Hampir satu bulan telah berlalu sejak kembalinya Bima bertugas. Hari demi hari dan waktu demi waktu dihabiskan Bima untuk terus menyelidiki kasus Putri Amelia. Ia telah bertekad untuk menemukan pembunuh itu sesegera mungkin, sebelum jatuh korban selanjutnya. Namun sayangnya penyelidikan Bima selalu berakhir dengan jalan buntu yang entah kemana arahnya. Pada awal penyelidikan ini, ia tidak tidur selama berhari-hari hanya untuk menelusuri jejak korban sebelum sampai ke gudang gas. Lagi dan lagi, ia tidak menemukan bukti yang dapat membawanya kepada pembunuh itu.
“Bagaimana? Apakah kau menemukan sesuatu?” tanya Pak Brata.
“Tidak. Ini benar-benar sangat membingungkan. Aku telah menyelidiki seluruhnya dan tidak menemukan apa pun.” jelas Bima.
“Apa saja yang sudah kau lakukan?”
“Pertama-tama aku menyelidiki kehidupan pribadi Putri. Aku datang ke tempat kos dan bertanya kepada teman sekamarnya, bagaimana kehidupan sehari-hari putri dengannya. Itu adalah penyelidikan biasa. Aku bahkan bertanya apakah ada kemungkinan Putri memiliki musuh. Dan apakah kau tahu apa yang di katakana oleh temannya itu? Itu semua tidak mungkin! Itu lah yang dikatakannya.”
“Kenapa begitu?”
“Menurutnya itu semua tidak mungkin, karena Putri Amelia adalah orang yang sangat baik. Ia tidak pernah memiliki musuh. Ia adalah anak periang yang akan membantu siapa saja jika mereka dalam kesusahan.”
“Bagaimana dengan teman kerjanya?”
“Hasilnya juga sama. Aku datang ke tempat ia bekerja dan bertanya ke sana-sini mengenai Putri. Namun mereka menjawab hal yang sama. Putri tidak mungkin memiliki musuh. Ia adalah anak yang baik, penurut dan pekerja keras. Mereka bahkan terdengar seperti setengah memujanya!”
“Ha?”
“Bapak tidak percaya? Aku bahkan hampir gila mendengarnya. Manusia adalah tempatnya salah. Bagaimana mungkin seorang manusia tidak pernah memiliki musuh?”
“Kau harus memperbaiki pola berpikirmu terlebih dahulu.”
“Maksud Bapak?” Bima tidak mengerti dengan ucapan Pak Brata.
“Aku setuju dengan perkataanmu, tentang manusia adalah tempatnya salah. Tetapi aku tidak setuju dengan kalimat selanjutnya.” ucap Pak Brata.
“Apa? Memiliki musuh?”
“Hm.”
“Bagaimana….”
“Coba dengarkan ini. Manusia adalah tempatnya salah. Namun kesalahan manusia tidak selamanya fatal dan memancing permusuhan. Apa kau paham sampai di sini?” Pak Brata menjelaskannya dengan sangat perlahan.
Bima hanya diam. Ia terlihat sedang berpikir dan mencoba untuk mencerna perkataan Pak Brata di otaknya yang hampir penuh.
Pak Brata tersenyum melihat Bima. “Kenapa kau hanya fokus dengan kesalahan yang pernah ia lakukan? Atau dengan musuh yang ia punya? Apakah selama kau bekerja sebagai polisi, semua penjahat yang kita tangkap adalah orang yang bermusuhan dengan korbannya?”
Bima menggelengkan kepalanya perlahan.
“Tidak, kan? Fokuslah kepada kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja bisa terjadi. Dengan begitu, jalanmu untuk menemukan pembunuh itu akan terbuka lebar. Bukannya malah sibuk mencari dosa orang yang telah mati. Itu adalah sikap yang tidak baik.” Pak Brata menepuk pundak Bima dan pergi ke luar ruangan.
Mata Bima tidak berhenti menatap kepergian Pak Brata. Kata-katanya terdengar seperti tamparan keras bagi dirinya sendiri. Ia pernah mendengar Satria menceritakan tentang sikap bijak Pak Brata. Dan saat mendengarnya, ia hanya tertawa dan menganggap aneh diri Satria. Ia sampai mengatakan semua itu hanya kebetulan saja. Karena di mata mereka, Pak Brata adalah orang yang sangat tidak mau tahu dengan urusan orang lain dan orang yang tidak pernah serius dalam membicarakan sesuatu. Namun kali ini Tuhan sedang marah. Karena Bima telah merendahkan orang yang lebih tua darinya. Ia merasa Tuhan sedang menegurnya saat ini. Itu lah yang dipikirkannya.
“Kau pasti sekarang sedang berpikir, kalau kau kena batunya. Iya, kan?”
Suara itu mengagetkan dirinya. Jantungnya serasa akan lepas begitu saja. Tubuhnya bergetar dan dengan gerakan cepat berbalik ke arah datangnya suara. Ia menatap wajah itu dengan tatapan heran. Ingin rasanya kata makian keluar dari mulutnya saat itu juga, namun diurungkannya. Jantungnya belum berfungsi dengan normal kembali. Ia sedang mencoba menstabilkannya terlebih dahulu.
“Sejak kapan kau ada di situ?!”
“Sejak tadi.”
“Bagaimana? Kapan?!”
“Lewat pintu! Sebelum kau berbicara dengan Pak Brata!”
“Kenapa kau berteriak?!”
“Kau juga kenapa berteriak?!”
“Aku terkejut!”
“Aku juga terkejut!”
Bima berhenti. Napasnya sedikit terengah-engah. Entah kenapa setiap kali bertemu dengan Satria, ada saja hal aneh yang terjadi. Dan berakhir dengan ‘cek-cok’ anak kecil.
Satria duduk di depan meja kerjanya. Meja kerja mereka bersebelahan, sehingga memudahkan mereka untuk saling berkomunikasi. Senyum Satria mengembang seperti kue bolu yang diberi banyak sekali pengembang. Over dosis!
“Kenapa kau tersenyum seperti itu?” tanya Bima.
“Tidak. Ini untukmu. Agar otakmu dapat berpikir kembali dengan normal.” Satria memberikan sebuah cangkir yang berisi minuman.
“Apa ini?”
“Air putih.”
“Tidak ada rasanya.”
“Yang bilang air putih ada rasanya siapa?”
“Aku tidak mau.” ia mendorong cangkir pemberian Satria.
“Air ini bagus untuk otakmu. Agar ia bisa kembali berpikir dengan jernih. Persis seperti air ini. Air ini juga lebih bagus sepuluh kali lipat. Percayalah.” Satria mendorongnya kembali ke arah Bima.
Awalnya Bima sedikit ragu dengan perkataan Satria. Namun Satria merasa tidak tahan dan meraih tangan Bima, lalu meletakkannya cangkir itu di telapak tangan Bima. Bima hanya diam dan menurut.
“Sejak kapan kau ada di sini?” tanya Bima setelah selesai menegak habis air putih yang diberikan Satria tadi.
“Bukankah tadi aku sudah bilang padamu?”
“Iya. Kenapa aku bisa tidak tahu?”