TERNYATA perjanjian dengan Rucita bukan saja mengembalikan kehidupan ibuku, tetapi juga kehidupan Abah Agus, Eyang Dewi, dan Ua Mena—orang-orang yang meninggal pada kecelakaan di Puncak waktu itu. Jackpot.
Ini adalah sebuah konsekuensi dari tidak terjadinya kecelakaan maut di Puncak yang menimpa keluarga kami. Hari Minggu kemarin aku dan rombongan memilih waktu keberangkatan lebih awal dari waktu saat itu sehingga kami tidak berpapasan dengan bus oleng penyebab kecelakaan maut itu terjadi. Tentu saja ini sebuah kenyataan yang membuatku merasakan dua kali lipat kebahagiaan.
Dan, malam ini, aku akan menghabiskan waktu bersama Abah Agus, berjalan-jalan di Pasar Malam di depan kompleks perumahanku. Bernostalgia bersama, sebab dulu waktu umurku masih sepuluh tahun kami pernah melakukan hal yang sama. Datang ke Pasar Malam dan mengobrolkan banyak hal sambil berjalan-jalan dan membeli satu-dua dagangan yang dipamerkan di sana.
Sebetulnya aku ingin naik mobil atau naik motor untuk berangkat ke Pasar Malam kali ini, tetapi Abah Agus bersikeras mengajak berjalan kaki. “Selain letaknya tidak terlalu jauh, dengan berjalan kaki juga kita bisa mendapatkan beberapa keuntungan.” Begitu kata beliau sebelum kami berangkat. “Pertama, tentu kita jadi lebih sehat karena bisa sekalian olahraga pada malam hari. Kedua, dengan berjalan kaki kita tidak menjadi bagian dari orang-orang yang menyumbang emisi gas ke atmosfer kita malam ini. Jadi, penambahan karbondioksida, karbonmonoksida, dan timbal bisa sedikit berkurang. Ketiga, dan ini yang paling penting, kita jadi punya waktu berdua lebih lama dan lebih berkualitas karena konon katanya salah satu waktu yang paling nyaman untuk mengobrol adalah saat kita berjalan-jalan.” Abah Agus tersenyum lebar ke arahku, lalu merangkulkan tangan kekar keriputnya ke pundakku.
“Aku sih enggak masalah, Abah. Takutnya malah Abah yang enggak kuat jalan nanti. Kan repot kalau aku harus ngegendong Abah,” ledekku sambil menyengir.
“Wah, meremehkan itu namanya, gini-gini juga abah masih suka ikutan jalan sehat secara rutin dari klub kesehatan abah di kota Bogor. Paling tidak 1-2 kilometer setiap minggunya.” Abah mengacak-acak rambutku seperti yang sering beliau lakukan. Aku suka dengan caranya berbicara, suaranya yang dalam dan berat, serta dekapannya yang terkadang menyesakkan pernapasan. Entahlah, semua itu membuatku merasa nyaman dan bahagia.
“Abah, ceritain dong tentang kabuyutan? Apa yang Abah tahu tentang Kabuyutan Galunggung dan sejarah leluhur kita?” tanyaku ketika kami melintasi lapangan futsal. Dari balik pagar kawat yang mengelilingi lapangan, sekilas aku melihat anak-anak yang sedang asyik bermain bola di bawah cahaya neon yang benderang. Dulu waktu SMP, aku dan Sam sering bertanding di lapangan itu bersama tim kami masing-masing, tetapi kini kami lebih banyak bermain bulu tangkis daripada sepak bola, mungkin karena anggota tim kami dahulu sudah sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan tentang kabuyutan? Keheula, ada apa ini ....” Abah Agus malah balik bertanya sambil melirikku dengan pandangan heran.
“Enggak kenapa-kenapa. Kemaren Ibu bercerita tentang kabuyutan, aku jadi penasaran saja. Terus, Ibu menyuruh aku supaya bertanya langsung ke Abah untuk detailnya.” Aku dan Abah Agus keluar melewati portal gerbang utama kompleks. Pak Kurnia Fitri, sekuriti yang sedang berjaga, melambaikan tangan kepada kami.
“Oh begitu ... abah seneng kamu mau bertanya tentang hal ini.” Sekali lagi Abah Agus mengacak-ngacak rambutku, lalu merangkulkan tangan kanannya ke pundakku dengan erat. “Hmm ... baik, abah akan coba memulai dari sebuah kisah yang sudah diceritakan secara turun-temurun. Dari generasi ke generasi: begini, konon pada Zaman Air, saat hampir seluruh permukaan bumi ini tertutupi oleh genangan air, Tatar Sunda hanyalah berupa daratan kecil yang tidak begitu luas. Daerah yang paling tinggi dari daratan tersebut adalah sebuah puncak gunung yang kemudian hari dinamai Gunung Galunggung.
“Pada suatu hari, saat keberkahan menyelimuti seluruh langit dan bumi, tibalah sebuah bahtera yang sangat besar di Tatar Sunda. Bahtera tersebut memuat banyak sekali manusia dan berbagai jenis hewan yang tiap-tiap jenis memiliki pasangannya masing-masing. Sebagian dari orang-orang dalam bahtera tersebut turun dan membawa pula sebagian dari hewan-hewan yang ada, lalu mereka tinggal dan menetap di sana. Membangun komunitas dan peradaban manusia baru. Itulah nenek moyang manusia Sunda sekarang, nenek moyang kita. Kemudian, mereka menjadikan Galunggung sebagai sebuah kabuyutan atau tempat yang disucikan atau tempat yang dikeramatkan.” Abah bercerita sambil berjalan. Meskipun tidak sepandai Kakek, tetapi Abah Agus sama atraktifnya dengan Kakek. Tangannya tidak pernah berhenti bergerak.
