Gracias Mi Amor

Lucia Isabella Ari Valdiani
Chapter #2

Bagian 1 : F.I.R.A.S.A.T [Prolog]

Kenangan tentang kebersamaan seseorang ­pasti akan berakhir. Sharon menyadari bahwa kenangan ­maupun ­kebersamaannya juga akan berakhir. Ia memutuskan untuk menjalani Sakramen Minyak Suci saat opname ketiga kalinya diam-diam sebelum mengalami kejadian fatal di kamar ­mandi. Ia menjalani Sakramen Minyak Suci seorang diri karena ia ­opname di Rumah Sakit Panti Rapih saat Charon menjalani ­studi tour ke Bali selama 5 hari. 

Charon—maafkan aku. 

Aku sudah memutuskan untuk menjalani ­Sakramen ­Minyak Suci ini sendirian. Kamu baik-baiklah di sana, ­kembaranku. Aku tahu ini akan membuatmu terpukul.

Memori pertemuannya dengan dokter Daniel ­kembali muncul dalam benaknya saat ia tahu waktu terakhirnya tidak akan lama lagi. Air matanya menetes. Matanya kosong. Hatinya sedih ketika mendengar vonis dokter yang merawatnya. Ia tak bisa merasakan kesempatan hidup lebih lama.

“Sharon—hidupmu tidak akan lama.” kata dokter ­Daniel.

Bapa—

Apakah masih ada kesempatan terakhir untukku?Apakah aku masih bisa melihat mereka semua, Bapa?Bagaimana ­dengan Charon? Vic? Mama? Papa? Renatha?

Bapa—

Mengapa Kau biarkan aku tahu batas waktuku? ­Mengapa Kau biarkan aku tahu bahwa hari ini akan menjadi hari terakhirku?

Bapa—

Jawablah anak-Mu ini—

Ia berjalan gontai. Ia tak tahu apakah ia bisa bertahan dalam waktu enam bulan ke depan. Rumah sakit cukup ramai dengan aktivitas di sana. Tepat saat dimana ia bertemu dengan Vic untuk terakhir kalinya dalam keadaan muntah darah. 

Saat itulah ia menyadari ketulusan cinta Vic yang ­pernah ia tolak. Ada harga yang harus ia bayar dengan ­kematiannya. Ia merasakan waktunya telah tiba. Dia melihat seseorang di ­belakang Vic.

“Sharon—” teriak Vic yang menemukan gadis itu ­sudah hampir tidak sadarkan diri dan tidak mendengarkan teriakan Vic. 

Sharon masih melihat Vic dengan linangan air mata. Ia tersenyum dengan keadaan berlumuran darah. Pandangannya mulai gelap. Sosok berjubah hitam itu sangat dekat dengan gadis itu—itu yang dirasakan oleh Vic. Vic membawa gadis itu keluar dari kamar mandi. Suasana depan kamar mandi itu riuh karena banyak orang berkerumun ingin tahu kejadian di sana. 

“Sharon bertahanlah—” kata Vic yang menggosokkan kedua tangannya agar gadis itu tetap dalam keadaan hangat. 

Tubuh gadis itu sudah mulai dingin dan perlahan kaku serta berat. Gadis itu tertidur pulas. Wajah gadis itu putih seperti jasad yang tak berjiwa. Dan memang pada saat itulah gadis itu harus pergi dari sisi Vic.

“Sharon— please jangan tinggalkan aku. Aku masih ingin hidup bersama denganmu, Sharon.” isak tangis Vic saat Sharon meregang nyawa di luar kamar mandi.

Sharon meneteskan air mata ketika matanya ­terpejam. Detak jantungnya mulai melemah. Seluruh ­badannya ­mulai ­dingin. Suhu tubuhnya mulai perlahan menyesuaikan ­ dinginnya suhu ruangan. Ruangan itu banyak darah ­berceceran. Vic ­merasakan hatinya hancur berkeping-keping saat ­melihat wajah Sharon mulai pucat dan putih seperti akan pergi ­meninggalkannya sendiri di sana. Masih teringat enam bulan lalu Vic ­mengungkapkan perasaannya dengan Sharon.

