GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #18

17

KULANGKAHKAN kakiku perlahan, menaiki setiap anak tangga menuju lantai dua. Sudah dua hari ini aku tinggal di rumah Paman Ferri, menemani Bibi Sofi di sini. Aku merasa bersalah pada Paman Ferri, tetapi kalau aku tidak melakukannya, aku akan kehilangan Ibu dalam kehidupanku. Tentu saja, sebenarnya aku tidak ingin kehilangan salah satu pun dari orang-orang yang kucintai, tetapi beginilah kehidupan. Tidak bisa menempatkan lebih dari satu untuk sesuatu yang “paling” dalam hidup kita.

Ada dua kamar di lantai dua ini. Satu kamar tamu yang selalu dibiarkan kosong yang terletak di sudut kiri ruang keluarga dan satu lagi adalah kamarku yang berada tepat di sebelah kanan tangga. Di depanku ada sebuah kamar mandi yang pintunya terbuka, Roza sedang berdiri di depan cermin sambil merapikan rambutnya. Setelah mematikan kran wastafel, dia menatapku dan tersenyum manis. Jantungku serasa berhenti berdetak dan nyaris saja aku menumpahkan cappuccino hangat yang kubawa.

Roza tidak seperti gadis lainya, selalu berusaha untuk tak menonjolkan kecantikannya. Hari ini dia mengenakan dress panjang sederhana warna abu-abu yang dipadankan dengan kardigan hitam. Terlihat manis dan apa adanya.

“Hai,” sapaku. Aku menatap Roza, dia melangkah mendekat, sampai aku bisa mencium harum farfumnya.

“Hai.”

Wajahku terasa terbakar. Susah sekali rasanya untuk menolak gejolak di dalam hati dan terus berpura-pura cuek serta tenang saat Roza berdiri di depanku.

Pandangan Roza menerawang ke luar ruangan sebelum kembali lagi menatap ke arahku. “Sudah lama banget aku enggak ngeliat bintang di langit Jakarta sekarang.” Dia tersenyum manis lagi, tetapi kini matanya berupaya tidak menampakkan kegembiraan. “Padahal, aku suka berlama-lama memandang bintang kalau lagi sedih.”

Aku mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangan untuk memberikan secangkir cappuccino hangat kepadanya, sedangkan satu cangkir lagi aku pegang. Setelah lama menatap matanya, aku menarik Roza ke balkon. Jemarinya terasa hangat di telapak tanganku.

Roza mengarahkan pandangannya pada foto-foto di dinding, pada lukisan-lukisan realis karya pelukis Bali yang dikoleksi Bibi Sofi, pada apa pun yang menempel di dinding ruangan.

Sambil memegang pagar balkon, aku berkata, “Iya sayang banget, kayaknya bintang sudah males muncul di langit Jakarta!” Aku menengadah, lalu menatap rambut panjang Roza yang menjuntai ke bahunya. Rambutmu lebih kelam daripada langit malam ini. “Atau mungkin nanti agak maleman dikit, sekarang baru saja jam delapan. Tapi, itu juga kalau semua lampu yang menyala di kompleks ini, di taman, di sepanjang jalan, dan di seluruh Jakarta dimatikan. Hehehe ....”

“Enggak mungkin!” Roza tersenyum manis. “Oke, gimana kalau sekarang kita berandai-andai?” tanya Roza kepadaku.

“Maksudnya?”

“Ya, kita berandai-andai, seakan-akan banyak sekali bintang di langit malam ini.”

“Hmm ... oke, terus?”

“Rasi bintang apa yang pengin kamu lihat.”

Aku tersenyum, kuakui kalau aku tidak begitu mengenal rasi bintang. Aku tidak suka ruang angkasa dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Entahlah, betapa senyap dan sendiriannya berada di atas sana. Dan, aku selalu ketakutan jika membayangkan hidup di tempat yang gelap dan dingin seperti itu, membayangkan diselimuti keheningan pekat seumur hidupku. Namun, walaupun begitu aku tahu satu-dua rasi, dulu Abah Agus suka menunjukkan kepadaku.

“Entahlah, mungkin ... Corvus.” Aku menengadahkan mata ke kegelapan. “Di sana, di sebelah selatan.” Aku menunjuk, lalu menggerakkan jari.

Roza menoleh kepadaku, rambutnya yang panjang melambai-lambai tertiup angin. “Kenapa Corvus?”

“Kenapa, ya? Aku sendiri enggak tahu, mungkin karena itu adalah rasi bintang burung gagak atau mungkin itu satu-satunya rasi bintang yang paling aku ketahui,” jawabku, lalu tertawa.

“Kamu enggak suka bintang?” Roza menatapku dalam, wajahnya di dekatkan ke wajahku sampai-sampai jantungku berdebar semakin kencang.

