GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #6

5

Ruang Depan Rumah, 6 Mei

 

“BARANGKALI kematian adalah berkah terbesar bagi umat manusia.” Begitu kata Socrates yang dikutip Prof. Umar Riandi dalam khotbahnya di makam ibuku. Kematian telah menghentikan penderitaan dunia, kematian telah menuntaskan segala permasalahan di dunia. Apakah ibuku pun menganggap bahwa kematiannya itu adalah sebuah berkah bagi dirinya? Aku tidak tahu, yang pasti sampai detik ini aku belum bisa menerima bahwa kematian ibuku sebagai berkah terbesar untuk keluargaku, apalagi untuk diriku.

Aku duduk di kursi kayu—di teras depan rumahku—sambil merangkul lutut yang ditekuk, menumpukan dagu pada lengan kanan, dan berharap agar bulan mau menampakkan dirinya malam ini.

Titik-titik aneh itu masih berjatuhan dari langit, membasahi daun-daun bugenvil yang mengipas-ngipas. Aku menggerakan kepala, mengamati tiap tetesan air yang terjun di hadapanku, mengalir ke sebuah selokan kecil tempat aku selalu menghanyutkan perahu kertasku pada saat kecil dulu.

“Indah ya, hujan pada malam hari?”

Aku mengenali suara Paman Ferri tanpa perlu menoleh. Untuk sementara, Paman Ferri tinggal di rumahku, berharap bisa menghibur dan menemaniku. Meskipun itu tidak cukup membantu karena kesepian yang membebatku teramat kuat dan rapat. Namun, paling tidak rumah ini tidak terlalu mati rasa.

Paman Ferri Firmansyah adalah adik ibuku satu-satunya. Beliau berumur 40 tahun, dua tahun lebih muda daripada Ibu. Rambutnya hitam bergelombang dan selalu tersisir rapi. Kata Ibu, Paman Ferri adalah duplikat dari Kakek, baik secara penampakan fisik maupun sifat-sifatnya. Tidak banyak yang aku ingat dari Kakek, sebab beliau sudah meninggal saat aku masih berumur enam tahun. Namun, yang kutahu, Kakek adalah seorang laki-laki yang paling dihormati oleh seluruh keluarga dan seorang pendongeng yang paling andal. Meskipun kakinya lumpuh dan selalu menghabiskan waktu duduk di kursi roda, tetapi Kakek orang yang sangat ceria, kecuali saat beliau sedang rindu pada tanah kelahirannya di Tasikmalaya. Beliau akan duduk berlama-lama di depan teras sambil memandang langit, dan berubah menjadi orang yang paling murung sedunia. Selain itu, aku juga tahu kalau Kakek mempunyai saudara kembar, yaitu Abah Agus Mawardi. Mereka kembar identik sehingga fisik mereka benar-benar sama dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan, karena Paman Ferri sangat mirip sekali dengan Kakek, maka beliau juga mirip sekali dengan Abah Agus.

Ada dua pria yang paling aku sayangi setelah ayahku, yaitu Paman Ferri dan Abah Agus, sebab kedua orang tersebut benar-benar telah berperan sangat baik bagiku. Yang satu sebagai pengganti seorang ayah dan yang satu lagi sebagai pengganti seorang kakek. Kasih sayang mereka kepadaku telah mengisi ruang kosong yang ditinggalkan dengan cepat oleh ayah dan kakekku. Oleh karena itu, saat Abah Agus meninggal dalam kecelakaan itu aku sangat terpukul. Aku larut dalam kesedihan begitu lama. Namun sekarang, ibuku yang meninggal, dan rasanya berjuta-juta kali lebih pilu daripada saat ditinggal Abah Agus.

Paman Ferri belum dikarunia seorang anak pun. Padahal beliau sudah menikah selama sepuluh tahun. Menurut dokter, istri beliau, Bibi Aulia Sofia atau Bibi Sofi, mengalami kelainan pada dinding rahimnya. Setiap sel telur yang telah dibuahi tidak dapat menempel di sana sehingga ia akan luruh dan terbuang begitu saja lewat menstruasi. Sebetulnya Ibu pernah mewacanakan tentang bayi tabung pada Paman Ferri dan Bibi Sofi, tetapi mereka lebih senang menunggu datangnya keajaiban. Mereka berharap suatu hari kelak rahim Bibi Sofi mampu menjadi tempat yang nyaman untuk anaknya tumbuh dan berkembang.

