AZMIA
Waktu terus beranjak maju, tidak pernah ada jeda, memaksa setiap orang melangkah ke depan. Tiga bulan berlalu, akan tetapi kepergian Desy masih menyisakan duka untuk semuanya. Adik bayi yang diberi nama Satria Desyana Hamdani, sudah bisa berguling-guling. Ibu Halimah sendiri yang merawat Satria dan Dina, beliau sangat menyayangi Dina dan Satria seperti anak sendiri.
Aku, Mytha, Riska, dan Wulan hampir setiap minggu datang berkunjung ke rumah Ibu Halimah. Melihat keceriaan di wajah Dina dan Satria terasa tenang, Desy pasti bahagia karena anak-anaknya dirawat dengan baik oleh Ibu Halimah dan Bapak Hamdan.
Kenangan terakhir bersama Desy, makan siang di Botani Square melintas dibenak, kedua mata terpejam mengingat betapa cantiknya Desy memakai blouse biru langit selutut dipadu celana bahan warna putih, berjilbab putih dengan corak bunga biru kecil. Membayangkan canda dan tawa bahagia saat itu, ternyata adalah pertemuan terakhir. Itulah kenapa Desy memeluk kami satu persatu, seolah mengucapkan selamat tinggal.
“Takdir kehidupan...”
Menghela napas kemudian mataku tertuju pada satu titik. Hari ini tanggal sepuluh November 2019, merupakan Hari Pahlawan, tiga hari berikutnya ulang tahun Mica. Menatap kalender yang tergantung di dinding kamar, tepat di hari ulang tahun Mica hasil tes terakhir akan diberikan oleh dokter Martin.
“Ya Allah semoga perjuangan kami Kau ridhai, berikanlah hasil yang terbaik menurut-Mu, ya Allah.”
Menengadahkan kedua tangan, bibir perlahan membaca surat Al Fatihah dengan khusyuk.
“Mia...!”
“Aku di kamar Bram.”
Panggilan itu menyudahi doa, kaki melangkah menuju asal suara. Ketika berjalan keluar kamar rupanya Bram berjalan masuk ke dalam kamar, membuat kami hampir bertabrakan.
“Ups...!” pekikku.
“Maaf, aku enggak tahu kamu mau keluar kamar, Mia.” ujar Bram.
Aku kembali masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang, diikuti oleh Bram.
“Ada apa, Bram?”
“Besok aku antar ke rumah sakit, kalau sudah beres telepon, nanti aku jemput. Maaf enggak bisa nemenin, barusan Hendra WA katanya laporan keuangan diminta sebelum makan siang.”
“Aku pergi sama Bi Mun saja, jadi kamu nggak repot bolak-balik, Bram.”
Bram menggelengkan kepala, ia benar-benar menunjukan kesungguhan cintanya, sejak aku siuman dari tidur panjang, segala urusan rumah tangga kami berusaha ditanganinya sendiri.
“Aku enggak repot, cuma nggak bisa nemenin aja di rumah sakit,”
“Ya sudah. Mahira sudah tidur belum ya? Ini hampir jam sembilan malam.”
Aku bangkit dan keluar dari kamar menuju kamar Mahira, sedangkan Bram masih sibuk dengan Hp.
Bahagia Bersanding Dengan Duka
BRAM