Grace

Nuel Lubis
Chapter #39

Minggu Kesepuluh setelah Trinitatis: Kesempatan yang Lebih Besar Lagi

Pagi-pagi benar Firman sudah duduk di salah satu bangku panjang gereja. Biasanya, di hari-hari minggu biasanya, ia lebih sering mampir ke Lapo Yabes. Selain untuk sekadar membantu persiapan pembukaan lapo Batak tersebut, ia pasti sering mengamati aktivitas di sekitar lapo. Tak jarang Firman menjadi tukang parkir dadakan. 

Untuk kali ini, Firman memilih untuk mendatangi ruang ibadah utama gereja terlebih dahulu. Sengaja ia lakukan demi sesuatu. Sesuatu itu adalah yang ia pegang. Warta jemaat gereja tersebut. Ia langsung melihat lagi apa yang tertera di halaman depan warta jemaat itu lagi. 

Ada semacam kebanggaan di dalam diri Firman, karena tulisannya dimuat lagi. Yang kali ini, justru Firman yang diminta untuk menulis oleh pengurus gereja. Itu pun berdasarkan permintaan beberapa jemaat. 

***

Hati-hati dengan Candaan

oleh: Firman Tambunan


Bayangkan ini, yang betapa sakitnya, saat kita lebih mengeritisi diri sendiri, juga saat kita tidak sok menjadi juru damai untuk konflik-konflik di sekitar kita, eh, mendadak ada saja sesama kita yang candaannya membuat kita tersinggung. Kesal?

Nah, beberapa hari yang lalu, ada ayat Alkitab yang mengusik saya. 

Amsal 26:18-19

Seperti orang gila menembakkan panah api, panah mematikan. Demikianlah orang yang memperdaya sesamanya dan berkata “Aku hanya bersenda gurau".

Ayat Amsal tersebut meminta kita untuk berhati-hati dengan humor. Iya, kita harus berhati-hati dengan humor. Bisa saja humor yang kita buat, menjadi batu sandungan bagi sesama. 

Pernah terpikirkan tidak hal-hal seperti ini? Maksud saya, humor itu, kan, lebih sering disampaikan dalam waktu singkat. Yang spontan begitu saja keluar dari mulut kita. Bisa saja pula, kita telat menyadari ada orang-orang yang tersinggung. Jika itu terjadi, paling kata "maaf" keluar dari mulut kita. Sayangnya, sudah terlambat. Yang bersangkutan akhirnya malah mencak-mencak kepada kita. 

Padahal orang yang bijak akan menilai lebih dulu apakah humor itu layak disampaikan atau tidak. Humor harus ditempatkan di posisi yang tepat. Waktunya pun harus dipikirkan dulu. Menurut saya, sesuatu yang dianggap lucu di sebuah budaya belum tentu cocok di budaya yang lain. Untuk si X, itu lucu. Namun, belum tentu lucu untuk Y. 

Akan jauh lebih bijak apabila kita menjadikan diri kita sendiri sebagai objek humor daripada pelempar humor. Kita yang ditertawakan, dan bukannya kita yang menertawakan. Hal ini akan membuat kita menjadi lebih bijak. Yang kenapa begitu, karena kita makin mengenal sesama kita seperti apa karakternya. Humor yang kita keluarkan pun menjadi lebih penuh cinta kasih. Bukankah Yesus selalu mengajarkan kita untuk mengasihi sesama manusia?

Lagi pula, dunia akan jauh lebih indah saat kita lebih kita menyerang diri kita sendiri. Kita lebih mengeritik diri sendiri. Yang termasuk saat kita melemparkan sebuah humor. Jauh lebih baik saat kita menertawakan diri sendiri. 

Maka dari itu, berhati-hatilah dengan humor. Perhatikan pula lawan bicara kita juga. Apakah dia siap dengan humor yang lemparkan kepada dirinya? Yang jangan-jangan humornya salah? 


Lihat selengkapnya