“Aku ... enggak ... aku hanya takut.”

“Takut? Takut kenapa?”

“Sejak kecil aku selalu takut sendirian. Entahlah, kadang aku suka membayangkan betapa mengerikannya hidup dikelilingi kesunyian. Dan, bagiku enggak ada yang lebih sunyi dan gelap daripada langit saat malam hari. Oleh karena itu, aku lebih suka melihat langit di siang hari daripada di malam hari, aku lebih suka memandang awan berarak daripada langit gelap dan kosong.”

“Cukup mengejutkan untuk seseorang yang sangat menyukai misteri kayak kamu, Ken,” kata Roza, “bukannya langit malam penuh dengan misteri? Aku justru punya pemikiran yang sebaliknya. Aku suka memandang langit di malam hari, dan melihat betapa menyenangkannya berada di sana, menari bersama bintang-bintang. Meskipun enggak setiap malam bintang hadir, tapi aku tahu kalau bintang selalu ada di sana. Dan, membayangkan bisa berada di sana, aku enggak pernah merasa kesepian.”

Kata-kata Roza tersebut melayang-layang di antara kami, membentuk sekat yang tiba-tiba memisahkan kami. Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Jadi, aku hanya terdiam, lalu menumpukan berat badanku pada pagar balkon. Memandang kosong langit yang kosong.

Kulihat Roza menyeruput cappuccino-nya, lalu mendekatkan tubuhnya ke arahku, memegangi pundakku dengan jemarinya yang lentik. Sementara itu, aku berdiri di sampingnya dengan tubuh beku dan dingin, pikiranku sibuk melonjak-lonjak. Aku menelan ludah dan memaksakan diri untuk berkata, “Ngomong-ngomong, rasi bintang apa yang ingin kamu lihat?”

Roza tersenyum kepadaku, lalu memandangi langit gelap. “Virgo,” kata Roza antusias, tangannya menunjuk ke angkasa. “Di sana, di sebelah kiri Corvus.”

“Kenapa? Apa karena zodiak kamu adalah virgo?”

“Hehehe ... pastinya,” jawab Roza, lalu mengedipkan sebelah matanya, “tapi, bukan cuma karena itu saja, kok. Kamu tahu, Virgo adalah salah satu rasi bintang terbesar di langit dan sangat indah dengan bintang Spica-nya yang mengagumkan. Aku suka banget membayangkan kalau aku adalah jelmaan Virgo yang turun ke bumi. Hahaha ....” Roza terkekeh di sampingku. “Oh iya, satu lagi. Dan, yang ini sangat kebetulan, kamu tahu kalau Virgo adalah rasi bintang yang paling dekat dengan Corvus?”

“Enggak mungkin,” kataku sambil menggelengkan kepala, lalu tersenyum. “Kamu serius?”

“Iya. Kelak, kalau kamu berubah menjadi Corvus, maka aku akan berubah menjadi Virgo, untuk menjadi teman terdekatmu. Dan, akan aku tunjukkan kalau di atas sana kamu enggak akan sendirian.”

Kami saling bertatapan. Aku melihat mata Roza lebih bersinar daripada bintang Gienah, Spica, atau bintang mana pun. Dan, sekonyong-konyong keheningan menyelimuti kami berdua. Pekat seperti rambut Roza yang terurai ke bahunya. Kubiarkan keheningan itu berkepanjangan, sebab ada kalanya kata-kata tidak lebih berarti daripada tatapan mata.

Apakah mungkin kami berdua saling menyukai? batinku.

Aku palingkan pandangan, mendadak aku menjadi merasa malu sendiri pada pikiranku. Namun, mustahil juga bisa menyembunyikan perasaan ini. Sempat terlintas dalam benakku apa sebaiknya sekalian saja, tembak dia di sini. Bukankah momennya sangat tepat sekali? Namun, buru-buru aku mengurungkan niat, khawatir kalau sikap baiknya itu tidak lebih dari rasa peduli seorang teman. Dan, kedekatannya yang dia tunjukkan pada malam ini karena keinginannya “menghiburku” dari rasa sedih dan bersalah atas kematian Paman Ferri.

Jadi, aku pun mengurungkan niat untuk menembaknya malam ini, “Menarik sekali,” kataku sambil tersenyum. “Oh iya, bagaimana dengan kursus melukismu? Jadi bolos dong ya malam ini?”

“Enggak apa-apa, aku bisa melukis kapan saja. Ya, kebetulan banget sih, aku lagi boring karena malam ini bukan praktik, tapi membahas sejarah seni, zaman prarenaissance, renaissance atau modern, dan postmodern. Kebayang kan, pasti bosen banget. Hehehe ....”

Lihat selengkapnya