“Abah, kok, kayak cerita Nabi Nuh, sih?” Aku mengerutkan kening, teringat kisah bencana banjir bah yang menimpa umat Nabi Nuh a.s. dahulu kala. Banjir tersebut nyaris menenggelamkan seluruh daratan di muka bumi. Bahkan sampai menutupi puncak-puncak gunung tertinggi pada saat itu. Hingga akhirnya air surut dan Nuh a.s. yang menaiki bahtera bersama para pengikutnya dan juga hewan-hewan yang ada di dalamnya menepi di salah satu bukit.
“Itulah menariknya, mungkin saja orang-orang yang turun di puncak Galunggung itu adalah sebagian pengikut Nuh a.s. yang menaiki bahteranya atau mungkin juga itu adalah bahtera yang lain dengan peristiwa banjir yang lain.” Abah Agus mengangkat kedua pundaknya.
“Di dalam manuskrip Sunda kuno yang ditulis abad ke-10 masehi disebutkan jelas kalau Galunggung adalah sebuah kabuyutan yang harus dijaga dan dipertahankan, jangan sampai dikuasi oleh orang asing. Kalau ditanya kenapa, tentu saja jawabannya adalah karena kabuyutan merupakan cikal bakal dan simbol jatidiri atau identitas kita. Kalau kabuyutan rusak berarti rusak juga jatidiri, dan pudarlah nilah-nilai asli yang khas dari masyarakat Sunda. Meskipun abah sekarang tinggal di Bogor, tapi abah hampir setiap tiga bulan sekali pergi ke kabuyutan sekadar ziarah atau silaturahmi dan membantu Aki Arip di sana.”
“Manuskrip Sunda Kuno? Abah tahu kalau kita punya manuskrip Sunda Kuno yang disimpan di perpustakaan Ayah? Apakah manuskrip yang sedang Abah ceritain ini adalah manuskrip itu?” tanyaku penasaran.
“Iya tahu, manuskrip yang hampir saja ikut terbakar waktu orang-orang DI/TII membakar hampir seluruh pusaka adat, tapi untung saja bisa diselamatkan oleh kakek kamu dengan aksi yang sangat heroik. Kejadian itu pulalah yang menyebabkan Kang Yuda, kakek kamu itu, mengalami luka bakar yang sangat serius di bagian kaki sehingga mengalami kelumpuhan. Akhirnya dengan berat hati beliau dibawa dan dirawat di Jakarta, padahal hati dan jiwanya tidak pernah mau dipisahkan dari kabuyutan.” Abah terlihat sangat serius ketika membicarakan hal ini, sepertinya kejadian tersebut sangat membekas sekali dalam ingatannya. Aku pun jadi teringat kakek dulu sering duduk di depan teras rumah di kursi rodanya sambil menatap langit dengan mata yang berbinar ketika beliau sedang kangen pada tanah leluhurnya. “Tapi, manuskrip yang abah ceritain bukan manuskrip yang ada di rumahmu. Yang itu berjudul ‘Carita Akshaya’, sedangkan manuskrip yang abah ceritain ini berjudul ‘Amanat Galunggung’ sebuah manuskrip kuno yang ditemukan di Ciburuy, Garut. Dan, masih tersimpan rapi di sana sampai sekarang kalau tidak salah diberi kode keropak 632 atau 633, abah lupa.
“Amanat Galunggung sebetulnya adalah sebuah petuah seorang Rakeyan Darmasiksa untuk anak-cucunya yaitu orang-orang Sunda tentang pegangan hidup atau dalam bahasa Sunda cecekelan hirup, salah satunya seperti yang abah ceritain tadi, agar kita semua menjaga dan melestarikan kabuyutan karena ia adalah identitas dan jatidiri kita. Para peneliti percaya kalau manuskrip Amanat Galunggung ini adalah manuskrip kuno tertua di Indonesia.”
Setelah melewati jalan yang curam akibat adanya galian kabel, kami sampai di tempat Pasar Malam berlangsung. Pada keadaan normal tempat ini adalah tanah lapang yang sering digunakan untuk berbagai kegiatan, baik olahraga maupun hiburan. Apalagi pada saat musim Agustusan, tanah lapang ini akan menjadi pusat keramaian karena seluruh kegiatan lomba dan hiburan malam akan digelar di sini.
Jika diumpamakan, tanah lapang ini seperti gedung serbaguna, yang bisa dipakai untuk acara apa pun. Luasnya sekitar setengah hektar, menghubungkan perumahan di sebelah kompleks dengan jalan raya. Di samping kiri tanah lapang mengalir sungai yang menjadi batas dua kota, Depok dan Jakarta. Sedangkan di sebelah kanan tanah lapang berjajar ruko-ruko bertingkat yang sebagian besar masih kosong.
“Oh ya, katanya Kakek dan Abah ini masih keturunan batara? Bukannya batara itu dewa, Bah? Terus, gimana kabarnya kabuyutan sekarang?” Suara riuh menyambut kedatangan kami, baik suara para pedagang, suara anak-anak, maupun suara lagu yang diputar kencang-kencang. Mulai dari lagu anak-anak sampai lagu dangdut.
Aku melihat tenda-tenda pedagang yang berjajar rapi dengan lampu-lampu menerangi di sekelilingnya. Komidi putar, bianglala, kora-kora, kereta naga, dan kurasa masih banyak lagi karena sebagian tertutupi oleh orang-orang yang berjubel antusias memenuhi lapangan. Anak-anak maupun orang dewasa.