“Hiiiiekks—” isak tangis Vic. 

Pertolongan datang namun tidak bisa menyelamatkan Sharon dari maut. Petugas ambulance datang terlambat. Renatha datang memegang bahu Vic dengan kepedihan dan air mata. Ia seperti merasa Sharon akan pergi meninggalkannya sendirian.

“Permisi, mas. Mas keluar dulu. Biar kami tangani.” ucap kata petugas ambulance.

Vic menyingkir dan masih menangis terisak. Dia tak sanggup berkata apapun di sana. Di sana suasana agak ramai. Ada petugas polisi yang memasang tali segel berlogo ­polisi ­ untuk menyegel ruangan tersebut. Vic dan Renatha m­asih ­mendampingi Sharon di dalam ambulance. Tangan Sharon ­digenggam oleh Vic selama perjalanan. Mereka berlinangan air mata. 

Terlambat—

Semuanya sudah terlambat—

Apakah ini karma untukku, Bapa?

Pandangan Vic memutih. Memori kenangannya ­bersama Sharon mulai hilang. Ia sempat mengalami trance saat memegang jenazah Sharon yang berada di rumah duka rumah sakit Panti Rapih tersebut. Ia mendapatkan vision yang tak asing untuk kehidupannya di masa mendatang. Ia terkejut. Namun ia simpan itu semua sendiri.

Sharon—

Inikah yang harus—

Aku lalui bersama gadis penggantimu?

“Sharon itu berarti untukmu, Vic. Dia akan tetap berada di dalam hatimu.” kata Renatha. 

Kenangan itu terjadi saat tujuh tahun lalu berlalu. Vic mendatangi tempat-tempat nostalgia dirinya bersama ­Renatha. Saat ini sudah ada sosok baru yang menggantikan sosok ­Sharon—cinta matinya yang sudah berada di Surga.

“Gadis itu—” ucap Vic.

“Dia harus kulindungi, Ren—” sambungnya.

Renatha paham siapa yang dimaksud oleh Vic.Charon adalah sosok yang diceritakan oleh Vic.

***

Tujuh tahun berlalu dengan cepat. Ia sangat ­merindukan Sharon. Kenangannya bersama Sharon tak ­pernah dia lupakan meskipun terkubur dalam liang lahat Sharon.Ia menunggu kekasihnya—Charon di ­sebuah bandara. Saat itu ia merasa ragu apakah ia bisa ­membuka hatinya untuk ­Charon—mantan kekasih Ian juga. Memorinya masih belum ­pulih sepenuhnya. Namun ia sadar bahwa ia tahu jati diri dan seluk beluk kehidupan Charon dan Sharon. Mereka adalah dua wanita yang pernah hadir dalam hidupnya.

Ian—

Yah—

Ia tak merasa asing dengan nama Ian— Nama itu ­pernah ia dengar sebelumnya. Ia memejamkan matanya ­sebentar. Ada sebuah vision yang muncul di dalam pikirannya.

Apakah mereka ini akan berhubungan denganku? ­Tapi kenapa ada dua bayangan—dalam dua sosok yang berbeda yang—akan kulindungi? Siapa mereka—

Ia teringat akan pertengkarannya dengan Renatha ­selama tujuh tahun enam bulan terakhir ini. Ia dan Renatha ­sedang perang dingin. 

“Kamu ingat pertengkaran kita dulu—tujuh tahun enam bulan terakhir?” tanya Vic.

Renatha mengangguk—iya—saat itu ia merahasiakan penyakit Sharon. Tujuh tahun enam bulan adalah waktu yang tak singkat untuk melupakan perasaannya pada Vic. Saat itu Vic mengalami keadaan yang membuat ia sangat takut kehilangan Sharon. Dia berubah menjadi pribadi yang tak dikenali oleh ­Renatha.

