“APA sebenarnya yang kau inginkan dariku?” Aku mengguncang-guncang cairan yang ada di dalam cangkir. Apakah aku harus meminumnya?
“Aku akan menawarkan sesuatu yang menarik kepadamu.” Rucita menyeringai licik. Mata merahnya sedikit redup. Rambutnya yang panjang bergerak-gerak bagai ular, lalu merapat dan membuat kepangan sendiri. Rucita sepertinya telah terbiasa dengan hal itu. Dia membiarkan rambutnya bergerak dan menata sendiri.
“Apa?” tanyaku singkat. Dan, akhirnya aku memutuskan untuk mencicipi cairan aneh yang ada di cangkir yang aku genggam. Rasa asam merayap menyusuri setiap sel dalam tubuhku. Rasa asam itu tiba-tiba berubah menjadi rasa panas. Membakar tubuh, seakan darahku mendidih. Aku ingin terjun ke dalam air, bahkan es. Beberapa menit kemudian, rasa panas itu mulai bergerak turun ke sela-sela jari kakiku dan keluar melewati ujung-ujung jari tersebut. Kini kesejukan menyelimuti seluruh tubuhku. Otakku seakan menjadi lebih cepat berputar. Indraku kini terasa lebih tajam dan perasaanku semakin terbuka. Aku bisa melihat dan mendengar segala sesuatu lebih detail dari sebelumnya, seakan-akan dunia di sekelilingku melambat. Dan, yang lebih menarik semua rasa sakit di tubuhku menghilang.
Bau cempaka dan rempah-rempah kembali semerbak. Ruangan kini telah berganti rupa lagi secara gaib. Aku dan Rucita duduk di dipan, beberapa nampan buah-buahan dan cangkir-cangkir emas berisi cairan merah jambu muncul secara ajaib di hadapan kami. Radikus duduk berlutut di samping kiri Rucita.
Jentikan jari Rucita membuat iring-iringan tiba-tiba muncul dan berkumpul di atas panggung megah—yang juga tiba-tiba muncul di depan kami. Rubah-rubah putih menjelma menjadi perempuan-perempuan cantik bergaun sutra. Sementara itu, seseorang dari rombongan penari bergabung dengan kami di dipan perak ini. Dia seorang laki-laki berwibawa, wajahnya serius, dan berdada bidang. Terbungkus jubah emas bermotif aneh dengan mahkota di kepalanya, mirip raja-raja Jawa zaman dahulu. Dia berbicara dalam bahasa yang entah mengapa aku mengerti, padahal itu bukan bahasa Indonesia.
Rucita terkekeh mendengar laki-laki itu bicara, sementara yang diajak berbicara hanya tersenyum simpul. Aku terkesiap melihat gaun Rucita terbakar, api menjalar dari ujung bawah gaun sampai ke atas. Anehnya, Rucita dan laki-laki di hadapannya tidak bereaksi sedikit pun, seakan-akan terbakarnya gaun Rucita adalah bagian dari pertunjukan. Dan, setelah api itu lenyap, gaun Rucita yang tadinya berwarna putih mengilap, kini menjadi oranye dan berlipit indah di ujungnya. Setelah beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja kedua makhluk itu lenyap bersamaan dengan munculnya kepulan asap putih.
Dari atas panggung, suling, genderang, dan gamelan memulai lengkingan-lengkingannya yang bisa membuat bulu kuduk merinding dan keringat dingin bercucuran. Para penyanyi mulai bernyanyi dan para penari—rubah-rubah penari—mulai menarikan tariannya. Lantunan berbahasa aneh menggema memenuhi panggung dan melesat merobek keheningan seluruh ruangan. Bau dupa, bau bunga-bunga, dan bau wewangian bercampur aduk di sana.
Seiring suara gemelan yang semakin melengking. Rubah-rubah yang mengalami transformasi itu meloncat berdiri. Dengan gerakan-gerakan aneh, ganjil, kaku. Kaki dan tangan-tangannya diputar-putar, lalu dilipat, ditekuk dalam posisi yang aneh, tidak masuk akal. Bergerak maju, mundur, menyamping, mereka melompat-lompat, berjungkir balik, lalu berputar-putar. Dadanya yang besar-besar bergerak-gerak liar. Kaki-kakinya yang dientak-entakan menimbulkan suara gerincing nyaring, gelang-gelang kaki mereka bergerak-gerak. Perempuan-perempuan itu seperti tak kenal lelah terus saja menari-nari.
Mendadak suara musik berhenti. Pada saat itu, Rucita muncul. Dia sudah berganti kostum lagi dengan setelan panjang sutra berwarna putih perak, perhiasannya semakin gemerlap. Namun, syal rubah oranyenya masih melilit erat di lehernya. Setelah kuperhatikan dengan lebih saksama ternyata rubah itu memiliki lima ekor, bergerak-gerak seperti ular. Aku yang masih belum bisa memosisikan diri, diam sesaat. Bau dupa mulai menyusut.
Rucita berkata dengan suara yang dalam, “Maaf, tadi ada urusan penting yang harus kutangani secara langsung. Baiklah, kita kembali pada pembicaraan kita. Aku dapat membantumu untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Berkumpul kembali bersama ibumu.” Kami kini duduk di sebuah kursi panjang yang terbungkus kulit rusa, berhadap-hadapan. Panggung itu telah lenyap dan semua yang ada di atasnya. Sekarang seluruh dinding ruangan ini adalah cermin yang memantulkan bayangan kami. Seperti ruang cermin yang pernah aku masuki di sebuah festival malam pada saat kecil dulu.
Rucita mensejajarkan telapak tangannya dengan wajah cantiknya hingga dia dapat melihat jari-jari itu bergerak-gerak di depan mata merahnya. Dia membuka telapak tangannya dan membiarkan sebuah cahaya muncul di antara jari-jarinya yang direntangkan.
Aku terkejut. Hampir saja aku terjatuh dari tempat dudukku. Cahaya itu semakin menyilaukan. Bulatan yang terbentuk semakin membesar. Tiba-tiba saja bulatan cahaya itu melayang perlahan, terangkat dari telapak tangan Rucita. Bergerak ke tengah-tengah ruangan dan seketika itu juga seluruh ruangan menjadi terang-benderang.