“Tim kami?!” nada suara Satria menarik perhatian pengunjung cafe. Semua mata kini melihat ke arah mereka.
Bima menutupi wajahnya dengan tangan. Berharap tidak ada seorangpun yang akan mengingat wajahnya. “Kau pikir kita sedang di medan perang?”
“Tim kami? Pak Tono bilang ‘tim kami’ kepadamu?” ia mengulangnya kembali. “Wah! Dia pasti sangat membencimu saat ini!”
“Entahlah.”
Mereka hanya duduk, saling pandang dan kehabisan kata-kata. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Di mata mereka, Pak Tono adalah orang yang sangat bijaksana dalam mengambil keputusan. Ia tidak akan pernah ‘mengotak-ngotakkan’ orang lain. Ia bukan orang yang gampang mendeskriminasi orang. Ia bukanlah orang yang seperti itu. tetapi kata ‘tim kami’ sepertinya memberikan penilaian lain di diri Satria.
“Jujur saja, kau pasti sangat membenci Pak Tono saat ini, kan?”
“Tidak.”
“Kau sama sekali tidak merasa sakit hati?”
“Tidak. Aku sangat mengerti dengan pemikiran Pak Tono.”
Satria tidak percaya dengan apa yang sedang ia dengar saat ini. Seorang Bima yang sangat tidak peka dengan perasaan orang lain dan gampang menaruh curiga terhadap orang lain pula, berkata ia sangat mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Pak Tono atasan mereka itu? Ini sebuah perubahan besar. Seketika ia teringat dengan kabar jika kiamat sudah dekat. Mungkin saja itu semua memang benar.
“Sepertinya hari ini matahari terbit dari barat.”
“Apa? Kau gila. Ini masih normal!”
“Kau yang tidak normal. Kau berubah.”
“Berubah bagaimana?”
“Kau adalah orang yang akan mempertahankan keinginanmu. Kau adalah orang yang keras kepala dan menganggap dirimu benar. Kau juga adalah orang yang sangat sensitif dan gampang tersinggung. Tapi saat ini, kau menerima keputusan Pak Tono. Membiarkan ia menyebutkan ‘tim kami’ yang tidak ada kau di dalamnya. Kau menerima dengan lapang dada skors yang diberikan kepadamu padahal kau sangat ingin dengan segera menangkap pembunuh itu.”
Bima mendengarkan penjelasan Satria dengan tenang. Ia tersenyum tipis. Ia memperhatikan jarinya yang sedang bermain manja pada bibir gelas kopinya. Pikirannya menerawang dan membayangkan apa yang telah terjadi malam itu. Membayangkan anggota timnya berada di tempat yang berbahaya karena ulahnya. Berpikir keras dan bertanya kepada diri sendiri, mengapa ia harus termakan informasi yang tidak jelas berasal darimana. Menyalahkan diri sendiri atas tindakan gegabah yang ia ambil dan mengesampingkan perintah dari atasan.
“Kau ingat malam itu?” tanyanya kepada Satria.
“Malam mana?”
“Malam saat terjadinya kebakaran di gudang. Belum juga seminggu.” Ia tertawa jijik. “Bagaimana kau bisa lupa? Bagaimanapun juga itu semua adalah kesalahanku. Aku bersalah pada hari itu. Karena rasa ambisiusku, aku telah menempatkan kalian dalam bahaya. Padahal aku adalah penanggungjawab dari kasus hari itu, tapi aku malah mengesampingkan keselamatan tim dan menempatkan kalian pada situasi yang sangat berbahaya.” Bima masih melihat ke arah gelas kopinya. Ia tidak berani menatap wajah temannya. Untuk saat ini, ia benar-benar sedang berada pada titik terendah.
“Tenanglah, Bim. Itu bukan sepenuhnya kesalahanmu.”
“Bagaimana mungkin bukan kesalahanku? Apa kau lupa siapa penanggungjawab dari kasus itu? Aku! Aku penanggungjawab dari kasus itu. Kalian semua hampir mati malam itu. Jika saja aku tidak termakan omong kosong dari penelepon yang tidak di kenal itu, pasti kejadian seperti itu tidak akan pernah terjadi.” Bima menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mengisyaratkan seberapa frustasi dirinya saat ini. Rasa bersalah yang begitu besar telah menyelimuti dirinya. Tidak ada keraguan dalam dirinya, bahwa dirinya adalah orang yang bertanggungjawab besar akan kejadian malam itu.
“Aku paham bagaimana perasaanmu saat ini. Tapi jika kau terus-menerus sibuk menyalahkan diri sendiri, itu sama saja artinya kau sudah menyerah akan kasus ini. Kau telah kalah oleh pembunuh berengsek yang hampir setahun ini kita kejar. Kau telah kalah kepada rasa bersalah yang berasal dari dirimu sendiri dan tenggelam olehnya. Apa kau tidak pernah berpikir, bahwa ini bukan sekadar tanggungjawabmu? Ini adalah kerjasama tim! Bukan kau sendiri yang ingin menangkap pembunuh setan itu! Kami juga punya kewajiban untuk menangkapnya.” jelas Satria.
“Tapi aku adalah orang yang bertanggungjawab penuh atas kejadian malam itu. Aku seharusnya bisa melindungi kalian. Bukannya malah menempatkan kalian dalam keadaan yang berbahaya! Aku lah orang yang lebih mengedepankan firasat dalam bekerja.”
