“GIMANA? Jadi, tema apa yang cocok buat minggu depan,” tanya Roza.
“Bagaimana kalau tema kali ini sesuatu yang berbau misteri atau horor. Kalian pernah mendengar cerita tentang orang yang sudah meninggal, terus hidup kembali?” sahutku di sela-sela kunyahanku.
“Jangan mulai deh, Ken.” Rini menghentikan kunyahannya. “Segala sesuatunya pasti jadi misteri dan horor kalau kamu yang bahas.”
“Gua pernah dengar ...,” aku Sam. Sontak mataku langsung beralih kepadanya.
“Maksud kamu, orang yang benar-benar sudah meninggal terus dia hidup kembali gitu, Sam? Seperti mati suri atau semacamnya.” Roza mengucapkan kata demi katanya pendek-pendek untuk memberikan penekanan.
“Bukan mati suri, tapi memang mati beneran. Terus dia hidup lagi seperti biasa. Yah, seperti normal lagi saja.” Sam menatap Roza yang berusaha keras mencerna apa yang dia ucapkan.
“Bisa tidak, kita tidak membicarakan hal-hal seperti ini. Kenapa kita tidak mengangkat tema yang biasa saja, seperti yang sudah-sudah. Misalnya, budaya instan, generasi tablet, atau masa depan sekolah online dan digital,” protes Rini, lalu terdiam seperti sedang menunggu reaksi kami bertiga.
Sam mengunyah mi ayamnya dengan cepat, lalu berkata, “Sori Rini-hime, tapi kalau menurut gua sih usulnya Kenny menarik banget. Soalnya kita belum pernah kan mengangkat tema-tema kayak gini. Yah, sekali-kali kita kasih kejutan buat pembaca.”
“Tapi, apa tidak terlalu menyeramkan? Lagi pula Kenny sering membuat tulisan tentang misteri. Jadi, apa tidak cukup diwakili dengan itu.” Rini menautkan kedua alisnya.
“Aku jamin enggak akan serem kok, soalnya kita juga nanti akan bahas dengan pendekatan ilmiah,” kataku. Menenangkan Rini.
“Entah ya, tapi aku juga menganggap ini ide yang bagus lho buat dijadiin tema mading kita.” Roza mengedipkan salah satu matanya kepada Rini, yang dibalas Rini dengan dengusan putus asa. “Soalnya, bosen juga sih ngebahas tentang romantisme anak-anak SMA dan tema-tema yang lurus-lurus saja gitu.”
“Lurus-lurus saja, bagaimana? Memangnya kalau kita mengangkat tema misteri, tidak lurus, begitu?” Kata-kata Rini berhasil membuat kami bertiga diam sejenak. Belum pernah aku mendengar Rini berkata dengan nada setinggi ini. Meskipun dia orangnya kaku dan formal, tetapi suaranya selalu lemah lembut. Oleh karena itu, Sam selalu memanggil Rini dengan tambahan “hime”, bahasa Jepang yang berarti Putri. Menurut Sam, Rini itu mirip seorang putri dengan bahasa formal dan gayanya yang lemah gemulai.
“Bukannya gitu, cuma ya ... aku pikir sih akan lebih seru saja kali, ya.” Roza menyeringai, lalu meneruskan ucapannya, “Nanti kita bisa wawancarai beberapa teman atau guru yang mungkin punya pengalaman menarik tentang hal ini. Kita juga bisa nyari-nyari cerita sejenis dan sejarah tentang mati suri ini. Gimana?”
“Iya betul itu, Rini-hime.” Sam mengangguk setuju. “Eh, jadi lebih ke mati surinya ya, Cha?” sambung Sam. “Menarik, mungkin kita bisa juga nyari info tentang mitos-mitos yang berkaitan sama hal ini. Kayak binatang yang bisa membangkitkan orang mati, atau cerita-cerita legenda sejenis ....”
“Terserah, deh.” Rini menarik napas panjang.
“Yah, kok ngambek, Rini-hime?”
“Bukannya ngambek, tapi ya kalau memang tema itu yang disetujui kalian semua, saya bisa apa. Terpaksa harus ikut suara terbanyak, kan?” Rini mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum.