William Shakespeare pernah menulis bahwa kesombongan itu bagaikan meniup terompetnya sendiri. Ia memuji dirinya sendiri.
Pernahkah juga kita terpikirkan bahwa saat kita memuji diri kita sendiri, maka akan ada banyak blindspot di dalam pujian tersebut?
Mari kita baca Amsal 27:2. Seolah-olah penulis Amsal sedang menasehati kita bahwa sesungguhnya kita membutuhkan komunitas untuk menghasilkan pujian yang otentik.
Amsal 27:2
Biarlah orang lain memuji engkau dan bukan mulutmu, orang yang tidak kau kenal dan bukan bibirmu sendiri
Bahkan, di dalam Amsal 31:10-31, pujian seorang suami yang tulus untuk istrinya, itu mungkin yang terbaik.
Coba renungkan, ketika kita memandang salib Yesus Kristus, maka semua kehormatan yang kita capai akan terasa tawar. Kita akan kurang memperhatikan apa saja reputasi yang kita dapat dari masyarakat. Tiba-tiba pula, saya teringat dengan kata-kata salah seorang guru di SMA, "Meski satu dunia mengeritik kita, tetapi kalau Allah memuji kita, kita tidak perlu merasa rendah diri."
Hanya pujian Allah yang tidak korup. DIA cukup tepat menggambarkan situasi sebagaimana adanya. DIA juga obyektif, yang memuji berdasarkan apa yang Ia lihat. Bisakah kita melihat penerimaan Allah atas kita? Apakah kita berdiam di dalam Yesus sebagai episentrum identitas kita?
Tim Keller pernah beropini seperti ini, "Orang yang paling rendah hati akan paling banyak memberikan pujian ke sesama."
Ah, mendadak saya teringat dengan Mama yang akhirnya harus mengakhiri hidupnya.
***
Entah siapa yang menuliskan sederetan kata-kata tersebut. Greyzia cukup terkesan dengan salah satu isi dari buku catatan kecil yang tergeletak begitu saja di atas meja teras yang berada di rumah Indira, salah seorang sahabatnya. Tulisan tangannya pun bagus sekali.
Hari ini Greyzia sedang berada di rumah Indira. Ia ke sana ditemani oleh kekasihnya, Firman. Ternyata ibunya Indira tak kuasa menahan rasa sakit, sehingga harus mengakhiri nyawanya.
Selain perkara jodoh, perkara maut seringkali dikatakan rahasia ilahi. Tak ada seorang manusia pun yang tahu kapan dirinya dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Meskipun ada beberapa orang yang bisa melihat masa depan, entah melalui media apa pun, tetap saja lebih sering ditemukan kekeliruan terkait isu kematian.
Itulah yang dirasakan Indira. Hatinya remuk saat mendapati kabar bahwa ibu kandungnya memilih untuk menyerah begitu saja. Bukan dalam konteks bunuh diri. Namun, menyerah dalam arti, ketika Sang Malaikat Maut datang ke kamar ibunya dirawat, ibunya memilih untuk menerima ajakan Sang Malaikat Maut.
Usia Indira pun masih tergolong muda. Indira tahun ini sudah berusia yang ke-25. Banyak yang bilang itu usia paruh baya, dan muncul istilah krisis paruh baya. Di usia-usia seperti itu, biasanya orang tidak suka ditinggal pergi yang dicintai, khususnya orangtua. Termasuk Indira sendiri. Masih banyak yang Indira persembahkan kepada ibu kandungnya tersebut. Indira ingin membalas setiap jasa ibu kandungnya. Apa daya, ibunya sudah menghembuskan nafas untuk kali terakhir.
Greyzia sedang berada di upacara pemakaman ibunya Indira. Rencananya ibunya Indira akan dikebumikan di Karawang. Sebetulnya itu bukan kemauan ibunya Indira juga. Ibunya Indira tidak memberikan semacam amanah bahwa beliau harus dikuburkan di Karawang. Pemilihan tempat penguburan di Karawang itu karena pilihan Indira dan saudara kandungnya yang lain. Mahal tak apa-apa. Bagaimanapun demi membalas jasa ibu kandung mereka yang sudah cukup total dalam membesarkan setiap anak kandungnya.
Dari dalam rumah Indira, dari arah ruang tengah, terdengar alunan piano. Ada yang memainkan piano. Greyzia berjalan untuk memastikan itu siapa. Ternyata ada seorang pemuda berkacamata yang sedang bermain piano. Pemuda berkacamata itu adiknya Indira yang masih kuliah dan berkuliah di Cina. Kampusnya adalah School of Law, Tsinghua University. Lagi jalan semester enam, dan harus terburu-buru ke Jakarta dengan tiket termahal demi upacara pemakaman ibunya.
You raise me up,