“Aku sudah membentakmu waktu itu, Ren—” kata Vic.

“Aku tahu saat itu kamu—takut kehilangan dia, Vic—” ucap Renatha,

Mereka berdua bernostalgia ke suatu taman dimana tempat itu adalah tempat berkesan bagi mereka dan Sharon. Vic teringat pertengkaran hebat mereka saat ia menemukan ­kenyataan pahit yang disembunyikan oleh Renatha. 

Ia datang ke rumah Renatha.

“Kenapa kamu rahasiakan ini dariku, Renatha?” tegas Vic.

Renatha terdiam—takut melihat kemarahan Vic. Ia ­tetap bungkam meskipun ia tahu hasil pemeriksaan Sharon sangat buruk.

“Kamu—tega! Kamu PEMBOHONG, Renatha!” ­bentak Vic yang pergi membanting pintu.

BAMM!!

Terdengar suara pintu rumah Renatha ­dibanting. ­Renatha memejamkan mata. Hatinya sakit—sesakit ia ­memendam ­perasaannya dan mengalah demi Sharon.

Sharon—

Sharon—

Sharon—

Kenapa harus DIA??

Nama itu—

Ada pergumulan hebat dalam hatinya. 

Seperti suara—

Malaikat—

Dan setan—

Menjadi satu—

“Aaaaaaaarrrrggggg!!!” teriak Renatha.

Hatinya sakit—

Sakit sekali—

Pertengkaran itu menghasilkan suatu perubahan ­dalam komunikasi dan persahabatan mereka yang tadinya sangat ­manis tanpa ternoda kebohongan yang ditutupi satu dengan lain. Vic pergi meninggalkan Renatha sesaat. Ia menyendiri selama ­sebulan. Ia menghilang sesaat. 

“Waktu itu aku mencarimu kemana-mana karena aku ingin meminta maaf padamu. Aku tidak bisa hidup tenang ­karena sebuah penyesalan terbesarku. Persahabatan kita hancur seketika.” kata Renatha.

“Tujuh tahun enam bulan itu tak singkat, Renatha ­sayang—” ungkap Vic sambil mengelus rambut sahabatnya. 

“Of course—” ucap Renatha.

“Komunikasi sahabat tidak pernah berjalan mulus, Vic.” sambungnya.

“Aku ingin menyelesaikan pertengkaran itu ­denganmu dengan cara kita mengobrol seperti ini. Karena aku hanya punya sahabat—kamu, Ren—” kata Vic menahan air mata ­ kerinduannya pada Sharon dan rasa lelahnya menghadapi situasi yang ­dialami oleh Charon—gadis yang harus ia lindungi.

“Aku capek, Ren. Tapi aku sudah mengambil tugas ini.” sambungnya.

“Aku siap menjadi pendengar setiamu, Vic.” jawab ­Renatha. 

Renatha tersenyum lega. Komunikasi mereka yang rusak akhirnya kembali cair. Dia sudah merelakan cintanya ­untuk dimiliki oleh Charon.

Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Vic.

Vic ingat saat waktu mencekam itu. Ia merasakan hawa kepergian Sharon itu sedang mengintainya. Enam ­bulan saat Sharon hampir pergi, hatinya ragu saat ia mengingat ­ Sharon. Hatinya pedih. Ia menyimpan air matanya seorang diri. Ia ­bergelantungan sambil menahan air matanya. Ia merindukan kebersamaannya bersama keluarganya yang ia sayangi. Namun bulan Desember tahun ini adalah bulan yang kelabu untuk ia hadapi sendiri.

Sharon—

Kamu sudah bohongi aku, sayang. Mengapa kamu ­tidak jujur tentang penyakitmu?

Waktu enam bulan akan berlalu cepat. Vic mulai ­mencium hawa kematian pada seseorang. 

