GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #16

15

INI malam bulan purnama pertamaku. Dan, sebentar lagi kematian akan datang ke dalam ruangan ini. Rucita memandang tubuh Paman Ferri sambil mengeruk sisa-sisa makanan di piringnya.

Bulan purnama sebentar lagi muncul.

Aku membalikkan tubuh, lalu menyembunyikan tanganku yang gemetar dan berkeringat dingin ke balik jubah hitamku-kalau bukan Rucita yang menyuruhku menggunakan jubah ini aku tidak akan memakainya. Kuamati Paman Ferri yang ada di hadapanku. Rambut hitam bergelombangnya yang tersisir rapi, mata cokelat tuanya yang mengilat, dan alisnya yang tebal. Bahkan dalam balutan piyama pun, beliau seperti sedang berada di dalam kantor. Rapi dan tercukur. Saat aku menatap wajahnya, kulihat Paman Ferri mengulas senyum tipis di bibirnya, alhasil membuatku sedikit terkejut. Apakah beliau tahu, apa yang tengah terjadi pada dirinya sekarang. Kenapa beliau bisa begitu tenang, padahal kematian sebentar lagi mendatangi dirinya. Ataukah beliau mengira bahwa dirinya hanya sedang bermimpi, sama sepertiku. Dan, saat bangun nanti semuanya akan kembali seperti biasa, semuanya akan baik-baik saja. Kami akan menyambut datangnya sinar matahari pagi dengan gembira. Namun, walaupun begitu tetap saja aku merasa bersalah dan sangat ketakuan. Ingin sekali aku menghilangkan semua perasaan tersebut dalam diriku, tetapi entah kenapa saat menatap Paman Ferri perasaan itu justru semakin kuat menghunjam dadaku, aku tidak bisa mengabaikannya, sekuat apa pun aku berusaha.

Rucita bergerak ke depanku. “Paman Ferri?” Dia menatap Paman Ferri dari ujung rambutnya yang bergelombang hingga ujung kakinya yang bersandal kulit, nyaris sedetail tatapanku tadi. “Kelihatannya kau sudah sangat siap, Paman.” Suara Rucita terdengar nyaring. “Aku sudah tidak sabar ....”

Aku berjalan ke samping Rucita sambil melirik ke Paman Ferri sehingga kami bertemu pandang. Saat itulah aku melihat ekspresinya. Beliau memandangiku dengan ekspresi yang belum pernah aku melihatnya selama hidupku. Senyum tipis di bibirnya, kenapa jadi mengingatkanku kepada Ibu. Mereka memang mirip, tetapi tidak pernah semirip kali ini. Aku tercekat.

Sepertinya, beliau bukan hanya sedang memandangku, melainkan juga membaca batinku. “Kenny ....” Suaranya parau, sorot matanya sendu. Paman Ferri maju perlahan-lahan mendekatiku, langkahnya agak goyah, tetapi berhenti saat aku mengangkat telapak tanganku untuk memberi peringatan.

“Jangan mendekat, Paman,” kataku, tubuhku terasa lemas dan sebentar lagi air mata pasti akan mengalir. “Kumohon ....”

Meskipun Paman Ferri tidak melanjutkan langkahnya, tetapi beliau terus saja memandangiku lekat-lekat sambil terus berkata, “Kenny, di mana ini? Dan, siapa perempuan aneh itu ....”

Mataku memanas dan mulai berdenyut-denyut. Sementara itu, tiba-tiba saja sebuah perasaan seperti bergejolak dalam dadaku. Seharusnya aku berpaling dari tatapan Paman Ferri, tetapi aku tidak bisa, sebab seluruh tubuhku seperti membeku.

Rucita maju selangkah, mendekati Paman Ferri. “Oh, kau sungguh beruntung Paman, kau sangat beruntung.” Dia mengucapkan kata demi katanya penuh penekanan dan sambil tersenyum manis. “Menjadi yang pertama.”

Paman Ferri menatap kami silih berganti. Namun, tak lama kemudian, tatapannya terpaku kepadaku lama sekali sampai-sampai aku merasa sangat ketakutan.

Aku dapat merasakan tubuh Paman Ferri menegang. Jemarinya mengepal, bahkan sesudah Rucita berkata, “Jangan khawatir. Aku akan melakukannya dengan sangat cepat, dan aku janji tidak akan ada yang tersakiti.” Rucita mengalihkan tatapannya ke arahku. Kemudian, sambil menengok ke balik bahunya, dia menambahkan, “Semuanya akan baik-baik saja, Paman.”

Lihat selengkapnya