Beberapa petugas sedang membuat garis polisi. Lokasi itu berada cukup jauh dari pemukiman penduduk. Sehingga tidak ada masyarakat yang datang hanya untuk sekedar menonton dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Namun police line tersebut masih tetap dibutuhkan. Karena banyak wartawan yang sudah berkumpul dan meliput tempat itu. Akhir-akhir ini, para wartawan semakin menggila! Mereka bahkan rela melakukan apa pun agar dapat meliput dan mendapatkan informasi secara terperinci. Diantara mereka juga ada yang nekat berada di kantor polisi selama dua puluh empat jam agar tidak tertinggal informasi dan untuk mendapat liputan pertama kali. Sungguh obsesi yang sangat mengerikan.
Pak Tono dan Pak Brata terlihat sedang sibuk memerik jenazah korban. Korban di temukan di bawah pohon dalam posisi tubuh terduduk dan menghadap danau. Korban ditemukan pagi hari oleh nelayan yang akan mencari ikan di danau tersebut. Terdapat memar di sekitar leher korban, seperti habis di cekik oleh seseorang. Pakaiannya tetap utuh, lengkap dengan sweeter putih yang ia kenakan. Ia terlihat seperti putri tidur yang tertidur pulas.
“Bagaimana dengan Satria? Apakah dia sudah tahu?” tanya Pak Tono.
“Aku sudah meminta kepada Bima untuk memberitahukannya secara perlahan. Aku tidak yakin dengan kita membiarkannya datang ke tempat ini adalah keputusan yang benar atau tidak. Sepertinya dia tidak akan sanggup menerima semua ini.” jawab Pak Brata.
“Kita perlu untuk mengkonfirmasi korban. Karena korban tidak memiliki tanda pengenal apa pun saat ini.” jelas Pak Tono. “Perintahkan tim penyelidik untuk segera menyelesaikan tugasnya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti setelah Satria sampai.”
Mendengar perintah Pak Tono, Pak Brata langsung memerintahkan tim untuk segera menyelesaikan penyelidikan. Berbagai macam penyelidikan sedang dilakukan. Mulai dari memeriksa tempat kejadian, pemeriksaan korban dan hal-hal yang bisa dijadikan bukti. Mereka semua bertindak sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing. Penyelidikan tersebut di pantau langsung oleh Pak Brata. Hal tersebut sesuai dengan perintah Pak Tono sebagai kepala tim penyelidikan kasus pembunuhan berantai.
*****
Satria baru saja sampai di kantor. Ia tidak membawa kendaraan sendiri hari ini. Tubuhnya terlalu lelah untuk melakukan hal itu. Jika ia nekat membawa kendaraan sendiri, ia takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nantinya. Begitu ia sampai di depan kantor polisi, Satria sudah di sambut oleh Bima dan Beni yang sudah berada di dalam mobil polisi.
Ia menarik napas panjang. “Ada apa?”
“Ikutlah bersama kami. Aku akan menjelaskannya nanti.” jawab Bima singkat.
Satria menurut dan duduk di kursi belakang penumpang. Sementara Bima duduk di kursi penumpang berada di samping supir. Kalian bisa menebak sendiri siapa supirnya. Ya! Beni lah yang menjadi supirnya.
Selama diperjalanan Satria banyak diam. Ia hanya melihat ke luar jendela dan sesekali memeriksa handphone-nya. Ia sama sekali tidak bertanya mereka akan pergi kemana dan akan melakukan apa. Ia tidak peduli sama sekali. Bima dan Beni pun beberapa kali saling melirik dan berbicara dengan bahasa isyarat. Sungguh situasi yang tidak mengenakkan.
“Sat….” Bima mencoba berbicara.
“Bim, apa benar Iren tidak ada meneleponmu? Dia tidak biasanya seperti ini. Ia juga tidak membawa handphone-nya. Aku tidak tahu lagi harus mencarinya kemana.” belum sempat Bima menyelesaikan kalimatnya, Satria sudah membanjirinya dengan berbagai kata.
