“Sayang, lagi dimana?” seorang wanita sedang berbicara di telepon. Ia baru saja turun dari mobil berwarna hitam. Ramainya pasar membuat dirinya sedikit kesulitan untuk berjalan. “Aku? Aku baru saja sampai di pasar.” ucapnya lagi. “Sayuran di rumah sudah mulai habis. Jadi aku pikir lebih baik aku ke pasar saja hari ini. Ada makanan yang kau mau?” tanyanya. “Tidak. Maksudku biar aku beli sekarang. Mumpung aku lagi di sini.” ia tersenyum. “Tenang saja, hari ini aku tidak naik motor, kok. Tadi aku naik mobil online. Oh iya, kapan-kapan ajak Bima makan di rumah, ya. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.” ucapnya dengan nada manja. “Ya sudah, aku matikan. Baik-baik kerjanya. Love you.” ia mengakhiri panggilan dan memasukkan handphone ke dalam tas belanjaan miliknya.
Walaupun keadaan pasar dipadati oleh banyak pengunjung, hal itu tidak membatasi ruang geraknya. Ia dapat berjalan dan melewati kerumunan orang banyak tersebut dengan sangat lihai. Siapa pun yang melihat pasti berpikir, ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Atau bisa disebut juga dengan ‘langganan pasar’.
Sesekali ia berhenti untuk memilih sayuran dan membandingkannya dengan harga penjual sayuran lainnya. Bahkan perbandingan harga lima ratus rupiah akan sangat penting. Sungguh jiwa ibu-ibu sejati.
“Berapa harga cabainya sekilo?” kini ia berada di tempat penjual cabai. Dan ini adalah tempat ke tiga penjual cabai yang ia tanyai.
“Empat puluh ribu.” jawab penjual itu.
“Mahal amat!”
Penjual itu terkejut mendengar jawaban pelanggannya saat ini. “Itu sudah murah Kak! Kakak boleh tanya penjual cabai yang lain di pasar ini. Pasti cabai saya yang paling murah.” yakin penjual cabai.
“Tiga puluh lima ribu, ya.” pintanya.
“Sudah murah itu Kak.” jawab penjual itu lagi.
“Tiga puluh tujuh ribu. Kalau mau aku ambil.” ia belum juga menyerah dan beranjak pergi.
“Tiga puluh delapan ribu, ya Kak. Sudah tipis sekali untung saya.” penjual tersebut menyerah.
“Oke, Bang. Aku ambil sekilo.”
Saat penjual cabai tersebut menimbang dan membungkus cabainya, wanita itu segera mengeluarkan dompet untuk membayar apa yang sudah ia beli.
“Langganan, ya Kak.”
“Iya, Bang.” sambil memberikan uang yang telah ia sediakan.
“Tapi nanti jangan jahat-jahat Kakak menawarnya, ya?” pinta penjual itu.
“Mudah-mudahan.” wanita itu tersenyum dan mengambil cabai yang telah ia beli.
Sambil berjalan ia memeriksa tas belanjaan yang sedari tadi ia jinjing kemanapun. Memeriksa apakah ada yang terlupa atau tidak. Berulang kali ia menyebutkan belanjaan yang telah ia beli sembari mengingat kebutuhannya seminggu ke depan.
“Oh iya, daging! Satria dan Bima sangat suka makan daging.”
Ia menebarkan pandangan ke penjuru pasar. Sedikit sulit untuk mencari di kerumunan banyak orang seperti ini. Namun baginya ini adalah perkara yang sangat mudah. Dalam lima menit ia telah menemukan penjual daging. Ia melihat-lihat daging yang telah di potong oleh penjualnya itu. Terlihat sangat segar dan baru.
“Berapa dagingnya sekilo?”
“Seratus dua puluh ribu rupiah.” penjual daging tersebut menjawab sembari memotong-motong daging agar mudah di pilih oleh pembeli.
“Tidak kurang?” tanya wanita itu.
Penjual itu menghentikan aktivitasnya memotong daging. “Itu sudah harga yang paling murah di pasar ini.” ia menjawab sambil tersenyum.
“Kalau begitu saya ambil setengah kilo, ya.” pintanya.
“Kau ingin daging yang mana?”
“Aku tidak mau tulangnya. Dagingnya saja berikan.”
“Baiklah.” penjual itu menimbang beberapa potong daging yang telah di potongnya sejak tadi.
Sambil menunggu penjual daging menyelesaikan tugasnya, ia membuka dompet dan mengambil uang untuk membayar. Namun ketika ia mengambil uang, sebuah tangan menarik paksa dompetnya. Walaupun gerakan tangan itu sangat cepat, ia berhasil bertahan. Wanita itu menarik kembali dompetnya. Setelah dompet itu selamat, ia lalu menarik pergelangan tangan yang menarik dompetnya tadi. Matanya terperanjat ketika melihat pemilik tangan itu. Sosok itu adalah seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas sampai dengan lima belas tahun. Ia memakai kaus hitam lengan panjang dan celana olahraga hitam panjang pula. Pakaiannya sedikit lusuh dan kumal. Rambutnya sepertinya sudah layak untuk di potong. Jika dilihat secara keseluruhan, orang lain akan menarik kesimpulan bahwa ia adalah gelandangan.
“Apa yang kau lakukan?” wanita itu bertanya masih dengan memegang pergelangan tangan anak laki-laki tadi.
Anak laki-laki itu tidak menjawab. Pandangannya memancarkan kegelisahan yang sangat dalam. Ia takut wanita yang berada dihadapannya akan berteriak 'maling' atau semacamnya. Anak itu berusaha menarik tangannya. Tetapi gagal. Wanita tersebut mencengkeram tangan kecil itu dengan sangat mudah. Sehingga seberapa kuat tenaga yang ia keluarkan untuk melawan akan tetap berakhir dengan sia-sia.
“Kalau kau tidak mau aku berteriak, kau harus menurut padaku.” perintah wanita itu.
“Lepaskan!” ia meminta dengan suara yang sedikit di tahan agar tidak memancing keributan.
“Kenapa kau menarik dompetku?”