“Hei! Amankan area ini! Jangan biarkan orang yang tidak berkepentingan masuk ke tempat ini!” teriak Pak Tono pada seorang petugas.
“Siap, Pak!” jawab petugas tersebut.
Dengan sigap petugas itu langsung mengamankan lokasi kejadian. Beberapa penduduk sudah berdatangan dan membuat kerusuhan hanya untuk memotret dan melihat kejadian secara langsung. Petugas itu lalu meminta bantuan kepada beberapa petugas lain untuk membantunya dalam melakukan pengamanan lokasi. Mereka memasang garis polisi agar mempermudah pelaksanaan penyelidikan. Begitu lokasi diamankan, para penduduk tidak dapat melihat lokasi kejadian dari jarak dekat. Mereka hanya dapat melihat dari jarak lima meter saja. Walaupun sudah dilakukan hal demikian, para penduduk tiada hentinya berdatangan ke lokasi kejadian.
“Beni! Apa kau sudah menelepon Satria?” tanya Pak Tono.
“Sudah, Pak. Ia sedang menuju kemari bersama dengan Bang Bima.” jawab Beni.
“Bima?”
“Iya, Pak.”
“Kalau begitu, kau telepon dia lagi. Katakan padanya bahwa ia tidak boleh berada di tempat ini jika membawa Bima.” jelas Pak Tono.
“Kenapa begitu, Pak?” tanya Beni heran.
Pak Tono menghela napas panjang. Ke dua tangannya ia letakkan di pinggang. Kepalanya menengadah dan melihat langit. “Kau mau aku yang meneleponnya atau kau yang meneleponnya?” tanya Pak Tono tegas.
“Siap! Saya saja, Pak!” Beni beranjak pergi menjauhi Pak Tono agar lebih leluasa untuk berbicara dengan Satria. Ia akan merasa sangat terbebani jika harus berbicara di depan Pak Tono, atasannya itu.
Suasana hati Pak Tono akan berubah menjadi buruk jika ada kasus pembunuhan. Terlihat sangat jelas bahwa ia sangat membenci kasus seperti ini. Dan yang lebih mengherankan lagi, ia malah bersedia di tugaskan menjadi ketua tim dari kasus untuk kekerasan dan pembunuhan. Mungkin ada kisah dibalik sikapnya itu. Tidak ada yang tahu.
Pak Tono dan Pak Brata pergi memasuki area perkebunan. Di sana mereka bertemu dengan istri serta anak laki-laki korban yang merupakan saksi pertama untuk penemuan mayat. Istri dan anak korban sudah di amankan oleh petugas dan di bawa menjauh dari tubuh korban agar tidak mempersulit keadaan. Kehadiran anggota keluarga dalam penyelidikan hanya akan mempersulit proses itu sendiri. Anggota keluarga cenderung lebih emosional dalam menyikapi hal tersebut. Wajar saja. Karena mereka tetaplah keluarga dan memiliki ikatan emosional yang sangat besar. Maka dari itu biasanya anggota keluarga tidak di perbolehkan untuk berada di sekitar lokasi kejadian. Namun saat ini berbeda. Anggota keluarganyalah yang menemukan korban pertama kali. Jadi mereka diminta untuk tinggal karena berstatus sebagai saksi kasus ini.
“Pak, tolong suami saya. Tolong bawa suami saya ke rumah sakit sekarang juga.” seorang Ibu memakai sweter rajut berwarna cokelat menghampiri Pak Tono dan Pak Brata yang baru saja memasuki lokasi kejadian. “Tolong suami saya, Pak. Kenapa kalian membiarkannya saja terbaring di sana? Kenapa kalian tidak menolongnya dan membawanya segera ke rumah sakit? Apa kalian berniat membiarkan suami saya mati begitu saja?” Ibu itu menangis tersedu-sedu sambil mencengkram kerah jaket Pak Tono.
Pak Tono hanya diam melihat Ibu yang sedang menangis di hadapannya. Ia tidak melawan sama sekali perkataan Ibu itu. Ia paham bagaimana perasaan Ibu tersebut saat ini. Ia tahu, tidak ada satu katapun di dunia ini yang mampu menghiburnya kecuali, suaminya baik-baik saja. Tapi bukankah itu adalah ucapan kebohongan yang paling jahat? Bagaimana bisa sesama manusia berbohong tentang hidup dan mati seseorang. Jika ada, ia adalah orang yang paling kejam di dunia ini.
“Bu, sudah Bu. Sudah.” Seorang lelaki muda mencoba melepaskan cengkraman Ibu tersebut. Pipinya basah dan matanya sembab. Sepertinya sedari tadi ia sudah menangis. Matanya terlihat sangat merah. Bahkan suaranya terdengar lebih berat dan bergetar.
