Hari yang cerah saat aku bejemur baju, sudah beberapa hati juga aku tidak melihat Si Gadis. Dia bilang akan ke kota untuk mengecek usahanya yang semakin pesat dari hari ke hari, aku bersyukur mendengarnya. Usaha shabatku semkain lancar dan bagus. Aku fokus pada jemuranku sehingga Bu Suli datang mendekatiku, tatapannya sedikit lembut seolah ada sesuatu yang diinginkannya. Tapi apa? Uang sewa? Tapi udh ku bayar untuk empat buan ke depannya. Memang rumah kobtrakan ku dan rumah rumha kontrakan Si Gadis milik Bu Suli,, tapi bukkanya udah ku bayar. Si Gadis juga udah bayar karena kami bayar secara bersamaan dan itu juga momen pertemuan kami untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun pisah.
"Lagi jemur kah?," tanya Bu Suli mendekatiku dengan senyuman manis untuk menutupi sesuatu dan dibalas anggukan dariku.
"Gini, kamu ga aneh dengan temanmu? Saat dia datang ke sini, dia memancarkan sesuatu aura yang aneh. Apa kamu ga meraskaan keanehan?," tanya Ibu Suli.
"Aura apa bu? Mungkin hanya karena Si Gadis memiliki parawa jelita dan terkenal wanita independent kali, makanya banyak yang tertarik," ujarku sembari menjemur pakian.
"Tapi kenapa aneh yah? Itu Ibu Tini, masih gadis juga saat pertama kali jadi warga sibi, tapi biasa aja. Padah tubuhnya lebih bagus dari Si Gadis. Kamu ga ngerasa aneh yah?,"tanya Bu Suli yah semakin curiga.
"Eamangnya bu pikr dia pakai apa sampai ada aura?,"
"Susuk," uacpnay ceplas-ceplos dan behasil membuatku kaget setnagh mati.
"Aku yakin itu, coba dibandingkanm dengn Bu Tini dulu," ujarnya lagi yang berusaha meyakinkanku.
Memang benar, jika dpikirkan Bu Tini memeiliki badan bagus diabnding Si Gadis, namun tiak emmeiliki aura yang terpancar. Dulu lelaki banyak di sini diabndingkan sekarang yang memilih merantau ke kota demi keberlangsungan hidup, sehingga banyak lelelaki hidung belang di sini. Bu Tini selalu diatatp dengan tatapan liar oleh mereka, jkrena tubuh bukan wajah atau aura. bahkan ayahku dulu yang msih hidup, sempat menjadi salah satu lelaki belang itu. Maklum ayah seorang duuda yang tidak atahan akan hawa nafsu, tapi ku biarkan saja saat itu sehingga menje;ang kematiannya dua tahun lalu.
"Bagaimana? benarkan?," tanya Bu suli dengan nada memkasa agar kujawab iyah, namun kubalas anggukan sembari kembali fokus menjemur.