“Kau benar, kau memang bertanggungjawab. Kau adalah orang yang mengarahkan kami kemana kami harus pergi. Kau juga orang yang kami dengarkan selama misi itu dijalankan. Dan kau juga orang yang mengambil keputusan untuk datang ke gudang itu.” ucap Satria. “Dan saat itu pula, kami adalah orang yang setuju dengan keputusan yang kau ambil. Karena saat itu kami berpikir akan melihat titik akhir dari kasus ini. Kau bukan orang satu-satunya yang bertanggungjawab.”
“Saat itu, sebelum aku mengambil keputusan untuk pergi. Pak Tono meneleponku dan bertanya tentang perkembangan kasus yang sedang kita kerjakan. Ia memerintahkanku untuk menarik mundur tim. Ia berkata kita tidak bisa datang ke sembarang tempat dan mengedepankan firasat tanpa memiliki dasar apa pun. Ia telah menegaskan hal itu. Tapi entah setan apa yang merasuki diriku malam itu. Sehingga aku tidak mendengarkan perintah atasan dan membawa anggota timku ke tempat yang berbahaya. Seharusnya aku tahu kalau tempat itu adalah jebakan. Padahal penelpon itu mematikan panggilannya begitu ia dengar kita sedang bergegas kesana. Bahkan nomornya tidak dapat dihubungi setelahnya. Dan oleh sebab itu, kalian hampir mati karenaku!” Bima tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Tidak peduli seberapa banyak yang dikatakan Satria, ia tetap bersikeras kalau itu semua adalah salahnya.
“Hampir, kan?”
Bima diam.
“Tidak ada yang mati! Semuanya selamat berkat kau. Kau yang pertama kali sadar jika ada yang salah dari tempat itu. Kau yang pertama kali sadar tentang kebocoran gas di gudang itu. Kau yang mengarahkan kami agar segara keluar dari tempat itu. Kau juga orang yang terakhir keluar dari tempat itu. Kau lah orang yang menyelamatkan Romi dari tempat itu. Semua anggota tim juga tahu. Bahumu tertimpa kayu besar karena menyelamatkannya! Tapi kau malah diam dan tidak membesar-besarkannya! Apa kau tahu seberapa khawatirnya anak itu kepadamu? Ia sibuk meneleponku setiap malam hanya untuk menanyakan bagaimana keadaanmu. Kau menutup diri dari anggota tim setelah malam itu. apa kau tidak tahu bahwa semua anggota timmu, sangat mengkhawatirkanmu?”
Banyak yang tidak diketahui oleh Bima. Ucapan temannya itu membuatnya sadar bahwa ia tidak sendiri. Bahwa bukan dirinya saja yang frustasi akibat ulah pembunuh itu. Kasus ini bukan hanya tentang dirinya. Kasus ini adalah tentang timnya. Timnya yang sudah bekerja keras sejak awal dalam menyelidiki kasus ini. Mereka semua memiliki tanggungjawab yang sama besar. Jika ia melarikan diri dan sibuk menyalahkan diri sendiri, kasus ini tidak akan pernah bisa dapat terselesaikan.
“Jangan menyalahkan dirimu. Jika kau merasa geram dan kecewa, bukankah kau harus membayarnya kembali? Kau harus membayarnya dengan semangat baru dan bangkit untuk terus maju. Kita harus menangkap pembunuh itu. Itu semua adalah kewajiban kita sebagai tim. Bukan kewajibanmu, bukan kewajiban kami, tetapi kewajiban kita. Apa kau paham?”
Bima menatap temannya dengan tatapan takjub. Satria adalah orang yang selalu berhasil menenangkan pikirannya dibanding dirinya sendiri. Ia selalu bisa bersikap dewasa dalam menyikapi masalah yang tidak bisa dihadapi olehnya.
“Saat ini, masa skorsmu hanya tinggal tiga hari lagi. Selama tiga hari itu, aku ingin kau bisa kembali seperti dirimu yang dulu. Aku ingin kau kembali dengan pikiran jernih dan jalan keluar baru. Agar kita dapat segera menangkap pembunuh yang telah mempermainkan kita.” ucap Satria.
“Kau benar.” Bima tersenyum menatap Satria. “Terimakasih.”
“Bukankah kita teman?”
“Bukan, kita selingkuhan.” ucap Bima sambil menyesap kopinya yang hampir dingin.
Satria tertawa mendengar jawaban dari Bima. Baginya, setiap hari dengan Bima adalah perjalanan panjang yang tidak pernah membosankan. Terjatuh beberapa kalipun akan terlihat seperti kumpulan batu kecil jika sedang bersamanya. Mereka saling mengingatkan dan mendengarkan keluh kesah masing-masing. Hampir tidak ada rahasia diantara mereka. Tidak ada yang mengerti Bima melebihi Satria dan tidak ada yang lebih mengerti Satria selain Bima. Mereka adalah perpaduan retakan yang menjadi utuh jika disatukan.
“Kau tidak bekerja hari ini?”
“Tentu saja aku bekerja. Mau makan apa jika tidak bekerja?” jawab Satria. “Sudah jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Jam 14.05 WIB.” ia berkata sambil menunjukkan jam tangan digital miliknya.