Gosh Stalker

TF Nasution
Chapter #3

Bagian 2

Malam sudah semakin larut. Mungkin saat ini pukul 00.05 WIB. Namun minimarket yang biasa nyala lampunya sudah padam, masih terang benderang menghiasi malam. Beberapa polisi sedang berada di dalam untuk memeriksa dan melihat TKP (Tempat Kejadian Perkara). Dua polisi berjaket hitam parasut, berumur empat puluhan sedang berbicara dengan petugas kasir, meminta informasi untuk dapat segera ditindaklanjuti. Satu polisi sedang berbicara dengan laki-laki muda, sepertinya seumuran dengan petugas kasir, menurut informasi ia adalah kepala minimarket tersebut. Tidak banyak informasi yang dapat diberikan oleh kepala minimarket itu. Kalian benar! Karena ia tidak ada di lokasi kejadian. Wajar saja ia tidak tahu. Ia hanya diminta untuk memberikan informasi formalitas tentang toko dan lain sebagainya.

“Apa kalian akan terus bertanya kepada saya?” tanya petugas kasir.

“Pukul berapa ke dua pemuda tadi masuk ke minimarket?” tanya salah satu polisi yang sedang memegang buku catatan kecil besarta pena. Ia tidak memedulikan pertanyaan petugas kasir.

“Saya sudah bilang sejak tadi. Saya tidak ingat.” jawabnya sambil memejamkan matanya. Menahan rasa amarah adalah gambaran tepat untuk dirinya saat ini.

“Lalu bagaimana kami bisa tahu dan menyelidikinya? Setidaknya kau harus ingat kisaran waktu mereka datang kemari.” petugas itu sedikit memaksa.

“Hei, Pak! Sejak tadi saya sudah menjawabnya. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan anda-anda sekalian. Saya tidak bisa mengingat dengan benar saat ini. Saya cukup syok saat ini. Saya adalah korban. Apakah kalian tidak mempertimbangkan kondisi korban saat ini?! Leher saya sedang terluka. Tidak berniat untuk mengobati saya terlebih dahulu?!” petugas kasir akhirnya mengeluarkan amarahnya.

“Apa kau bilang? Kau harus bisa bekerjasama jika ingin ini selesai dengan cepat! Bukannya malah mempermasalahkan kondisimu saat ini yang sama sekali tidak sedang dalam keadaan gawat! Informasi! Kau harus memberikan informasi kepada kami!” petugas itu juga tersulut emosi.

“Apa? Tidak sedang dalam keadaan gawat? Hei, Pak! Saya adalah warga negara Indonesia. Anda adalah petugas yang melindungi masyarakat. Apa saya terlihat seperti teroris dimata anda? Sampai-sampai kau bertindak seperti itu?!” balas petugas kasir lagi.

“Hei! Hei! Sudah! Biar aku saja yang bertanya kepadanya.” petugas satunya berusaha melerai mereka berdua. “Hei! Ambilkan kotak P3K yang ada di mobil.” Ia memerintahkan kepada seseorang yang baru saja melintasi mereka. “Mohon maaf sebelumnya. Untuk dapat melakukan penyelidikan dengan benar, kita harus bisa bekerjasama dengan baik. Apa keadaanmu baik-baik saja?”

“Saya sudah mengatakannya sejak tadi. Apa kalian tidak bisa mendengarkan? Saya masih syok dengan kejadian ini. Apakah kalian tidak bisa membiarkan saya sebentar untuk menenangkan pikiran? Dan saya masih begitu khawatir dengan kondisi leher saya saat ini. Apakah kalian tidak berniat memanggil ambulans untuk saya? Saya ini pasien!”

“Tadi korban sekarang pasien. Hei, lehermu tidak apa-apa. Itu hanya tergores saja! Tergores! Apa tidak ada hal lain yang bisa kau besar-besarkan selain masalah lehermu itu!” petugas polisi itu masih tidak percaya dengan keluhan petugas kasir.

“Sudah. Sudah. Biar aku saja yang menanganinya.” lerai petugas satunya lagi.

Seorang laki-laki yang tadi mengambil kotak P3K telah kembali dan membawa kotak tersebut. “Tolong ambilkan kursi.” pintanya lagi kepada petugas tersebut.

“Baik, Pak.” ia pergi dan tidak sampai semenit, ia telah datang dan membawa kursi yang tidak jauh dari mereka. “Ini, Pak.”

“Terimakasih.” ucapnya kepada petugas tersebut. “Silakan duduk disini, biar aku lihat lukamu.”

Petugas kasir itu menurut. Ia duduk sambil sedikit memiringkan lehernya agar dapat dilihat oleh polisi tersebut.

“Itu bukan ma….”

“Sudah. Tenanglah.” Polisi itu kembali menenangkan temannya. Sementara petugas kasir, matanya melirik tajam ke arah polisi menyebalkan itu. Ia menunggu polisi itu menyelesaikan kalimatnya.