“Tidak. Ia tidak ada menghubungiku.” jawab Bima singkat.
“Apa aku sudah melakukan sesuatu yang membuat ia marah? Seingatku kemarin kami baik-baik saja. Bahkan kami sedang mesra-mesranya.”
Bima tidak menjawab.
“Aku benar-benar khawatir dengannya. Kau tahu, tadi pagi aku sempat menghubungi seluruh rumah sakit yang ada di kota ini untuk memastikan tidak ada kecelakaan yang terjadi padanya. Bahkan aku memastikannya sampai dua kali dan menanyakan, apakah ada korban kecelakaan terhadap seorang wanita yang tidak memiliki identitas. Aku benar-benar sudah gila!” kisah Satria.
“Jika…. Jika benar terjadi sesuatu pada Iren bagaimana?”
“Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak.” ia menjawab pertanyaan Bima dengan tatapan dingin serta nada bicara yang sangat tajam. Bahkan Bima tidak berani untuk melihat ke belakang.
“Maaf.” jawab Bima.
Bima dan Beni kembali saling lirik. Mereka tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada Satria, jika ia mengetahui berita tentang istrinya. Saat ini mereka bertiga kembali diam dan tidak berkomunikasi lagi. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Satria sibuk memikirkan keadaan Iren dan segala kemungkinan dari dirinya yang mungkin saja telah membuat istrinya itu marah. Satria hampir gila memikirkan segala kemungkinan itu. Karena beribu kali ia berpikir, ia tidak dapat memikirkan kemungkinan itu sama sekali.
Sementara Bima, sibuk dengan memikirkan cara untuk menyampaikan berita duka ini kepada Satria. Ia tahu betul bagaimana perasaan temannya itu kepada Iren. Bagi Satria, Iren adalah segalanya di dunia ini. Iren adalah dunianya yang sangat indah. Ia begitu mencintai Iren dengan segenap jiwa dan raganya. Jika saja ia tahu kejadian apa yang telah menimpa Iren, ia pasti bisa gila! Ia tidak ingin hidup temannya itu hancur berkeping-keping. Pikirannya terus berputar dan mencari celah agar Satria dapat mendengarkannya dan menerima segalanya dengan lapang dada. Walau saat Bima memikirkannya sekali lagi, itu semua bukan hal mudah yang dapat diterima begitu saja. Tanpa sadar, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasa frustasi terpancar jelas di raut wajahnya.
Dan Beni, ia hanya diam dan menunggu Bima untuk menyelesaikan segalanya. Ia hanya diam dan menunggu saja. Ia tidak berani untuk berbicara dengan Satria. Ia takut jika nanti ia akan salah bicara atau memancing hal lain yang tidak diinginkan. Maka dari itu sejak awal, ia menawarkan diri untuk menyetir saja. Setidaknya, hanya dengan ini yang dapat ia bantu. Jika nantinya mereka bertengkar dan situasi semakin buruk, paling tidak dirinya dapat menyelamatkan mereka dari kemungkinan terburuk.
“Kita mau kemana?” akhirnya Satria bertanya.
“Kita….” dengan suara yang sangat pelan. Hampir tidak terdengar. Bima mencoba menyampaikan.
“Ben, kita mau kemana?”
“Kita….”
“Kalian tidak sedang bermain-main sekarang, kan?” tanya Satria.
“Ha? Mana mungkin, Bang!” jawab Beni.
“Kalau begitu kita mau kemana?”
Terlihat sangat jelas bahwa suasana hati Satria sedang berada pada kondisi yang sangat buruk. Jika mereka salah berbicara, bom yang sudah ada bersama mereka pasti akan segera meledak. Tanpa permisi.
“Kita akan ke lokasi kejadian. Korban selanjutnya telah ditemukan.” jawab Bima akhirnya. Hanya itu yang dapat ia pikirkan saat ini.