang terbaik untuk umatnya, Mia.”

Lihat selengkapnya