Yah—

E.N.A.M B.U.L.A.N—

Kenangan tentang kebersamaan seseorang pasti akan berakhir. Vic menyadari firasat yang dirasakannya saat itu. Ia ­melihat Sharon dalam pikirannya bahwa Sharon akan ­pergi dalam waktu dekat sekitar waktu E.N.A.M B.U.L.A.N ­lebih tepatnya memasuki waktu T.I.G.A T.A.H.U.N E.N.A.M B.U.L.A.N—

Sharon pun menyadari bahwa kenangan maupun ­kebersamaannya juga akan berakhir. Ia memutuskan untuk ­menjalani Sakramen Minyak Suci saat opname ketiga kalinya diam-diam sebelum mengalami kejadian fatal di kamar ­mandi. Ia menjalani Sakramen Minyak Suci seorang diri karena ia ­opname di RS Panti Rapih saat Charon studi tour ke Bali selama 5 hari.

Charon—maafkan aku. Aku sudah memutuskan untuk menjalani Sakramen Minyak Suci sendirian. Kamu baik-baiklah di sana, kembaranku—

Air matanya menetes. Matanya kosong. Hatinya sedih ketika mendengar vonis dokter yang merawatnya selama jangka waktu tiga tahun lima bulan ini.

“Sharon— hidupmu tidak akan lama. Gejala ­Autoimun yang kamu alami itu mulai mengganas. Kalaupun harus ­menjalani perawatan intensif, kesempatan hidupmu akan sangat kecil.” kata dokter Daniel.

Sharon masih teringat perkataan dokter Daniel—yang sudah dianggapnya sebagai papa keduanya. Ia teringat dengan Vic yang telah menjaga dirinya sampai selama ini. 

Vic—

Apakah kamu akan sanggup mendengar kejujuranku ini yang akan menyakitimu? Hidupku tidak akan lama lagi, Vic. Di luar sana ada saudara kembarku yang harus kamu lindungi. Kamu jaga dia ya,Vic. Berjanjilah padaku—

Ia tahu bahwa kejujurannya akan melukai hati Vic yang paling tulus.

Bapa—

Apakah masih ada kesempatan terakhir untukku?Apakah aku masih bisa bertemu dengan mereka?

Ia berjalan gontai. Ia tak tahu apakah ia bisa bertahan dalam waktu enam bulan ke depan. 

Bapa—

Apakah Bapa menginginkan anak-Mu ini untuk pulang kembali ke rumah-Mu di sana, Bapa?

Air mata Sharon mengalir perlahan. Ia merangkul ­bahunya sendiri untuk menguatkan dan menyemangati dirinya sendiri. Ia tahu bahwa sosok berjubah hitam sudah ­menunggunya di kejauhan. 

Yah—

Siapa lagi kalau bukan—

M.A.L.A.I.K.A.T M.A.U.T—

Dia—

Sudah di pojok sana—di balik pohon itu.

Sharon sudah melihat DIA di sana.

Waktu terus berjalan dengan cepat—

Ia berusaha untuk survive.

S.U.R.V.I.V.E—

***

Vic bernostalgia mengingat kembali memori kenangannya saat bersama Sharon. Ia berada di suatu taman yang pernah menjadi bagian hidupnya. Di sanalah ia dan Sharon berkencan bersama dan menikmati kebersamaan mereka berdua. Tepat tujuh tahun lalu—waktu yang tak singkat baginya.

Ia teringat kejujuran Renatha tepat tujuh tahun enam bulan lalu kondisi Sharon sudah final. Waktu itu mereka ­memang sempat membahas perasaan mereka satu sama lain sambil ­ berjalan-jalan di taman. Renatha kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan ganjalan perasaannya pada Vic.

“Ren—apakah kamu menyimpan rasa padaku?” tanya Vic.

Vic—

Renatha berhenti sejenak. Ia merasa dilema apakah ia harus mengatakan hal itu karena Vic tahu seluruh ­perasaannya. Ia tak mampu mengatakan sepatah katapun di depan Vic. Ia ­t­eringat perasaannya dan kecemburuannya.

“Haruskah aku mengatakannya?” tanya Renatha.

Lihat selengkapnya