Ruang VIP, Rumah Sakit, 2 Mei.
AKU terbangun dengan ketegangan di sekujur tubuhku. Meskipun alat pendingin ruangan berembus kencang, tetapi dahi dan leherku basah oleh keringat. Sambil mengucek-ngucek mataku yang buram, aku mendudukkan diri di sofa panjang ini. Pukul 04.10 pagi.
Perlahan, aku empaskan udara yang seakan terperangkap dalam paru-paruku. Kemudian, memastikan diri tidak berada di ruangan aneh di dunia aneh seperti dalam mimpiku. Entah sudah berapa kali, aku memimpikan hal yang sama—sejak Ibu dirawat di rumah sakit ini—tentang sebuah tangga berpendar, patung berjubah mengerikan, seorang bocah bermata hitam, dan guci keramik yang pecah berkeping-keping, walaupun dengan setting yang berbeda-beda.
Aku tidak tahu apa maksud dari semua itu. Aku berharap semoga ini menjadi pertanda baik bagi kesehatan ibuku. Sebab, sudah hampir dua minggu Ibu terbaring di rumah sakit ini karena kecelakaan mobil. Seluruh tubuhnya nyaris terbakar, beruntung Ibu sempat diselamatkan sebelum mobil itu meledak. Namun, Ibu mengalami benturan yang sangat keras di kepala dan di sekujur tubuhnya. Menurut dokter yang merawatnya, kini Ibu tengah koma.
Aku berdiri, menatap Ibu yang terbaring lemah di atas ranjang pasien, sambil mendengarkan suara ventilator yang mendesah seperti nenek tua yang sekarat. Semenjak datang ke rumah sakit ini, Ibu tidak bisa lagi bernapas sendiri, dan semua fungsi ventilasinya telah diambil alih oleh alat tersebut.
Perlahan-lahan kuangkat tangan Ibu, menangkupkan telapak tangannya yang memar-memar di telapak tanganku. Ibu masih mengenakan cincin pernikahan di jari manisnya yang lentik. Cincin itu terbuat dari emas putih tebal yang dihiasi berlian di tengahnya. Cincin itu menempel kuat di sana, seperti tak terpisahkan. Setiap memandangnya selalu mengingatkanku pada senyum Ayah, dan terkadang secara otomatis menarikku ke masa lalu, saat ayahku masih ada dalam kehidupan kami.
Kusentuh cincin tersebut dengan telunjukku, mengikuti lekukkannya, dan merasakan logam yang dingin seperti udara di ruangan ini. Kemudian, kusentuh pergelangan tangan ibuku, dan aku merasakan denyut yang begitu lemah. Seakan detak kehidupannya akan segera terhenti hanya dalam beberapa hitungan saja.
Ah, nyaris aku tidak percaya apa yang sedang kulihat, aneh rasanya melihat Ibu dalam keadaan seperti ini, begitu diam dan tenang. Ibu terbaring di atas ranjang, seakan-akan hanya sedang tertidur pulas. Kalau bukan karena perban yang melilit wajah dan tubuhnya, juga rambut di kepalanya yang telah dipangkas habis, aku takkan yakin kalau Ibu sedang koma.
Aku tatap mata Ibu yang terpejam, bulu matanya tebal dan lentik. Persis seperti bulu mata boneka barbie yang sering dimainkan anak-anak perempuan. Kata Ayah, mata Ibu adalah salah satu ciptaan paling indah yang pernah dilihatnya, dan aku tidak bisa memungkiri hal itu. Namun, kini mata itu terpejam, cahaya yang biasa memancar dari sana telah padam. Sebagian kulit di sekitar mata kirinya tampak lebam, sedangkan kelopak matanya membiru karena memar. Sekarang, mata itu tak ubahnya sebuah permata yang telah kehilangan kilaunya.
Di bawah mata Ibu, tabung-tabung bermunculan dari dalam hidung serta mulutnya. Selang infus ditempelkan ke lengan kanannya, terhubung ke sebuah kantong yang tergantung pada tiang besi penyangga di samping kanan tempat tidur. Lewat sebuah jarum di lengannya, mengalir cairan ke dalam pembuluh darah Ibu, obat dan juga nutrisi agar beliau tidak mengalami dehidrasi. Kaki kanan dan kirinya digips oleh kayu. Ibu terlihat berbeda, begitu rapuh. Seakan-akan kalau saja ada kupu-kupu yang hinggap di tubuhnya, maka seluruh jasad Ibu akan hancur menjadi debu.
Sekali lagi, kutangkupkan jari-jari ibuku yang lentik ke telapak tanganku, lalu kugenggam dengan erat. Sambil memejamkan mata, aku berusaha melupakan semua hal mengerikan dalam pikiranku, aku tidak siap untuk kehilangan orang yang paling kucintai di dunia ini. Aku benar-benar takut untuk merasakan kembali kegetiran seperti yang pernah kurasakan dulu, saat aku duduk di samping tubuh ayahku yang sudah tak bernyawa. Sungguh, membuatku menggigil.
Ibu pasti kuat, Ibu pasti sembuh, beliau tidak menderita sakit kanker seperti Ayah, lukanya pun tidak parah, hanya goresan kecil, aku meyakinkan diriku sendiri. Seperti biasa.
Kukerjapkan mata, seolah-olah aku baru bangun—atau mencoba untuk bangun. Kuharap ini cuma mimpi, mimpi yang akan segera berakhir ketika aku terbangun. Dan, akan kudapati lagi ibuku dalam keadaan baik-baik saja.
Dengan lembut kulepaskan pergelangan tangan Ibu. Aku membayangkan mengecup pipi Ibu, merasakan kehangatannya. Dan, ketika bibirku menempel di pipi Ibu, sekonyong-konyong ingatanku kembali ke masa lalu. Kami tengah berada di sebuah Kebun Binatang, tampak cerah dan terang. Kami sedang berfoto di depan kandang burung gagak—hewan kesukaanku—bersama Ibu dan Ayah; saat itu adalah ulang tahunku yang ketujuh. Kami begitu bahagia, saling mencintai, dan menyayangi.