Kepalanya terasa sangat pusing. Ia mencoba membuka mata dengan perlahan. Dan saat ia sudah kembali memiliki kesadarannya, ia mendapati dirinya sedang berada di tempat asing. Tempat itu seperti gudang. Ia terbatuk begitu kesadarannya kembali sepenuhnya. Banyak sekali debu di tempat ia berada. Entah sudah berapa lama tempat itu tidak dibersihkan oleh pemiliknya. Pencahayaannya juga sedikit redup. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, namun sayangnya ia malah mendapati tangan dan kakinya sudah terikat erat oleh tali. Ia hanya bisa duduk mematung dikursi seperti seorang tawanan yang akan mati.
Ia menebarkan pandangannya untuk melihat sekeliling. Berharap akan menemukan seseorang yang dapat dimintainya tolong. Ada beberapa benda aneh di sana. Beberapa toples kaca besar berisi air dan di beri penerang berwarna kuning. Cahaya yang keluar dari lampu itu menjadi warna kuning keemasan. Ada benda aneh di dalamnya. Benda itu seperti melayang di dalam toples. Entah bagaimana caranya bisa seperti itu. Ia memerhatikannya lekat-lekat. Benda itu sepertinya tidak asing.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka kemudian menutup dari arah atas. Dan disusul oleh suara langkah kaki menuruni tangga. Ia melihat ke arah datangnya suara. Matanya menatap kaki yang sedang menuruni tangga dengan perlahan. Langkah itu tidak terburu-buru. Beberapa barang yang menutupi tangga membuat sosok itu tidak terlihat dengan jelas. Hingga akhirnya sosok itu telah berdiri di depannya. Iren menatapnya dengan tatapan lemah. Kepalanya masih terasa sangat pusing.
Sosok yang berdiri di depannya saat ini adalah laki-laki yang ia temui terakhir kali saat ia sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Lelaki itu menatapnya tanpa ekspresi. Ia bahkan tidak berkata apa pun kepada Iren.
“Kau mau apa?” dengan suara lemah ia bertanya kepada lelaki tersebut. Namun orang yang ditanya hanya diam saja menatapnya. “Kau siapa? Apa yang kau mau dariku?”
Lelaki itu mendekati Iren. Tangan kanannya membelai wajah Iren dan merapikan rambutnya. Iren tidak memberikan komentar apa pun. Ia menunggu lelaki itu untuk menjawab pertanyaanya. Tetapi semua itu sia-sia. Ia tidak memedulikan hal tersebut. Ia mendekati meja yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Hei! Apa aku tidak mendengarkanku? Lepaskan aku!”
Iren mencoba memberontak. Namun percuma saja. Tubuhnya terlalu lemah dan tidak berdaya untuk bisa lepas dari ikatan tali yang sangat erat itu.
“Lepaskan aku! Lepaskan aku!”
Iren terus berteriak. Namun lelaki itu tetap bergeming. Ia membuka tas hitam yang ada di atas meja. Ia mengeluarkan beberapa pisau dari berbagai ukuran. Mengasahnya dengan sangat hati-hati. Iren merasakan dirinya saat ini sedang berada dalam bahaya. Ada yang aneh dengan lelaki itu. Mereka sama sekali tidak saling mengenal. Ia merasa tidak pernah bertemu dengannya. Lalu mengapa lelaki itu melakukan hal ini pada dirinya? Pertanyaan itu seperti boomerang di kepalanya.
“Apa kita saling mengenal? Apa yang kau mau dariku?” lelaki itu tetap diam. “Tolong lepaskan aku. Jangan….” ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Air matanya terjatuh begitu saja. “Jika aku tidak ada, suamiku akan sedih nantinya. Aku tidak mau dia menderita karenaku.”
Mendengar perkataan Iren, lelaki itu malah mengeluarkan suara tawa yang sedikit ditahan. Bahunya terlihat berguncang dari belakang. Iren menatapnya dengan heran.
“Kenapa kau tertawa? Apa yang lucu? Apa kau pikir saat ini aku sedang bercanda?!” lelaki itu kembali diam dan melanjutkan aktivitasnya mengasah pisau. “Jawab aku! Kenapa kau diam saja? Apa kau tidak bisa berbicara? Ha!”
Lelaki itu tiba-tiba berbalik dan mendekati Iren dengan langkah cepat. Tangan kanannya meraih kedua pipi Iren dan mencengkramnya dengan erat. Iren berhenti berteriak dan menatap wajah lelaki itu. Lelaki itu memiliki tatapan sangat mengerikan. Bola matanya yang hitam membuat ia tenggelam saat menatapnya. Senyumnya tidak memancarkan keramahan sama sekali. Itu adalah senyum seseorang dengan naluri membunuh yang begitu besar. Seketika bulu kudu Iren berdiri. Ia sadar sepenuhnya bahwa saat ini ia sedang dalam bahaya. Jika ia bertindak terlalu gegabah, ia akan mati konyol dan menghilang seperti bui. Namun jika ia diam, tidak ada yang akan bisa menjamin keselamatannya.
Setelah Iren tenang, lelaki itu melepaskan cengkramannya. Ia kembali berbalik dan melanjutkan aktivitasnya tadi. Iren menundukkan wajahnya. Air matanya mengalir begitu deras. Kini ia menangis dalam diam. Ia tidak berani mengeluarkan suaranya. Ia terlalu takut untuk melakukan itu. Di dalam hatinya, ia terus memanggil nama Satria dengan sangat kencang. Berharap suaminya itu akan mendengarnya dan langsung datang untuk menolongnya. Tapi percuma saja, itu hanyalah harapan kosong dari orang yang tidak memiliki harapan lagi untuk hidup.