GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #1

Prolog

Malam bulan purnama, 4 Oktober.

 

AKU membuat bulatan di kaca jendela yang berembun dan dingin agar dapat melihat ke luar. Senja sudah hampir menghilang. Pohon-pohon bugenvil di taman itu masih tampak basah oleh sisa hujan tadi sore.

Kuembuskan napas perlahan-lahan, berusaha melawan kegelisahan yang bergolak dalam hatiku. Sungguh, Tak pernah terbayangkan olehku akan datang saat-saat seperti ini. Saat kesunyian mendekapku begitu erat dan dengung serangga malam terdengar lebih memilukan.

Aku menatap kosong ke kejauhan, berharap bisa menepis bayang-bayang kematian dari pikiranku. Namun, aku malah melihat kembali orang-orang yang aku sayangi tengah sekarat, menggelepar dalam pelukanku. Dan, yang paling mengerikan, aku juga melihat kembali ibuku yang berlumuran darah tengah terhimpit sebuah mobil yang terguling dengan bensin yang terus menetes, sedangkan api telah menjalari sebagian bodi mobil itu.

Aku ingin berteriak sambil mengulurkan tanganku untuk menggapai tangan ibuku, tetapi suara yang keluar dari mulutku tidak lebih dari rintihan keputusasaan. Serak dan tercekat. Dadaku terasa panas dan sesak seperti ditindih bongkahan batu besar, sedangkan tungkaiku melemas. Aku terjatuh ke tanah berlumpur, menggapai-gapai udara yang semakin menyengat dan berbau menyesakkan.

Sambil mendesah, cepat-cepat aku membebaskan diri dari bayangan mengerikan itu. Kobaran api yang menyala dan warna gelap ngarai kembali menjelma menjadi bentuk-bentuk solid. Aku bisa menyaksikan lagi pohon-pohon bugenvil yang basah di taman itu dan merasakan sensasi dingin kaca jendela yang menjalari telapak tanganku.

Begitu banyak kematian, dan semuanya berkelebat bergantian dalam benakku seperti adegan-adegan film dalam layar kaca. Aku mengejapkan mata, mengalihkan fokusku pada sosok perempuan yang secara tiba-tiba muncul di hadapanku. Perempuan itu berdiri di sampingku, sisa-sisa kepulan asap putih masih menyelubungi tubuhnya yang ramping dan beraroma cempaka. Dia bersandar di dinding samping jendela. Menatapku dengan mata merahnya yang menyala.

“Bagaimana, Ken, apa kamu sudah siap?” kata perempuan itu.

Aku tidak menjawab dengan sepatah kata pun, hanya memandanginya dengan berjuta perasaan yang berkecamuk dalam hatiku.

“Ayolah, Ken! Ini kan malam yang istimewa. Bergembiralah!” Syal yang melilit leher perempuan tersebut bergerak-gerak seperti ingin melepaskan diri. Syal itu terbuat dari tubuh seekor rubah berwarna oranye yang diawetkan, seluruh jeroan dan tulang-tulangnya telah dikeluarkan, tinggal kulit berbulu, kepala, dan ekor-ekornya saja yang dipertahankan. Aku melihat kepala rubah itu berkedip dan menyeringai kepadaku seperti biasa. Entahlah, aku merasa rubah itu tidak pernah menyukaiku.

Lihat selengkapnya