GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #4

3

AKU tahu, pada akhirnya Tuhan akan berhasil membawa ibuku pergi. Namun, aku tidak pernah membayangkan akan secepat ini dan dengan cara seperti ini.

Aku masih ingat saat orang-orang menggotong ibuku yang terluka menaiki bukit sampai ke atas, lalu mengantarkannya ke rumah sakit. Laki-laki itu, sang sopir bus, yang telah menabrak mobil ibuku hingga jatuh ke jurang telah menjelaskan kepada polisi tentang apa yang terjadi. Dia kelewat mengantuk dan akhirnya bus yang dikemudikannya oleng, lalu menabrak mobil ibuku yang berlawanan arah dengannya. Ibuku kehilangan kendali, lalu jatuh ke jurang. Mobilnya berguling-guling di sepanjang kebun teh yang curam sebelum akhirnya tersungkur di dasar jurang. Dua orang meninggal di tempat. Ua Mena, kakak ibuku yang duduk di depan—di samping ibuku—dan Abah Agus, adik kembar kakekku, yang duduk pas di belakang ibuku. Akan tetapi, Eyang Dewi, istri Abah Agus yang juga duduk di belakang berhasil selamat. Namun, beliau terluka teramat parah. Dan, setelah tiga hari di rumah sakit beliau pun meninggal. Ibuku, setelah sempat berpindah-pindah rumah sakit dan koma selama dua minggu akhirnya meninggal juga sekarang.

Saat ini, apa yang aku rasakan seperti menelan pil pahit yang sedari awal aku tahu bagaimana rasanya. Namun, anehnya meskipun sudah terbayangkan rasanya, tetap saja aku tidak siap menerimanya. Malahan, cabikan ini kini terasa sangat nyata dan lebih menyayat. Sekali lagi aku hanya manusia, yang hanya bisa menjalani tanpa bisa mengubah apa pun. Ya, hanya menjalaninya. Seakan kejadian ini telah ditetapkan untukku, sekuat apa pun aku menolaknya ia akan tetap datang. Dan aku sekali lagi hanya bisa menjalaninya, tidak bisa menghindarinya. Sesakit dan seperih apa pun.

Aku meneguk lagi air di dalam gelasku, merasakan dingin yang menusuk kerongkonganku. Kuamati para pelayat yang berduyun-duyun masuk ke dalam rumah. Sanak saudara, para tetangga, teman-teman sejawat ibuku, dan yang paling banyak, adalah para mahasiswa ibuku. Beberapa di antara mereka terus mengucurkan air mata sambil berlutut di hadapan jasad ibuku dan berdoa. Pasti Ibu sangat berarti bagi mereka, aku bisa melihat dari duka yang mereka tampakkan. Namun, tidak ada yang lebih berduka di dunia ini selain aku. Bagiku, kematian Ibu sekaligus menandakan lenyapnya semangatku dalam menjalani kehidupan ini.

Untuk apa? Dan bagaimana cara menjalaninya? Aku seperti didesain untuk tidak bisa hidup tanpa Ibu. Aku seperti kehilangan arah dan pegangan. Harus memulai dari mana, lalu ke mana, dan setelah ini apa? Sial! Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana serta  apa yang harus aku lakukan setelah ini?

Aku melangkah ke arah Ibu yang terbaring, menghabiskan air minum yang tersisa, sambil kembali mengucurkan air mata yang tak tertahan. Menerobos kelopak mataku yang sekuat tenaga menahannya sedari tadi. Kini seperti air bah yang menenggelamkan separuh bumi ia mengucur tanpa henti. Tak tertahankan dan terus menderas seakan tidak akan pernah surut, walaupun cairan di dalam tubuhku hanya tinggal tersisa beberapa tetes lagi.

Lihat selengkapnya