GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #10

9

“KENNY, bangun! Sudah siang.” Sayup-sayup aku mendengar suara perempuan, lalu tubuhku terguncang-guncang. “Nanti kamu terlambat pergi ke sekolah.”

Aku membuka mata perlahan. Mengamati setiap sisi ruangan. “Di mana ini?” Sinar lampu yang menyorot membuat mataku tak bisa memandang dengan jelas.

“Disuruh bangun kok malah bengong begitu. Sudah jam setengah enam tuh! Cepetan bangun!” Perempuan ini ... tidak mungkin. “Ayo! Pergi ke kamar mandi sana.”

Kukucek-kucek mataku, setengah tidak percaya pada apa yang sedang kutatap. Seorang perempuan tinggi bertubuh ramping tengah berkacak pinggang dan menatapku dengan tatapan yang tajam. Matanya yang besar bulat semakin besar saja saat perempuan itu memelototkan matanya. Rambutnya panjang tebal diikat ke belakang. Bibirnya dibentuk segaris, yang anehnya justru terkesan manis.

Perempuan ini tampak tidak asing bagiku. Suaranya yang agak serak sangat kusukai. “Ibu? Ibu!” Aku melompat dari tempat tidur menghampiri Ibu dan memeluknya dengan sangat erat.

“Kenny, kenapa kamu? Pasti mimpi buruk lagi, ya?” Ibu, dengan jari-jarinya yang lentik mengusap rambutku berkali-kali, lalu mencium kepalaku dengan lembut. “Sekarang kamu sudah bangun, mimpi buruknya sudah selesai. Ke kamar mandi sana, mandi dan bersihkan dirimu biar mimpi buruknya kebawa air dan enggak nempel lagi di badan kamu.” Ibu memegang kepalaku dengan kedua tangannya. Menggeser ke depan hingga tidak lagi menempel di dadanya. Kutatap wajah Ibu dengan penuh kerinduan. Lebam dan memar di sekitar matanya sudah menghilang, tangan dan kakinya tidak lagi digibs, Ibu benar-benar kembali pada keadaan semula, sebelum kecelakaan itu terjadi.

Aku tersenyum dan kulihat lagi Ibu dari ujung kepala sampai ujung kaki, “Ibu tampak sehat dan cantik.”

“Kenapa? Apa ada yang aneh sama ibu?” Ibu tersenyum di hadapanku sebelum mendorong aku agar pergi ke kamar mandi.

“Enggak, enggak ada yang aneh sama sekali. Justru Ibu tampak lebih hidup,” kataku sambil menyengir.

“Apaan sih kamu ini, sudah pergi ke kamar mandi sana.”

“Oke!”

Ibu kini telah kembali—atau waktu yang telah kembali ke dimensi saat Ibu masih ada. Yang pasti, Rucita telah menepati janjinya, mengembalikan Ibu ke dalam kehidupanku. Aku tidak mau merusak suasana momen ini dengan berpikir apakah ini ilusi atau khayalan atau juga mungkin Ibu itu adalah jelmaan rubah kiriman Rucita atau apa pun. Saat ini yang ada di dalam benakku adalah kegembiraan dan aku akan menikmatinya dengan sepenuh hati.

***

 

“Jaga Ibu baik-baik.” Aku ingat benar kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Ayah. Sebelum operasi kankernya dilakukan. Sebuah pesan yang secara sungguh-sungguh aku terima. Sebab, bagiku hidup adalah semata-mata untuk mereka, untuk menyenangkan mereka, untuk membahagiakan dan membanggakan mereka. Itulah perestasi yang sangat ingin aku capai. Dan, bagiku bayang-bayang mereka terlampau kuat memengaruhi kehidupanku.

Tahukah Ibu kalau sebagian kehidupanku telah kuserahkan untuknya. Semua cinta yang aku miliki hanya tertuju kepadanya. Tahukah bahwa untuk itu aku mau melakukan apa pun, bahkan mengorbankan seluruh orang yang aku cintai untuknya. Dan, tahukah kalau jiwanya benar-benar berharga bagiku?

Aku memandang Ibu yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang lewat jendela kamarku. Kadang aku suka tertawa dan menggodanya dengan pertanyaan; buat apa Ibu menghabiskan uang untuk membayar orang kalau pekerjaan itu masih juga Ibu yang mengerjakan? Bi Santi kan sudah kita bayar untuk mengerjakan pekerjaan rumah ini. Dan, Ibu selalu akan menjawab; Bi Santi ibu minta untuk membantu pekerjaan ibu di rumah ini. Jadi, tetap saja posisinya hanya membantu, bukan mengambil alih pekerjaan yang sebetulnya adalah tanggung jawab seorang ibu. Apa yang bisa ibu lakukan maka akan ibu lakukan, jika ibu sedang sibuk dan tidak sempat melakukan baru Bi Santi yang melakukan. Aku tidak pernah mendebatnya lagi, dan membiarkan beliau melakukan apa yang menurutnya harus dilakukannya.

Lihat selengkapnya