AYAHKU, Dr. Suwarno, adalah kepala staf peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI dan seorang pengajar di pascasarjana universitas negeri di Depok. Setelah menyelesaikan pendidikan S3-nya di Jerman, beliau mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk pengembangan dan penelitian berbagai jenis burung, terutama di Indonesia. Oleh sebab itu, Ayah menjadi satu dari sedikit ornitolog yang dimiliki Indonesia.
Dan sekarang, aku tengah berdiri di ruang kerjanya yang sekaligus menjadi perpustakaan keluarga kami. Hampir semua buku koleksi Ayah dan Ibu berada di sini, di ruangan seluas 6 x 6 meter ini. Di sini juga terdapat berbagai macam koleksi rangka dan awetan dari berbagai jenis burung yang sudah agak kotor dan ternoda di beberapa bagian. Beberapa awetan bertengger di sepanjang rak-rak buku dan sebagian lagi berada di kotak-kotak kaca di pojok-pojok ruangan. Ya, di ruangan inilah biasanya Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya ketika berada di rumah, bersama buku-buku dan spesimen-spesimen miliknya.
Aku menarik napas panjang dan menikmati kesejukan yang diembuskan pendingin ruangan, lalu mulai mengitarkan pandangan. Menatapi rak-rak penuh buku yang menutup ketiga dinding ruangan dan tumpukan-tumpukan buku di sudut kananku―di dekat meja kayu tempat ayahku biasa membaca dan bekerja. Buku-buku itu sudah tidak muat lagi di dalam rak. Oleh karena itu, Ayah menumpuknya di sana, dari lantai hingga langit-langit ruangan.
Sudah lama sekali aku tidak masuk ke ruangan ini. Sungguh internet telah mereduksi peran buku secara signifikan.
“Harus mulai dari mana mencarinya?” bisikku lebih kepada diri sendiri.
“Kamu lagi nyari buku apa sih, Ken?” tanya Ibu yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu dengan dress kemeja birunya yang dipadankan celana panjang putih.
Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, aku malah balik bertanya kepadanya, “Ibu mau pergi?” Aku menatap Ibu dari ujung rambutnya yang tergerai rapi sampai telapak kakinya yang terbalut sepatu sandal.
“Iya, mau ke Supermarket bentar, beli kebutuhan kita sehari-hari, sekalian beli bahan-bahan masakan. Besok, Abah Agus sama Eyang Dewi mau datang.”
“Oh, iya?” kataku, “ya sudah, tunggu bentar ya Bu, nanti aku anter.”
“Enggak apa-apa kalau kamu sibuk, ibu bisa sendiri, kok.” Ibu mengusap-usap punggungku. “Dari tadi ibu perhatikan, kamu mondar-mandir sana-sini, bolak-balik turun-naik. Dan sekarang, kamu berdiri di sini, ngeliatin buku-buku dengan serius, sampe-sampe enggak sadar kalau ibu ada di belakang kamu. Banyak tugas dari sekolah?”
“Enggak, kok, Bu. Aku lagi nyari buku saja.” Aku menyengir, lalu memeluk Ibu. “Lagian Ibu ngendap-ngendap sih datangnya.”
“Memangnya ibu maling, pake ngendap-ngendap segala. Kamunya saja yang terlalu serius, kamu lagi nyari buku apa, sih?”
“Aku lagi nyari buku tentang mitos-mitos gitu, Bu. Siapa tahu Ayah punya,” kataku sambil menatap wajah Ibu.
“Mitos tentang apa? Buat tugas Bahasa Indonesia?”
“Bukan, buat mading sekolah.” Aku asal jawab, tidak mungkin aku menceritakan tentang Rucita kepada Ibu. “Apa Ibu pernah mendengar cerita atau membaca buku tentang legenda rubah?”
“Rubah? Enggak.” Ibu menggelengkan kepalanya. “Ayah kamu seorang ahli ornitologi dan ibu orang bioteknologi. Jadi, buku-buku di sini kebanyakan tentang burung dan kajian-kajian ilmiah biologi. Kalaupun ada buku tentang Rubah itu adalah buku ilmiah tentang anatomi dan prikehidupannya bukan tentang mitos atau semacamnya.”
Aku mengetuk-ngetuk pelipisku dengan telunjuk, sejak kejadian di kantin itu aku terus saja teringat cerita Rini tentang legenda siluman rubah. Dan, entah kenapa aku merasa kalau cerita tersebut mungkin ada hubungannya dengan Rucita. Perempuan ganjil yang telah melakukan perjanjian mistis denganku.
“Tunggu dulu, hmm ... barangkali saja ada dalam keropak,” kata Ibu, sepertinya beliau berusaha mengingat-ngingat sesuatu. “Ya, mungkin cerita-cerita semacam itu ada di situ.”
“Keropak?”
“Iya, keropak. Manuskrip kuno, kita punya beberapa manuskrip kuno, sebagian sudah diterjemahkan oleh teman-teman ayahmu.” Ibu berjalan mendekati rak buku yang ada di depanku. Sesekali beliau membungkuk, lalu menengadah sebelum menyentuh beberapa buku yang dicurigainya. “Nah, menariknya, ayahmu menemukan beberapa kisah tentang burung-burung dari naskah kuno yang telah diterjemahkan. Bahkan, ada beberapa burung yang telah dinyatakan punah pada saat ini ada di dalam beberapa kisah dari naskah tersebut. Jadi, mungkin saja kisah mitologi yang kamu cari itu juga ada di dalam naskah yang kita punya.” Ibu berjalan ke ujung lemari, lalu berjongkok. “Seharusnya ada di sini. Mana, ya?”
“Sebetulnya, buku seperti apa sih yang Ibu cari?” tanyaku sambil ikut celingak-celinguk mengikuti arah pandang Ibu.
“Keropak, manuskrip dari bilah-bilah lontar. Bukan buku cetakan seperti ini.” Beliau mengambil sebuah buku dan mengangkatnya. Kemudian, beliau membuka laci paling bawah dari rak buku, tetapi sepertinya tidak ditemukan juga apa yang dicarinya.
“Manuskrip kuno, bilah-bilah lontar. Itu kan termasuk artefak, Bu? Kenapa kita punya benda-benda seperti itu, bukannya termasuk ilegal kalau bukan instansi resmi atau keraton yang menyimpan?” tanyaku penasaran.
“Iya, kalau yang menyimpan bukan pewaris dari manuskrip tersebut ....” Ibu menghentikan ucapannya, lalu melanjutkan, “Nah ini dia.” Ibu mengangkat benda hitam, seperti remot AC, tetapi lebih kecil. Kemudian, beliau mematikan lampu ruangan dan menutup pintu rapat-rapat.
“Kenapa dimatikan lampunya, Bu?”