Paman Ferri dan Bibi Sofi sudah kuanggap seperti orangtuaku sendiri, sebagaimana mereka pun menganggapku seperti anak mereka sendiri. Bahkan, aku punya kamar sendiri di rumah Paman Ferri yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Hanya berbeda dua blok di dalam kompleks perumahan ini.

 “Kamu belum mau makan malam?” Paman Ferri duduk di sampingku.

Aku gelengkan kepala. Sudah empat hari sejak kematian Ibu, aku tidak berminat untuk berkata-kata.

“Paman tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang ibu.” Paman Ferri melingkarkan tangan kanannya pada pundakku. “Dulu ketika nenekmu meninggal, paman pun merasakan hal yang sama denganmu.”

“Tidak sama. Paman tidak membunuh Nenek,” kataku pada akhirnya. “Semua ini salahku!” Kusembunyikan wajahku di balik kedua telapak tanganku. “Seandainya saja aku tidak memaksa Ibu supaya pergi ke Puncak.”

“Apa ada jaminan, kalau ibumu pergi ke Solo tidak akan terjadi kecelakaan? Semua sudah diatur oleh Sang Pencipta. Setiap orang punya takdirnya masing-masing.”

Sungguh, seandainya bisa, aku ingin menukar tempatku dengan Ibu. Biarkan aku saja yang mati dan beliau tetap hidup. Biarkan aku yang duduk di mobil pertama dan Ibu duduk di mobil kedua yang kukemudikan. Aku benar-benar bodoh, dan semua ini adalah salahku. Kenapa aku tidak duduk satu mobil dengan Ibu. Melindunginya dan menjaganya dari apa pun yang akan menyakitinya. Seandainya aku mau bersikeras memaksa Ibu supaya aku saja yang mengemudikan mobilnya dan beliau cukup duduk manis di belakang. Mungkin kecelakaan itu bisa dihindari. Seperti aku bisa dengan refleks menghindar dari tabrakan beruntun itu. Mobil yang kukemudikan berada tepat di belakang mobil ibuku dan dengan refleks aku bisa mengerem, lalu menghindar dari tumbukan moncong bus yang masih oleng.

“Sudah berapa kali paman bilang, ini semua bukan salahmu.” Paman Ferri menarik kepalaku dengan lembut, lalu menenggelamkannya di dadanya. “Setiap orang punya takdirnya masing-masing, Ken. Tuhan telah menetapkan kapan, di mana, dan dengan cara apa manusia akan mati.” Paman Ferri memelukku lebih erat hingga udara yang dingin terasa hangat olehku.

“Aku harap, aku bisa mengubah takdir ini,” kataku. Paman Ferri menarik napas panjang dan mengusap kepalaku dengan lembut.

Langit masih terlihat gelap, tetesan-tetesan air hujan masih mengalir turun di hadapanku, memudarkan pemandangan halaman rumah. Aku nyaris tidak dapat melihat siluet hitam orang-orang berpayung yang berjalan mendekat.

Setelah sampai di depan teras rumah, orang-orang itu cepat-cepat maju, kini aku mengenali mereka. Samsu Umar satu-satunya lelaki di antara mereka, berdiri paling depan. Dia menyeringai kepadaku, seringai orang gila dan iseng yang sudah sangat kukenal bertahun-tahun. Tirus wajah dan kumis tipisnya masih sama seperti yang kuingat. Rambut Sam yang keriting mengembang tidak beraturan, seolah-olah dia baru saja bangun dari tidur. Dua orang lagi muncul di samping Sam, yang satu perempuan gemulai berwajah oriental, bermata sipit, perempuan tercerdas yang sekolah kami miliki, namanya Rini “hime” Nuraini. Dia putih pucat, seperti boneka geisha Jepang raksasa yang dapat berjalan sendiri. Di sebelahnya adalah Roza Rianita, perempuan dengan mata sewarna biji cokelat dan kulit sekuning langsat serta berambut panjang ikal, seorang pelukis dan penikmat seni. Bibirnya tengah menyunggingkan senyum termanisnya, walaupun di kepalanya terbalut perban. Aku terlalu kaget sehingga tidak sanggup bergerak. Aku merasa kalau diriku semakin dekat dengan Roza, seluruh sel di dalam tubuhku terasa terbakar.

Lihat selengkapnya