GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #8

7

“AKU bukan Tuhan. Apakah aku terlihat seperti Tuhan?” Suara aneh memenuhi seluruh ruangan. Menggema membuat bulu kudukku merinding. “Kenny, Kenny. Kasihan dirimu.”

Aku membangkitkan tubuh. Memutar kepala, mencari sumber datangnya suara itu. “Siapa kau? Tunjukkan dirimu!”

“Aku punya banyak nama, dan setiap generasi memberiku nama, tapi aku lebih suka dipanggil Rucita.” Bau rempah-rempah berembus dari lantai atas, saat aku masih ragu-ragu, sesosok makhluk bergaun panjang putih muncul, melayang lambat, dikelilingi pelayan yang membawa pinggan perak mengilap berisi buah-buahan, bunga, dan kepala kerbau. Iring-iringannya termasuk rubah-rubah berbulu kelabu dan berekor tiga, masing-masing matanya memancarkan cahaya kuning yang menyilaukan. Ada juga peniup suling, penabuh genderang, dan seorang bocah bermata hitam pekat. Entah bagaimana ruangan ini bisa bermetamorfosis menjadi sebuah karnaval yang ramai.

Selangkah aku menggerakan kakiku ke belakang, tiba-tiba rombongan itu lenyap—kecuali Rucita—sebelum aku sempat mengerjapkan mata. Bau dupa menghambur dan menyesakan hidungku.

“Rucita?” Aku mengulangi perkataan makhluk itu.

“Ya, Rucita. Apa kamu belum pernah mendengarnya?” Rucita menggunakan syal dari seekor rubah berwarna oranye yang diawetkan. Syal tersebut melilit di lehernya dengan lembut, tetapi alangkah terkejutnya aku saat memandang kepala rubah itu, matanya menusuk tajam ke arahku. Mulutnya menggeram memamerkan gigi-giginya yang runcing bagai pisau belati. Rubah itu masih hidup, padahal jelas sekali jeroan dan tulang-tulangnya telah dikeluarkan dari tubuhnya. Rucita menenangkan rubahnya, dan rubah tersebut kembali tenang.

Kupalingkan pandangan ke daun telinga Rucita yang panjang dan runcing. Telinga itu bergerak-gerak seperti telinga seorang peri. Mata Rucita merah menyala bagaikan batu mirah, tetapi memberikan kesan anggun. Cahaya lampu minyak yang mulai meredup menyinari kulitnya yang halus dan putih. Hampir saja aku menganggap Rucita itu adalah seorang perempuan paruh baya, tetapi wajahnya yang imut dan kulitnya yang halus seperti porselen menunjukkan—paling tidak—dia berumur delapan belas tahunan.

“Aku belum pernah mendengarnya,” kataku sambil terus memperhatikan gaun putih Rucita yang panjang menyapu lantai, kakinya nyaris tidak terlihat dan dengan tenangnya Rucita menuruni tangga kristal itu perlahan-lahan—anehnya tidak ada satu anak tangga pun yang pecah. Aku berusaha menahan keinginan untuk menggerakkan tubuh atau mengalihkan pandangan, aku tidak ingin perubahan terjadi lagi di ruangan ini.

Rucita terus bergerak. Dia tersenyum merona, sosok tubuhnya yang indah mengingatkanku pada perempuan khayangan dalam film serial kungfu China.

“Aku adalah makhluk yang senang melakukan perjanjian dengan makhluk lain.” Tangan Rucita yang ramping menyibakan rambutnya yang berwarna putih cemerlang dan panjang.

“Perjanjian?” Aku kembali mengamati Rucita dari ujung kepala hingga ujung gaunnya yang melipat-lipat, dia telah berada di hadapanku. Sungguh, Rucita itu seperti salju yang melayang, mulai dari rambut, kulit serta gaunnya didominasi oleh warna putih, kecuali iris matanya yang berwarna merah menyala. “Perjanjian apa? Dan, memangnya apa yang bisa kau lakukan untukku?”

Rucita tertawa nyaring memekakkan telinga, mengguncang seluruh ruangan. Seakan dunia terasa dibolak-balik. “Aku mampu melakukan apa saja. Segalanya.” Rucita menjentikan jarinya. Lampu minyak menyala terang. Dia melayang menghampiri patung berjubah mengerikan di sudut ruangan. Patung itu bergerak, mengubah posisi yang tadinya berlutut menjadi berdiri. Ia memindahkan pedangnya ke tangan kanannya dan berjalan satu meter ke samping Rucita, membiarkan Rucita duduk di altar sucinya.

Lihat selengkapnya