“Apanya yang sudah?! Ha?!!” bentak Ibu itu. Ia menghempaskan cengkramannya. “Orang-orang ini hanya membiarkan bapakmu terbaring di sana. Mereka hanya melihat-lihat saja. Apa kau pikir bapakmu itu tontonan?! Bapakmu itu butuh bantuan. Bukan menjadi bahan tontonan. Untuk apa kau menelepon polisi kalau mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan bapakmu?!” Ibu itu menangis sejadi-jadinya sambil memukul anaknya. Ia frustasi.
Putranya hanya diam. Ia tidak melawan sama sekali. Ia sadar saat ini cara terbaik untuk menenangkan ibunya adalah dengan bersikap sabar. Ibunya sedang berada dalam kondisi psikis yang tidak baik. Hatinya pasti hancur dengan kepergian suaminya secara tiba-tiba seperti ini. Ditambah lagi orang yang pertama kali menemukan suaminya dalam keadaan seperti itu adalah diriya sendiri. Hati siapa yang tidak hancur, jika menemukan suaminya dalam kondisi yang sangat mengenaskan seperti itu.
“Mohon maaf kami tidak bisa berbuat apa-apa.” ucap Pak Tono akhirnya.
Mendengar perkataan Pak Tono sang Ibu semakin menangis tersedu-sedu. Dari semua kata yang seharusnya dapat menenangkan, orang itu lebih memilih meminta maaf dan berkata jujur. Ia berbeda dengan orang lain. Ia bahkan tidak mengatakan, ia akan berusaha menangkap pelakunya. Ia juga tidak membual dengan mengucapkan akan segera menghukum pelaku tersebut sebagaimana mestinya. Tidak. Ia hanya meminta maaf dan berkata jujur. Itu sudah cukup.
Begitu juga dengan putranya. Ia hanya memeluk ibunya dengan erat. Tidak mengucapkan satu kata apa pun. Ia hanya bertahan di sisi sang Ibu dan mencoba untuk menenangkan hati ibunya.
“Tolong bawa ibumu pulang. Kami akan mengurus segalanya di sini.” ucap Pak Brata kepada lelaki tersebut.
“Ayo, Bu.”
Sang Ibu masih menangis tersedu saat meninggalkan kebun, ia menuruti permintaan anaknya. Langkah kaki mereka tampak begitu lemah. Pak Tono dan Pak Brata menatap kepergian mereka dengan tatapan keprihatinan yang sangat dalam. Walau bagaimanapun mereka juga adalah korban. Mereka adalah korban dari kehilangan seseorang yang begitu berharga. Tentu saja kehidupan mereka akan berubah setelah ini. Dan sama saja dengan memulai lembaran baru yang entah bagaimana akhirnya. Tidak ada yang menjamin kebahagiaan Atau pun kesedihan. Mereka takut. Segalanya tidak akan menjadi lengkap jika sudah melalui fase ini.
“Tolong kau perintahkan seseorang untuk mengantarkan mereka pulang. Jangan sampai ada reporter yang mengikuti mereka. Dan tolong jelaskan juga tentang penyelidikan ini dan kapan jenazah akan di pulangkan. Mereka pasti ingin segera memakamkannya dengan layak.” ucap Pak Tono.
“Baiklah. Aku sendiri yang akan melakukannya.” Pak Brata memukul pelan pundak temannya itu dan ia pun pergi menyusul ke dua orang tadi.
Saat ini Pak Tono merasa beruntung karena memiliki seorang teman seperti Pak Brata yang selalu peka dalam setiap keadaan. Mereka berdua sudah berteman cukup lama. Sehingga kata, tidak lagi begitu berarti. Mereka bahkan bisa saling memahami hanya dengan bahasa tubuh mereka masing-masing. Atau jika kau perhatikan baik-baik mereka juga bisa saling berkomunikasi melalui hati dan pikiran. Seperti telepati, barangkali.
“Beni, bagaimana situasinya?” tanya Pak Tono.
“Mereka sedang memeriksa tubuh korban." jelas Beni. "Ini, Pak.” Beni memberikan sarung tangan kepada Pak Tono.
Sarung tangan itu sangat penting di pakai pada saat penyelidikan lokasi kejadian. Sehingga tidak akan meninggalkan jejak yang tidak perlu. Lokasi juga diamankan sesuai dengan protokol penyelidikan. Seperti tidak boleh merusak lokasi dengan memindahkan barang-barang yang ada di tempat kejadian perkara. Bahkan kerikil kecil pun harus tetap berada di tempatnya semula. Petugas penyelidik memeriksa seluruh lokasi dengan harapan akan menemukan sidik jari dari tersangka yang mungkin saja bisa dijadikan sebagai barang bukti.
“Apakah tubuh korban juga sudah diperiksa?”
“Sudah, Pak. Dari hasil pemeriksaan awal, tidak ditemukan memar atau luka di tubuh korban. Sepertinya korban tidak menerima kekerasan sama sekali. Tapi….” Beni menghentikan kalimatnya.
“Tapi?”