“Tidak apa-apa. Ini tidak akan membahayakan nyawamu. Kau bisa tenang saat ini. aku telah membersihkannya dan mengobatinya. Kau bisa menggerakkan lehermu dengan benar sekarang?” petugas itu berkata sambil mengobati leher petugas kasir yang tergores itu dengan cepat.

“Terimakasih. Memang petugas senior lebih berpengalaman dan lihai dalam bekerja. Berbeda dengan junior yang bertindak semaunya dan hanya mengedepankan egonya saja.”

Ke dua petugas itu saling pandang. Petugas yang dari tadi sudah marah, rasanya tidak sanggup lagi menahan emosi. Petugas kasir tersebut sepertinya memiliki kebiasaan berkata jujur dan apa adanya. Ia mengatakan sesuai apa yang ia lihat dan rasakan tanpa mempertimbangkan kemungkinan lainnya.

“Kau….”

“Sudah. Tenanglah.”

“Apa?” petugas kasir itu memasang wajah menantang.

“Baiklah. Karena kau sepertinya sudah tenang, aku akan bertanya kepadamu.” ucap polisi yang telah mengobati lukanya. “Pukul berapa ke dua pemuda itu memasuki minimarket?”

“Saya tidak begitu ingat.”

“Apa?” polisi yang masih tersulut emosi itu tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan.

“Sudah. Tenanglah.”

“Kau harus bisa mengingatnya untuk dapat memberikan gambaran kejadian kepada kami. Sehingga polisi akan dapat menyelesaikan tugas mereka. Tolong ingat kembali.” pinta polisi kepada petugas kasir.

“Untuk apa kalian meminta keterangan dari saya? Saya tidak begitu mengingat kejadian tadi. Saya tidak berpikir jernih. Saya sudah cukup sangat terkejut dengan pistol yang diarahkan kepada saya dan pisau yang hampir saja mempertemukan saya dengan malaikat pencabut nyawa.” jawabnya.

“Aku mengerti dengan apa yang kau rasakan saat ini. Tetapi setidaknya kau harus memberikan kesaksian dari kejadian ini. agar kasus ini dapat terselesaikan dengan baik. Tanpa keraguan dan tidak ada yang terlewatkan.” jelas polisi itu lagi.

“Sementara saya mencoba mengingat kejadian tadi, bagaimana kalau kita melihat kamera CCTV dan menilai dengan jelas apa yang sudah terjadi tadi.”

“CCTV?” tanya petugas yang marah tadi.

Ke dua polisi itu saling pandang. Sepertinya mereka terlalu terburu-buru untuk menyelesaikan kasus ini. Sehingga mereka tidak memperhatikan dengan saksama lokasi kejadian yang merupakan kunci dari suksesnya penyelidikan yang sedang mereka lakukan.

“Dimana kami bisa melihatnya?” tanya petugas polisi itu.

“Ada di ruang staf, ayo ikuti saya.”

Mereka pergi ke ruang staf untuk melihat CCTV. Setidaknya kamera itu merupakan jalan keluar untuk proses kejadian yang sebenarnya. Apalagi mengingat saksi saat ini sedang tidak dapat diajak bekerjasama dengan baik. Karena syok yang sedang di deritanya.

*****

Sementara itu, polisi lainnya sedang berbicara di meja pelanggan dengan lelaki yang memakai jaket hitam tadi. Benar! Lelaki yang melawan ke dua pemuda yang hampir saja berhasi merampok minimarket. Ia masih duduk di tempat duduknya. Melihat ke luar jendela dan hanya diam. Seorang polisi yang duduk menemaninya sesekali meliriknya tanpa berkata atau bertanya apa pun. Namun bagaimana pun juga situasi ini adalah situasi canggung yang tidak dapat dibiarkan berlarut begitu saja.

“Hmm…. Kau tidak apa-apa?” polisi itu memulai percakapan.

“Seperti yang kau lihat.” jawabnya singkat.

“Kau sudah makan?”

“Apakah kau pacarku?”

“Tidak. Aku hanya….”

“Perhatian? Itu adalah tugas seorang pacar. Kau berniat menjadi pacarku? Baiklah akan aku pertimbangkan.” jawabnya lagi.

“Hei!”

“Tenanglah! Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku.” ia menatap petugas polisi itu. “Ke dua pemuda tadi hanya bocah yang sedang belajar berbuat jahat. Bahkan mereka tidak punya keberanian menjadi penjahat. Yang satunya bersikap seperti jagoan karena merasa sedang memegang senjata mematikan dan yang satu lagi penuh pertimbangan dan tidak berani memulai.”

“Sepertinya kau cukup berpikiran jernih.” balas polisi tadi.

“Tenanglah! Aku tidak akan gila hanya karena kena skors.”

“Hei, Bima! Tenangkan pikiranmu dan jumpailah Pak Tono sekali lagi. Berbicaralah baik-baik padanya. Aku yakin ia akan mendengarkanmu dengan baik. Ia bukan orang yang gampang tersulut emosi dan mengambil keputusan seenaknya.”

Lihat selengkapnya