“Sayang tolong susun yang rapi, ya.” Iren berteriak dari arah dapur. Ia sedang sibuk menyiapkan minuman untuk pelengkap makan malam yang telah disiapkannya.
“Iya…. Iya….” Satria menjawab dengan nada malas.
“Kenapa tidak semangat begitu? Nanti kalau tamunya kabur gimana?” Iren datang besama minuman yang telah ia siapkan di sebuah teko kaca cantik. Lalu ia pergi lagi ke dapur untuk mengambil gelas.
“Biarkan saja dia kabur.” Satria memasang wajah cemberut.
“Jangan cemberut begitu. Senyum, dong!” ia menarik ke dua sudut bibir Satria untuk membentuk senyuman di wajah suaminya itu. “Giginya mana?” Satria menurut. “Nah, gitu! Kan manis.” ia mencium pipi Satria.
“Sebelah sini?” ia menunjuk pipi satunya.
“Nanti. Kalau kau sudah selesai cuci piring.” balas Iren manja sambil berjalan kembali menuju dapur. “Kau sudah menelepon Bima? Dia sudah sampai dimana?”
“Dia sedang di jalan menuju kemari. Tidak tahu di jalan mana.” Satria mengangkat bahunya.
“Oh, begitu. Coba perhatikan sekali lagi. Apa ada yang masih kurang?”
“Sudah. Sudah semua.” Satria menjawab tanpa melihat makanan di atas meja.
“Kau yakin?” Iren sudah berada di sampingnya. Ia memerhatikan meja makan dengan sangat hati-hati sembari menyebutkannya satu per satu. “Buah! Buahnya mana?” Iren berlari ke dapur.
“Ha? Sebenarnya tamu kita siapa? Presiden?” tanya Satria.
“Presiden apa?” Iren berteriak dari arah dapur.
“Kenapa kau mempersiapkannya sangat spesial? Aku cemburu!”
Iren membawa keranjang buah yang telah ia siapkan dengan sangat cepat. “Cemburu apanya? Padahal kau lebih tampan dari Bima.”
Mendengar perkataan Iren, wajah Satria berubah cerah secerah mentari pagi. Ia tersenyum manja. Matanya berbinar-binar seperti mata anak kecil saat mendapatkan mainan yang mereka idam-idamkan. “Benarkah?”
“Tentu saja. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku memilihmu?” Iren membalas senyum Satria.
Satria menarik tubuh Iren ke pelukannya. Ia mencium kening istrinya itu dengan mesra. Membelai rambutnya dan terus memeluknya erat. Kisah cinta mereka tidak jauh berbeda dengan cerita cinta yang ada di televisi. Awal mula mereka bertemu sekitar dua tahun yang lalu di kantor polisi tempat Satria bekerja. Saat itu Iren datang bersama temannya. Ia ingin melaporkan bahwa dompetnya telah hilang, entah dimana. Saat itu Satria masih belum bergabung dengan tim satuan khusus penyelidik kekerasan dan pembunuhan. Ia masih berada pada jabatan yang sangat rendah, sehingga hanya mengurus laporan yang berada pada level rendah pula. Seperti pencurian, perampokan, pemerasan dan lain-lain.
*****
Oktober, 2018
Ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia jatuh cinta pada paras sederhana yang dimiliki wanita bertubuh tidak terlalu tinggi namun juga tidak terlalu pendek itu. Wanita tersebut bernama Iren. Sorot matanya membuat dunia Satria tenggelam seketika. Suaranya bagai alunan musik syahdu. Baru pertama kali ia merasakan hal seperti itu. Bahkan mata Satria tidak bisa berhenti mengikuti gerak gerik tubuh Iren.
“Pak, apa kau mendengarkanku?” Iren melambai-lambaikan satu tangannya di depan wajah Satria yang sedang tersenyum bodoh menatapnya.
“Ya?” ia masih tersenyum saat menjawab pertanyaan Iren.
“Kau baik-baik saja?” tanya Iren sedikit khawatir.
“Ya.” jawabnya lagi.
“Bagaimana ini? Apa kita telah salah datang kemari? Polisi itu kelihatannya tidak waras.” temannya berbisik di telinga Iren.
“Pak!” Iren memukul meja kerja Satria.
“Ya! Ada apa?” Satria bangkit dari kursinya. Iren telah berhasil mengembalikannya ke dunia nyata.
“Bagaimana dengan laporan kami?” tanya Iren sedikit kesal. Matanya menatap sangat tajam mata Satria. Ia seperti sedang menembakkan cahaya laser pada lawan bicaranya itu. Terlihat sangat jelas bahwa ia sedang berusaha menahan amarah. Tetapi anehnya Satria merasakan hal lain. Satria merasa saat wanita itu marah, ia terlihat sangat seksi dan begitu menggemaskan. Pikiran Satria kembali melayang.
