GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #3

2

AKU mendengar suara musik degung dan lantunan tembang seorang perempuan yang mengiris hati. Aku berdiri tegak, bergeming, dan memasang telinga untuk mencari arah datangnya suara. Namun, dinding-dinding ruangan yang tidak beraturan dan kasar telah menyamarkan suara tersebut. Gemanya memantul dari berbagai arah, hingga aku tak yakin dari arah mana sebenarnya suara itu datang.

Kusapukan pandangan ke sekeliling ruangan, paling tidak tempat ini sebesar aula serbaguna di sekolahku, hanya saja langit-langitnya lebih tinggi dan gelap. Nyala lampu minyak yang redup di dinding membuat ruangan ini menjadi temaram.

Aku memberanikan diri melangkah ke tengah-tengah ruangan, dan tiba-tiba di depanku tampak sebuah koridor berlantai kotor, memanjang sampai jauh, diselingi bangku-bangku besi berkarat dengan lengkungan-lengkungan dan kaki-kaki keropos yang bersandar pada dinding. Di samping tiap bangku ada pintu dari besi-berterali yang memiliki lampu-lampu minyak menempel di masing-masing perangkat penuh sawang. Cermin-cermin berkerangka kuningan tergantung miring di dinding yang dipenuhi coretan dan lukisan-lukisan abstrak palsu karya pelukis ternama. Patung berjubah mengerikan yang terbuat dari pualam tengah berlutut kukuh di dalam ceruk. Kedua tangannya memegang pedang raksasa yang panjangnya belasan meter. Aku terus berjalan menyusuri koridor itu, dan melihat begitu banyak tanaman berduri di dalam pot di sepanjang koridor dengan aroma menyengat tajam. Mengingatkanku pada bau bacin bangkai binatang yang sudah membusuk.

Suara musik degung terdengar lagi, kini aku yakin berasal dari sebuah ruangan di ujung yang jauh. Aku berhenti melangkah, tertegun memandangi tangga di ujung koridor yang mengarah ke atas, melingkar dan panjang. Setiap undakan tangga itu menyala dalam keremangan seperti biopendar dari tumbuhan alga di kedalaman lautan.

Sebagian diriku menyuruh aku untuk naik ke tangga tersebut, tetapi sebagian lain melarangku untuk melangkahkan kaki ke arah sana. Kita tidak tahu apa yang sedang menunggu kita di ujung tangga itu. Kita tidak tahu tempat macam apa yang ada di lantai atas sana. Bisa jadi sesuatu yang mengerikan tengah menunggu untuk memangsa kita. Mungkin saja, lantai atas adalah puncak dari segala kengerian dari gedung ini. Maka aku hanya menatap dan mengikuti alur cahaya dari pendar biopendar hijau tangga tersebut tanpa menggerakan langkahku sama sekali.

Lama aku terdiam sebelum bunyi pecahan keramik mengejutkanku. Guci yang tadinya bertengger di atas altar di sudut kananku itu, hancur berkeping-keping terguling menabrak pilar. Seorang bocah keluar dari salah satu pintu yang tidak seberapa jauh jaraknya, tampaknya dia pincang, menyeret sebelah kaki di belakang tubuhnya. Kemudian, dia berhenti saat menyadari aku tengah mengawasi gerakannya. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat seluruh matanya berwarna hitam pekat.

“Jangan kau tangisi!” Bocah tersebut menatapku. “Semuanya telah digariskan. Semua telah ditentukan waktunya.” Mata hitam bocah itu berkilat dalam keremangan, perlahan dia membereskan pecahan guci. Aku hendak bertanya, siapa dia? Dan, apa maksud dari perkataannya, tetapi sebelum kata-kataku itu terucap dia telah menghilang dengan meninggalkan kepulan asap hitam yang menyebar memenuhi udara. Pandanganku mengabur, dan semuanya menjadi begitu gelap.

Lihat selengkapnya