KUBUKA pintu kamar ibuku, lalu bersandar di ambang pintu, seolah ragu untuk benar-benar melangkah masuk. Seperti ada sesuatu yang menahanku, entah kenangan, entah ketakutan, atau mungkin sekadar kehampaan yang terlalu tebal untuk diterobos. Terlintas bayangan sosok Ibu terbaring telentang di tempat tidur. Sebuah lengan berkulit putih bersih tampak memeluk guling bersarung merah tua—guling kesayangannya, yang tak pernah lepas dari pelukannya sejak aku kecil. Sementara wajahnya—untunglah—membelakangiku, sebab jika tidak, aku tak yakin bisa menahan air mata lebih lama lagi. Wajah itu, yang dulu menyambutku dengan senyum hangat setiap pagi, kini hanya hadir dalam bayang yang tak bisa kusentuh. Pikiran itu membanjiri kepalaku, deras dan tak beraturan, seperti ombak yang kehilangan arah. Dengan hati-hati kutarik kursi rotan tua di samping tempat tidur dan duduk di situ, seolah dengan duduk di sana aku bisa mengembalikan waktu yang telah berlalu.
Kesunyian yang menyambutku di kamar ini terasa lebih mengerikan daripada dengung ribuan lebah yang siap menyerang ketika sarangnya terusik. Ia bukan sekadar hening, tetapi hening yang mengiris—yang berbicara lebih lantang daripada teriakan. Malah lebih mengerikan daripada gemuruh ombak yang berdiri karena tsunami; sebab gemuruh itu setidaknya punya suara, sementara sunyi ini hanya menyisakan detak jantungku sendiri yang terdengar begitu menyakitkan. Kamar ini terasa lebih dingin daripada biasanya. Bukan dingin karena cuaca, tetapi karena kehilangan—dingin yang meresap hingga ke tulang-tulang, menyusup diam-diam seperti kabut yang menelan pagi. Kehangatan yang sering aku rasakan di dalam kamar ini tidak bersisa sama sekali. Padahal dulu, setiap kali aku merasa sedih, gundah, dan kecewa, kemudian masuk ke dalam kamar ini, pasti perasaan-perasaan buruk itu akan segera hilang seketika, seperti ada keajaiban yang bekerja diam-diam melalui sentuhan ibu di udara, melalui bau tubuhnya yang samar, melalui cara ia memandangku tanpa harus berkata-kata.
Namun sekarang, kesedihanku malah bertambah-tambah. Kamar ini justru menjadi ruang gema bagi luka yang tak sempat sembuh. Kemarahanku pada diri sendiri semakin meningkat—kemarahan karena tak bisa melakukan lebih, tak bisa berkata cukup, tak bisa memeluk lebih erat—tak bisa menjaganya. Dan air mataku, oh, air mataku semakin deras mengalir saat masuk ke dalam ruangan ini, seperti anak sungai yang tak tahu kapan harus berhenti mengalir ke muara. Sungguh, seluruh energi kehidupanku terasa terenggut seluruhnya. Seperti ada seutas benang tak terlihat yang selama ini menghubungkan jiwaku dengan ibu—dan kini benang itu telah putus. Yang tersisa hanyalah bayang, kenang, dan kerinduan yang tak bisa ditebus dengan waktu.
Aku mencoba tersenyum pada foto yang telah begitu kukenal di atas nakas ibuku, di samping kotak cincin putih yang berisi sepasang cincin pernikahan Ibu dan Ayah. Cincin-cincin itu kini tak lebih dari peninggalan sunyi, tanda dari janji yang pernah terucap dan cinta yang pernah hidup dalam bentuk paling sederhana namun paling abadi. Foto itu adalah satu-satunya potret keluarga kami yang tersisa sejak Ayah pergi—bukan hanya pergi dalam arti tubuh, tetapi juga dalam arti waktu dan takdir. Di dalam foto itu, Ibu terlihat begitu cantik dengan syal hitam yang melilit lehernya dan memelukku sekaligus memeluk Ayah; seolah ingin mengikat kami berdua agar tak pernah tercerai.