“Kau lihat? Dia tidak waras!” bisik temannya lagi. “Apa kita pergi saja?”
“Apa kau gila! Dompetku bagaimana? Lupakan dompet! Bagaimana dengan barang berharga yang ada di dalam dompetku? Kartu Tanda Pengenal, SIM, ATM dan lain-lain. Apa kau pikir itu barang yang tidak berharga? Itu lebih berharga dari pada dompetnya!” keluh Iren.
“Ada yang bisa saya bantu?” suara itu mengalihkan perhatian mereka berdua.
“Saya ingin melaporkan bahwa saya kehilangan dompet.”
“Kalau begitu silakan duduk.” petugas itu mempersilakan mereka untuk duduk di depan meja kerjanya. Meja kerja miliknya tepat berada di sebelah meja kerja polisi yang ‘tidak waras tadi’. Petugas itu memegang pundak temannya, lalu memberikan aba-aba kepadanya agar ia duduk. Ia menurut. “Dimana anda kehilangan dompet?” tanya petugas itu kepada pelapor.
“Saya tidak begitu yakin. Sepertinya saya kehilangan di jalan. Mungkin saya telah menjatuhkannya di suatu tempat.” jawab Iren.
“Apa kau bisa mengingatnya dengan jelas?” tanya petugas itu lagi.
“Saya tidak ingat dompet itu jatuh dimana. Yang saya ingat, hari itu saya pergi ke perpustakaan kota, taman, tempat makan, kampus dan rumah.”
Petugas itu memijat-mijat bibirnya yang kering. Wajahnya menunjukkan bahwa saat ini ia sedang berpikir. Atau menerawang segala kemungkinan yang bisa dijadikan petunjuk. “Kapan terakhir kau melihat dompetmu?”
“Saat aku sedang di kampus. Aku melihat dompet itu terakhir kali saat aku sedang berada di kampus. Pada saat itu aku membeli makanan yang ada di pinggir jalan. Tapi ingatanku sangat jelas. Aku telah memasukkan dompet itu kembali ke dalam tas.” yakin Iren.
“Apa kau menyebutkan tempat-tempat tadi secara berurutan?”
“Tentu saja!”
“Lalu pada hari itu, kau bepergian menaiki kendaraan apa?” tanya petugas itu lagi.
“Aku menaiki sepeda motorku.”
“Apa kau memakai tas ini saat hari tersebut?” petugas menunjuk tas ransel yang ia kenakan.
“Tidak, aku memakai tas lain pada hari itu.” jawab Iren lagi.
“Apa kau sudah memeriksa tas yang kau kenakan pada hari itu?”
“Sudah. Aku sudah membongkarnya. Tetapi tidak ada.” jawabnya dengan putus asa.
“Apa kau telah memeriksa rumahmu dengan teliti?”
“Rumahku?”
“Menurutku kau tidak menjatuhkannya di jalan. Sepertinya kau perlu memeriksa rumahmu dengan teliti. Jangan hanya membongkar tas yang kau kenakan hari itu saja. Itu tidak akan banyak membantu.” Ia mengambil kertas memo. “ini nomorku.” Ia menulis lalu memberikannya kepada Iren. “Jika dompetmu benar-benar hilang, kau bisa meneleponku atau datang lagi ke kantor ini.” jelasnya.
“Apa kau tidak percaya kepadaku?”
“Aku bukannya tidak percaya. Tapi menurutku bertindak teliti adalah jawaban yang tepat untuk masalahmu ini.”
Wajah Iren memerah. Ia malu setengah mati! Entah kenapa tiba-tiba ia malah meragukan dirinya sendiri. Petugas itu telah berhasil meracun pikirannya. Satu-satunya yang ia pikirkan saat ini adalah ia ingin cepat keluar dari tempat itu. “Hm…. Baiklah kalau begitu. Apapun yang terjadi aku akan menghubungimu.” ia melirik kertas yang diberikan petugas tadi. “Nama anda…. Ehem….” ia merasa sangat sulit untuk mengeluarkan suara. “Nama anda siapa? Kau tidak menuliskan namamu.”
“Oh iya.” ia mengambil kertas itu kembali dan menulis. “Nama saya Bima.” petugas itu kembali memberikan kertas tersebut setelah ia selesai menulis namanya.
Iren menggaruk lehernya yang tidak gatal lalu kemudian meraih kertas yang diberikan oleh petugas. “Baiklah, kalau begitu saya akan pulang dan memeriksa rumah saya dengan teliti. Terimakasih.” ia dan temannya beranjak pergi dari kantor.
Setelah ke dua wanita itu pergi, Bima memerhatikan temannya yang masih menatap pintu ruangan dengan tatapan yang sangat aneh. Ia tidak menyangka temannya bertindak seperti itu hanya karena wanita yang baru saja di temuinya. Semasa ia mengenal Satria, ia tidak pernah melihat temannya berprilaku seperti ini.