Gosh Stalker

TF Nasution
Chapter #7

Bagian 6

Satria memandang langit siang. Terik sinar matahari sedikit mengganggu, walau begitu gumpalan awan berwarna putih yang sangat manis dan imut itu berhasil menjadi penghibur diri. Sudah lama rasanya ia tidak bersantai dan sejenak memandang langit. Ia tidak ingat dengan jelas kapan terakhir kali ia menikmati waktu senggangnya. Namun hari ini, ia membutuhkan waktu untuk bersantai. Setidaknya ia ingin menenangkan pikirannya yang runyam yang disebabkan oleh banyaknya hal yang telah terjadi terus menerus tanpa henti.

Ia sedang berdiri di bawah pohon yang berada di pinggir jalan. Ia berdiri tepat di depan drink shop dan dengan santai menunggu Beni yang sedang membeli minuman di tempat itu. Walaupun di dalam dingin, ia tidak peduli. Ia hanya butuh udara segar saat ini. Dari luar sini ia dapat melihat Beni dengan jelas. Terkadang ia tersenyum melihat Beni yang lelah mengantre di dalam. Namun begitulah Beni, ia tidak akan pernah mengeluh walaupun ia merasa lelah.

Beberapa menit kemudian, Beni telah selesai mengantre dan bersiap untuk ke luar dari drink shop tersebut. Langkahnya sedikit lebih cepat. Entah apa yang sedang di kejar olehnya.

“Lihat anak bodoh itu. Kau bisa jatuh.” Satria mengoceh sendiri. Terkadang tingkah laku Beni bisa membuat orang disekitarnya merasa geram. Dengan langkah terburu-buru Beni menghampiri Satria. Ia tersenyum lebar menatap wajah Satria. Persis seperti seorang anak kecil yang kegirangan karena baru saja bertemu dengan orang yang di sukainya.

“Bang, ini.” Beni memberikan minuman yang berada di tangan kanannya.

“Terimakasih.” Satria tertawa masam menerima pemberian Beni. Ia kehabisan kata dalam menghadapi juniornya yang satu ini. Karena orang yang berada di hadapannya saat ini tidak pantas di sebut orang dewasa. Tapi bocah. Bocah!

“Habis ini kita kemana lagi, Bang?”

Begitu mendengar pertanyaan itu, Satria mengurungkan niatnya untuk menikmati minuman dingin yang baru saja ia terima. Ia tidak percaya Beni akan bertanya seperti itu.

“Kemana?”

“Iya.”

“Kau tahu sekarang jam berapa?”

Beni melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Jam empat sore, Bang.”

“Oh, jam empat sore. Biasanya kalau jam segitu kita sedang apa ya?” tanya Satria sambil merapatkan giginya.

“Kerjalah, Bang!”

“Oh, kerja.” Satria masih tersenyum. “Kalau begitu kenapa kau bertanya mau kemana?! Kau kira kita punya banyak waktu luang, hah?!” Satria bukanlah orang yang sabar dalam menghadapi situasi seperti ini.

“Jangan marah, Bang. Mana tahu Abang ada rencana lain. Nanggung kalau cuma minum saja.” jawab Beni.

“Apa? Kau masih berselera untuk makan dalam kondisi seperti ini?” Satria menendang kaki kiri Beni dengan keras. Sehingga Beni melompat kesakitan. “Tegakkan badanmu!” Beni menurut. “Dalam kondisi seperti ini kita harus lebih tanggap. Baru saja jatuh korban selanjutnya. Itu semua adalah tanggungjawab kita. Dan sekarang kau malah berleha-leha seperti tidak terjadi apa-apa? Apa kau tidak punya pikiran?”

“Maaf, Bang. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” jawab Beni.

“Bagus.”

Tiba-tiba handphone Satria berbunyi. Ia melihat nama yang tertulis di layar handphone itu lalu menjawab panggilan tersebut. “Hallo.” jawabnya. “Aku tidak membentakmu. Ada apa?” tanyanya. “Kau ingin bertemu denganku? Kau sedang dimana?” wajah Satria terlihat sangat serius. “Kau tidak menonton berita?” tanyanya lagi. “Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya. Sebaiknya kau membeli televisi baru. Agar kau tahu apa yang terjadi pada dunia ini.” ucapnya. “Bukan hal yang serius. Oh iya, kebetulan Iren mengundangmu untuk makan malam di rumah. Bagaimana kalau kita bertemu di rumahku saja malam ini? Ada hal yang ingin kusampaikan juga.” ia menunggu jawaban. “Kenapa sekarang kau yang jual mahal? Tadi kau bilang ingin bertemu denganku malam ini?” ia mulai merasa kesal. “Kau mau atau tidak?” ucapnya lagi. “Aku tidak marah. Aku hanya sedikit merasa kesal karena menghadapi Beni yang bertingkah seperti anak kecil.” matanya melirik tajam ke arah Beni. Beni menunduk. “Sudahlah! Tidak usah membahas Beni. Sampai jumpa nanti malam kalau begitu.” setelah orang yang di seberang sana membalas salamnya, Satria langsung mengakhiri panggilan dan memasukkan handphone-nya kembali ke dalam saku jaket.

“Siapa Bang?” tanya Beni.

“Bima.” jawab Satria singkat.

“Aku tidak di undang juga, Bang?”

“Kau siapa?”

“Beni, Bang! Masa Abang tidak kenal?” ia merengek.

“Kau mengenal istriku?”

Lihat selengkapnya